Di sebuah pesantren terpencil di pedalaman Jawa, seorang guru bernama Ustadz Faris hidup dengan ketenangan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, di balik sikap lembut dan nasihat bijaknya, tersembunyi masa lalu kelam yang selalu menghantuinya—masa lalu sebagai seorang tentara yang pernah terlibat dalam operasi militer rahasia yang tak pernah diberitakan. Suatu malam, pesantren yang dipimpinnya kedatangan seorang tamu misterius, Kapten Arya, seorang perwira militer yang sedang menyelidiki kasus hilangnya seorang santri. Jejaknya mengarah pada simbol-simbol rahasia yang ditemukan di dinding pesantren, yang ternyata berhubungan dengan operasi militer yang dulu melibatkan Ustadz Faris. Seiring penyelidikan berjalan, teror mulai menghantui pesantren—santri-santri yang ketakutan, suara langkah di lorong saat malam, dan pesan-pesan rahasia yang ditemukan di balik lembaran kitab kuno. Kapten Arya dan Ustadz Faris pun terpaksa bekerja sama untuk mengungkap kebenaran. Namun, semakin dalam mereka menggali, semakin banyak luka lama yang terbuka. Dapatkah Ustadz Faris menghadapi bayangan masa lalunya? Apakah pesantren ini hanya sekadar tempat belajar agama, atau ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di balik temboknya?
Lihat lebih banyakAngin malam berembus lembut di antara bangunan pesantren, membawa serta suara adzan Isya' yang bergema dari masjid di halaman depan. Ustadz Faris berdiri di teras asramanya, memperhatikan para santri yang bergegas menuju tempat wudhu. Matanya tajam, tapi dalam sorotnya tersimpan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Di usianya yang baru menginjak empat puluhan, ia terlihat lebih tua dari yang seharusnya. Garis-garis di wajahnya bukan hanya karena usia, tapi juga beban yang ia pikul sejak lama, beban yang selalu ia coba kubur bersama masa lalunya.
Namun, malam ini terasa berbeda.
Dari sudut pesantren, bayangan seseorang bergerak cepat di antara pohon-pohon jati. Ustadz Faris tak bergeming, tapi jari-jarinya mengepal. Ia mengenali gerakan itu, gerakan yang hanya dimiliki seseorang yang terlatih.
“Mungkinkah…?” bisiknya.
Belum sempat ia merenung lebih jauh, seorang santri berlari tergopoh-gopoh mendekatinya. Nafasnya tersengal.
“Ustadz… ada yang aneh di kamar Fadhil.”
Ustadz Faris mengerutkan dahi. Fadhil, salah satu santri terbaiknya, selalu menonjol dalam pelajaran dan dikenal sebagai anak yang patuh. Apa yang bisa terjadi pada anak itu?
Tanpa bertanya lebih lanjut, ia melangkah cepat ke asrama. Di dalam kamar Fadhil, beberapa santri sudah berkumpul, wajah mereka dipenuhi ketakutan. Ustadz Faris mendekati ranjang, lalu melihat sebuah buku terbuka di atasnya. Bukan kitab biasa, bukan pula buku pelajaran.
Di halaman yang terbuka, ada tulisan dengan tinta merah yang tampak baru.
"Jejak itu tak pernah hilang. Kau bisa melupakan, tapi kami tidak."
Dada Ustadz Faris terasa sesak. Ia mengenali tulisan itu. Tangannya gemetar saat menutup buku tersebut, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
“Sampai kapan mereka akan mengejarku…?”
Dari luar, suara langkah berat terdengar. Lalu, sebuah suara tegas memecah keheningan.
*“Ustadz Faris… sudah lama kita tak bertemu.”*
Ustaz Faris menoleh. Di ambang pintu berdiri seorang pria berseragam militer, Kapten Arya.
Malam itu, ketenangan pesantren runtuh. Masa lalu yang selama ini disembunyikan, akhirnya menemukan jalannya kembali.
Cahaya lampu kamar santri berpendar samar, menerangi wajah Kapten Arya yang berdiri tegap di ambang pintu. Tatapannya tajam, penuh pengamatan. Seorang perwira yang terbiasa dengan ketegangan, ia tidak menunjukkan ekspresi berlebihan.
Di seberang ruangan, Ustadz Faris tetap diam. Sekian tahun berlalu, tetapi sosok di depannya ini masih sama, seseorang dari masa lalu yang seharusnya tidak pernah kembali. Santri-santri yang berkumpul di kamar Fadhil mulai saling berpandangan. Mereka tidak mengenal pria itu, tetapi aura kehadirannya begitu berbeda. Otoritatif, Misterius, dan Berbahaya. Ustadz Faris menarik napas dalam, menenangkan pikirannya. “Arya…” akhirnya ia bersuara, suaranya berat. “Kenapa kau ada di sini?” Kapten Arya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Aku sedang dalam misi.” “Misi apa yang membawamu ke pesantren?” Kapten Arya melirik ke arah santri-santri yang masih berdiri di sudut ruangan. “Bisa kita bicara berdua?” Ustadz Faris mengerti isyarat itu. Dengan anggukan pelan, ia menoleh ke santri-santrinya. “Kalian kembali ke kamar masing-masing. Jangan khawatir. Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Mereka tampak ragu, tapi akhirnya patuh. Dalam hitungan detik, kamar menjadi sunyi. Kapten Arya melangkah lebih dekat, tatapannya tak beranjak dari Ustadz Faris. Ia lalu mengambil sesuatu dari sakunya, sebuah foto lusuh yang disodorkannya begitu saja. Ustadz Faris mengambilnya dengan enggan. Begitu matanya menangkap gambar itu, jantungnya seakan berhenti berdetak.Fadhil. Santri yang menghilang. Tapi bukan itu yang membuatnya tercekat. Di belakang Fadhil, terukir simbol yang ia kenal. Simbol yang seharusnya terkubur bersama masa lalu mereka. “Apa maksudnya ini?” Ustadz Faris bertanya, suaranya lebih dingin dari sebelumnya. “Kau yang seharusnya menjawab,” balas Kapten Arya. “Dia menghilang tiga hari lalu. Dan ini ditemukan di tempat terakhir dia terlihat.” Ustadz Faris menggenggam foto itu lebih erat. Simbol itu… Simbol dari operasi rahasia mereka dulu. Sebuah misi yang tak pernah selesai. Sebuah misi yang membuatnya meninggalkan dunia militer dan memilih jalan sebagai seorang guru pesantren. Namun, ternyata masa lalu tidak pernah benar-benar berakhir. “Aku butuh jawaban, Faris.” Kapten Arya menatapnya tajam. “Apa yang sebenarnya terjadi di pesantren ini?” Di luar, angin malam bertiup lebih dingin dari biasanya.Perpustakaan yang Tidak Pernah Ditulis1. Saat Dunia Diam Membaca DirimuLangit pesantren kembali gelap bukan karena malam, tapi karena halaman baru belum ditulis. Angin berhembus seperti lembaran kasar yang menampar wajah, dan di kejauhan, menara pesantren tampak miring, seolah kehilangan paragraf penyangganya.Kai berdiri di tengah lapangan, memandangi pena emas di tangannya. Pena itu masih berpendar, tapi bergetar tak tenang, seperti tahu sesuatu sedang terjadi di bawah struktur dunia.“Salma,” katanya, “kamu mendengar itu?”Salma menegang. “Iya. Seperti… ada yang merobek halaman.”Dari bawah tanah, dari balik perpustakaan tertutup yang sempat mereka buka, terdengar suara parau, seperti bisikan dari buku-buku yang tidak pernah selesai ditulis. Mereka berlari ke arah reruntuhan perpustakaan.Namun, sesampainya di sana… bangunannya hilang.2. Lubang NarasiDi tempat bangunan tua itu berdiri, kini hanya ada lubang hitam besar bukan lubang biasa, tapi lubang naratif. Setiap tepinya dik
Penulis yang Diundang1. Langkah dari Masa yang Belum DitulisLangkah kaki terdengar dari arah makam tua di belakang pesantren. Tidak tergesa, tapi juga tidak lambat. Setiap jejaknya meninggalkan bekas bercahaya di tanah, seolah bukan kaki manusia yang menyentuh bumi, melainkan tinta yang menulis langsung di atas realitas.Kai, Salma, dan Ustadz Faris berdiri membentuk lingkaran kecil di antara pecahan huruf yang masih mengambang di udara. Mereka tahu, ini bukan lagi wilayah mereka sepenuhnya. Dunia sudah membuka lembar baru dan kini datang seseorang yang bukan berasal dari barisan karakter, bukan pula narator yang jatuh.Ia adalah…Penulis yang Diundang.Sosoknya tampak muda, berambut abu-abu keperakan, dan mengenakan gamis putih yang terus berubah seperti kalimat yang menyesuaikan diri dengan paragraf sekitarnya. Ia memegang pena tapi bukan sembarang pena. Itu adalah pena pemandu naskah utama, pena yang hanya muncul ketika dunia mengalami benturan antara makna dan kehendak bebas.“S
1. Dunia yang MenjawabLangit pecah. Huruf-huruf raksasa berjatuhan dari langit seperti hujan aksara. Setiap huruf adalah potongan kalimat yang pernah ditulis, dihapus, atau disangkal.Dunia pesantren tak lagi seperti dulu.Lorong-lorongnya berubah menjadi paragraf-paragraf hidup. Dinding-dinding bergetar oleh gema suara-suara narator yang bertabrakan. Di antara semua itu, berdiri Kai, Salma, dan Ustadz Faris masing-masing dengan lambang pena dan rantai di tangan mereka, menyala terang.Dari celah langit, makhluk-makhluk turun perlahan—Para Pengoreksi.Tubuh mereka disusun dari naskah cetakan yang berulang, wajah mereka putih polos, tanpa bentuk. Mereka tidak melangkah, tapi meluncur, seolah berada dalam teks yang sedang dibaca dengan kecepatan tetap.Salah satunya membuka mulut yang tidak ada:“Revisi dimulai.”2. Kata sebagai SenjataKai menggenggam pena pemberian Zayyin pena yang kini bersinar biru. Ia menuliskannya di udara:“Kami menolak koreksi yang memadamkan makna.”Dan dari t
Pengarang yang Hilang1. Surat Tak BertandaPagi itu, tidak ada azan.Langit tetap abu-abu, seolah dunia menahan napas.Salma menemukan secarik kertas terselip di balik dinding asrama yang retak. Tidak ada nama, tidak ada tanggal, hanya satu kalimat:“Jika kau membaca ini, maka aku belum sepenuhnya hilang.”Di bawahnya, peta. Bukan peta geografis, melainkan peta naratif garis-garis tulisan yang membentuk ruang-ruang tersembunyi di balik struktur dunia. Salah satu titik ditandai dengan tinta merah:Lokasi: Ruang Tengah yang Terhapus.2. Ruang yang Tidak Lagi AdaKai, Salma, Zayyin, dan Ustaz Faris mengikuti petunjuk itu. Mereka melewati ruang-ruang pesantren yang kini sudah aneh:Mushalla berubah menjadi ruang hening tanpa suara.Perpustakaan terbuka penuh, tapi setiap buku kini menunggu pembacanya menulis isinya sendiri.Santri-santri terlihat bicara satu sama lain, tapi tak ada kata keluar. Hanya pikiran.Kai mengangguk. “Struktur sudah mulai runtuh. Kita harus cepat.”Mereka sampai
1. Tangga SunyiTangga menuju bawah tanah tidak terbuat dari batu, melainkan dari fragmen tulisan. Setiap pijakan yang diinjak akan mengeluarkan suara bisikan—bukan gema, tetapi fragmen kalimat yang pernah ditulis namun dihapus.“Maaf, saya tidak bisa menulis ini…”“Terlalu berbahaya…”“Kalau ini dimuat, kita semua bisa dicabut…”Langkah demi langkah, Salma, Kai, dan Ustaz Faris merasa seperti berjalan di atas luka-luka lama yang masih hidup.Zayyin menyalakan lentera tua. Cahaya kuningnya tidak mengusir kegelapan, hanya membuat bayangan tampak lebih nyata.Dan di ujung tangga…mereka tiba di sebuah pintu tak bertulis.Pintu itu… tidak bisa dibaca.Bukan karena kosong, tapi karena setiap huruf di permukaannya berputar, berpindah-pindah tempat—seolah kalimat di baliknya belum ingin diketahui.2. Kitab yang Tidak Pernah DicetakKetika pintu terbuka, mereka masuk ke ruangan yang jauh lebih besar dari yang bisa dijelaskan oleh logika bangunan di atasnya.Dindingnya dipenuhi manuskrip tua
Tinta yang Tidak Pernah Kering1. Kertas yang MenolakSalma duduk di tengah aula, pena di tangan, kertas kosong membentang di hadapannya. Udara terasa dingin dan berat bukan karena cuaca, tapi karena sesuatu dalam ruangan itu tahu bahwa keputusan akan dibuat. Semua mata memandangnya. Kai berdiri di belakang, tangan mengepal, bersiap untuk melangkah jika Salma goyah.Salma menulis satu kalimat:“Pesantren ini berdiri di atas makna yang tak selesai.”Namun kalimat itu menghilang begitu dituliskan. Tinta meresap ke dalam kertas… lalu sirna.Ia mencoba lagi.“Kami ingin mengetahui asal-usul tempat ini, bukan untuk menghancurkannya, tapi untuk memahami.”Lagi-lagi, huruf-hurufnya merontok, seperti daun yang gugur dari pohon. Dan ketika ia mencoba kalimat ketiga…“Kebenaran tidak harus disembunyikan.”Tinta itu menyebar liar seperti luka terbuka. Kertasnya terbakar perlahan di pinggir-pinggirnya, namun bukan oleh api. Tapi oleh penolakan.Kai maju dan memegang bahunya.“Bukan begitu cara men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen