Makhluk Sebelum Kata
Tanah pesantren bergetar.
Bukan seperti gempa, tapi seperti naskah yang direvisi dari bawah. Batu-batu di halaman bergeser. Rerumputan membentuk pola aneh, seperti paragraf yang menata ulang baris-barisnya sendiri. Di ruang bawah tanah yang pernah dianggap tak bisa dimasuki lagi, retakan terbuka. Bukan retakan fisik, melainkan retakan narasi. Seolah realitas lupa menutup bab.
Ustadz Faris turun lebih dulu, langkahnya tenang tapi tajam. Lena dan Kai mengikutinya, masing-masing memegang pena dan naskah kosong. Di belakang mereka, Kapten Arya muncul dari bayangan. Bajunya basah oleh hujan frasa, namun wajahnya tajam penuh kesiapan.
“Tempat ini sudah tak stabil lagi,” ujar Kapten Arya pelan. “Kita sedang berjalan di tengah kalimat yang belum diputuskan.”
Di depan mereka ada lorong. Tidak gelap, tapi seperti dinding-dindingnya ditulis dengan kalimat-kalimat yang pernah dihapus. Mereka tak lagi menelusuri tanah—mereka menelusuri cerita yang tidak pernah selesai ditulis.