
Jejak di Balik Pesantren
Di sebuah pesantren terpencil di pedalaman Jawa, seorang guru bernama Ustadz Faris hidup dengan ketenangan yang ia bangun selama bertahun-tahun. Namun, di balik sikap lembut dan nasihat bijaknya, tersembunyi masa lalu kelam yang selalu menghantuinya—masa lalu sebagai seorang tentara yang pernah terlibat dalam operasi militer rahasia yang tak pernah diberitakan.
Suatu malam, pesantren yang dipimpinnya kedatangan seorang tamu misterius, Kapten Arya, seorang perwira militer yang sedang menyelidiki kasus hilangnya seorang santri. Jejaknya mengarah pada simbol-simbol rahasia yang ditemukan di dinding pesantren, yang ternyata berhubungan dengan operasi militer yang dulu melibatkan Ustadz Faris.
Seiring penyelidikan berjalan, teror mulai menghantui pesantren—santri-santri yang ketakutan, suara langkah di lorong saat malam, dan pesan-pesan rahasia yang ditemukan di balik lembaran kitab kuno. Kapten Arya dan Ustadz Faris pun terpaksa bekerja sama untuk mengungkap kebenaran. Namun, semakin dalam mereka menggali, semakin banyak luka lama yang terbuka.
Dapatkah Ustadz Faris menghadapi bayangan masa lalunya? Apakah pesantren ini hanya sekadar tempat belajar agama, atau ada sesuatu yang lebih besar tersembunyi di balik temboknya?
Read
Chapter: Laman yang Tak Tertulis Laman yang Tak TertulisDi tengah kota yang masih menyusun dirinya sendiri dari niat dan ingatan, Lena terdiam menatap satu ruang aneh. Ruang itu tidak memiliki dinding, tidak memiliki lantai, tidak pula langit-langit. Namun semua orang yang memasukinya tahu bahwa mereka telah berpindah ke suatu tempat lain.Ruang itu dikenal dengan sebutan Laman yang Tak Tertulis. Setiap langkah di dalamnya tidak meninggalkan jejak, setiap suara yang keluar tidak menimbulkan gema. Tempat itu seperti melayang di antara kemungkinan. Lena, Kai, Ustadz Faris, dan Kapten Arya berdiri berjejer di tepinya.“Ini seperti… naskah yang belum dimulai,” kata Lena, perlahan.Kai mengangguk. “Atau mungkin, naskah yang ditunda. Karena belum ada yang siap menulisnya.”Kapten Arya melangkah satu langkah ke dalam. Awan makna di sekelilingnya menggulung, tapi tidak menyentuhnya. “Ini bukan sekadar tempat kosong,” ucapnya pelan. “Ini tempat yang sengaja dikosongkan.”Ustadz Faris menghela napas panjang, kemudian berdoa
Last Updated: 2025-06-19
Chapter: Bab yang Tidak Pernah Ditulis Bab yang Tidak Pernah DitulisLangkah mereka terhenti di depan pintu besar itu. Lena merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: bukan ketakutan, bukan penasaran, tapi campuran keduanya dalam bentuk yang tak bisa diberi nama. Pintu di hadapan mereka tinggi menjulang, terbuat dari kayu yang menghitam bukan karena usia, tapi karena waktu sendiri menolak menyentuhnya.Kai menyentuh permukaan pintu itu perlahan. Tidak dingin, tidak hangat. Hanya kosong. Seperti lembar putih yang belum disentuh pena. Tapi detik Kai meletakkan telapak tangannya di sana, sebuah suara menggema dalam kepalanya, bukan dari luar, tapi dari dalam kata-kata yang belum pernah ia ucapkan."Jika kau membuka pintu ini, kau tidak akan bisa kembali menjadi dirimu yang lama."Kai menoleh, menatap Lena. Tatapan mereka bertemu tanpa perlu kata-kata.Ustadz Faris berdiri beberapa langkah di belakang, tangannya meraba-raba naskah kecil berhuruf ف yang kini tersimpan dalam saku jubahnya. Ia tahu apa yang ada d
Last Updated: 2025-06-19
Chapter: Ketika Kata Menjadi Langkah Ketika Kata Menjadi LangkahCahaya dari ruang di balik perpustakaan itu perlahan memudar, namun bukan karena padam. Ia telah menjadi bagian dari dinding-dinding pesantren. Setiap batu bata menyimpan gema dari kalimat yang baru ditulis, setiap lorong membawa jejak napas dari para tokoh yang telah berani mengubah takdir mereka sendiri.Kai duduk di lantai ruang utama, membentangkan naskah yang muncul setelah pena menulis sendiri. Lena berdiri di sisinya, membaca dalam diam. Kata-kata yang tertulis di halaman itu tidak berbentuk narasi biasa. Ia seperti puisi yang belum rampung, namun sudah punya roh. Setiap barisnya mengandung makna yang bergerak, tidak bisa dibaca dua kali dengan pemahaman yang sama.Kapten Arya berdiri di dekat jendela. Matanya mengawasi halaman pesantren yang kini terasa berbeda. Bukan karena suasananya berubah, melainkan karena ia tahu: pesantren ini bukan lagi tempat untuk mendidik seperti dulu. Ia telah menjadi tempat kelahiran.Ustadz Faris melangkah masuk. Paka
Last Updated: 2025-06-19
Chapter: Suara yang TersisaSuara yang TersisaFajar menyibak bayang-bayang semalam. Kabut tipis turun pelan, menyelimuti halaman pesantren yang kini terasa berbeda. Bukan karena ada bangunan baru, tapi karena sesuatu di dalam jiwa para penghuninya telah berubah.Lena membuka jendela kamarnya perlahan. Dari tempatnya berdiri, ia melihat Kai duduk di bawah pohon tua, masih memegang buku kecil tempat ia mencatat penggalan-penggalan narasi yang belum lengkap. Wajahnya serius, tapi tidak sesuram dulu. Ada ketenangan aneh dalam sorot matanya.Di sisi lain, Ustadz Faris tengah berdiri di depan papan pengumuman pesantren. Tidak ada pemberitahuan resmi di sana. Hanya lembar-lembar kosong yang dipaku, seakan memberi tempat bagi siapa pun yang ingin menuliskan sesuatu. Ia menatap lembar-lembar itu dalam diam, seolah mendengarkan suara yang tak kasat mata.Kapten Arya, dengan jas panjangnya yang sedikit lusuh, tengah berbicara dengan beberapa santri. Bukan memberi perintah seperti dulu saat ia masih berperan sebagai penjag
Last Updated: 2025-06-19
Chapter: Ketika Dunia Menunggu Kalimat Pertama Ketika Dunia Menunggu Kalimat PertamaDi luar ruangan tua tempat mereka menulis ulang dasar dunia, angin berhenti berhembus. Burung-burung yang biasanya beterbangan di sekitar menara pesantren kini membeku di udara, seolah ikut menanti apa yang akan dituliskan. Langit yang tadi berputar dalam pola frasa dan aksara kini diam membentang, menanti satu hal: kalimat pertama dari dunia yang baru.Lena masih menatap naskah kosong di meja. Tangannya belum bergerak. Bukan karena ragu, tapi karena dia tahu, kalimat pertama akan menentukan ritme dan arah cerita mereka selanjutnya. Di belakangnya, Ustadz Faris berdiri tegak, tidak bersuara, tetapi kehadirannya seperti jangkar di tengah badai sunyi itu.Kai perlahan mengangkat tangannya, tapi Lena menahannya dengan satu gerakan pelan. “Tunggu,” katanya. “Jangan menulis seperti dulu. Kita tidak bisa memulai dengan kalimat yang mengklaim segalanya. Bukan ‘pada mulanya’, bukan ‘ada’, bukan ‘adalah’.”Kapten Arya, yang selama ini diam, kini duduk di
Last Updated: 2025-06-19
Chapter: Ketika Kata Bangkit Ketika Kata BangkitTanah yang tadinya hening kini bergemuruh pelan, bukan oleh gempa, tapi oleh desakan makna yang lama terkubur. Cahaya biru dari celah makam terus menyala, membentuk siluet samar yang perlahan menjelma. Bukan manusia. Bukan tokoh cerita biasa. Tapi sesuatu yang lebih purba. Frasa.Lena menatap cahaya itu tanpa berkedip. Ia merasa seolah sedang berdiri di hadapan asal mula bahasa. Di hadapan sesuatu yang pernah menjadi fondasi seluruh cerita, sebelum nama, sebelum tokoh, sebelum dunia.Kapten Arya mengepalkan tangan. “Kita sudah pernah melawan struktur lama, pernah menantang para Penjaga. Tapi ini… ini bukan tentang perlawanan. Ini tentang menampung sesuatu yang terlalu luas untuk satu halaman.”Kai menggenggam kitab Asal-Usul Pesantren. Halamannya kini terbuka sendiri, seolah menyambut sang tamu yang akan datang. Huruf-huruf yang tadinya terputus kini menyatu, tapi bukan dengan keteraturan biasa. Mereka membentuk pola, membentuk lirik, membentuk gema.“Dia bicara,”
Last Updated: 2025-06-19

Samaran Terakhir
Adrian Morello adalah bayangan di dunia kriminal. Dijuluki Phantom, ia adalah dalang di balik berbagai kejahatan besar, tetapi tak pernah ada satu pun jejak yang mengarah padanya. Bagi polisi, ia adalah legenda yang menakutkan. Bagi musuh-musuhnya, ia adalah sosok yang tak tersentuh.
Namun, hidupnya berubah ketika ia memutuskan untuk menyamar sebagai seorang penulis misteri di kota kecil demi menghilangkan jejak dari Interpol. Di sana, ia bertemu dengan Elena Rinaldi, seorang detektif wanita yang berdedikasi penuh untuk menangkapnya, meskipun ia tak menyadari bahwa pria yang selama ini dikejarnya ada di depan matanya.
Elena adalah sosok yang keras dan setia pada hukum. Ketika ia mulai tertarik pada pria misterius bernama "Daniel" identitas palsu Adrian. Ia tak tahu bahwa ia sedang jatuh cinta pada musuh terbesarnya. Di sisi lain, Adrian yang terbiasa menghindari keterikatan mulai merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: cinta yang tulus.
Ketika penyelidikan Elena mulai mengarah pada dirinya, Adrian dihadapkan pada dilema besar, apakah ia harus terus bermain peran dan menjaga kebohongannya, atau mengorbankan segalanya demi wanita yang mulai mengisi hatinya?
Di tengah aksi kejar-kejaran, pengkhianatan, dan perang antara hukum dan kejahatan, Adrian harus memilih: menghilang seperti bayangan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta yang dilarang.
Read
Chapter: Hari yang Tidak Ditentukan Siapa-siapaTentang tokoh-tokoh yang memilih untuk hidup… dan tersenyum.---[Pagi Tanpa Agenda]Matahari muncul, bukan karena diperintah narator, bukan karena menandai sebuah awal bab. Tapi karena pagi memang datang begitu saja.Lena membuka matanya perlahan. Di sampingnya, Kai sedang tertidur dengan buku kosong di dadanya buku yang dulu ingin diisi dengan perlawanan, sekarang hanya menjadi tempat ia menulis mimpi-mimpinya sendiri.Lena tidak membangunkannya. Ia hanya menatap wajah itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa: tidak ada yang harus dilakukan, tidak ada yang harus dibuktikan.Dan ternyata, itu cukup untuk bahagia.---[Adrian dan Elena – Menanam, Bukan Mengendalikan]Adrian kini hidup di rumah kecil yang mereka bangun sendiri, jauh dari ruang konflik, jauh dari keributan struktur. Ia duduk di tanah, menanam bibit kecil bersama Elena.“Ini tomat?” tanya Elena sambil tersenyum.Adrian mengangguk. “Kalau tumbuh... kita bisa bikin sup.”Elena tertawa kecil. “
Last Updated: 2025-06-10
Chapter: Narasi yang Menolak DimilikiNarasi yang Menolak DimilikiTentang kisah yang memilih untuk tidak dikendalikan.[Pembuka – Ruang Tanpa Naskah]Mereka berdiri di ruang yang seharusnya kosong tempat narasi biasanya lahir. Tapi malam itu, tidak ada pembukaan, tidak ada konflik, tidak ada klimaks.Hanya kesunyian yang jujur.Lena menatap ke depan. Di tangannya ada potongan narasi yang pernah ia tempelkan di dinding hatinya. Ia merobeknya perlahan, membiarkannya tertiup angin.Kai berjalan di belakangnya, membawa pena yang tidak lagi bisa menulis. Bukan karena tintanya habis—tapi karena dunia sudah menolak untuk ditulisi.“Bagaimana kalau kita tidak menulis akhir?” tanya Kai.Lena tersenyum, lelah tapi utuh.“Maka kita bebas.”[Adrian – Yang Pernah Menjadi Pusat]Adrian duduk sendirian. Di sekelilingnya ada kalimat-kalimat yang dulu ia pimpin. Kalimat-kalimat yang tunduk. Tapi malam ini, mereka menatapnya balik.Bukan dengan dendam. Tapi dengan kesadaran.“Kami bukan perpanjangan tanganmu lagi,” bisik salah satu paragr
Last Updated: 2025-06-10
Chapter: Di Mana Cinta Menjadi Cerita yang TerbukaDi Mana Cinta Menjadi Cerita yang Terbuka[Adegan Pembuka – Paragraf Tanpa Tanda Baca]Tidak ada awalan. Tidak ada penutup. Hanya satu halaman putih, terbuka di tengah dunia yang masih menulis dirinya sendiri.Elena berdiri di sana, membaca setiap kata yang muncul bukan dari pena, tapi dari keberanian untuk tidak menyembunyikan apa pun.Di sisi lain halaman, Adrian muncul. Ia tidak membawa skrip. Tidak menawarkan plot twist. Hanya satu kehadiran yang penuh kesadaran:> "Aku tidak ingin mencintaimu dalam diam lagi."Kalimat itu tidak berani diucapkan di musim lalu. Tapi kini, tidak ada musim. Hanya ruang yang diciptakan oleh keduanya.Elena tidak menjawab dengan kata. Tapi dengan langkah mendekat. Dengan genggaman yang tidak menyelamatkan, tapi menemani.Dan dunia akhirnya membuka bab yang selama ini tertunda.---[Lena – Menulis Diri Tanpa Sembunyi]Lena duduk di pojok halaman itu, memandang mereka. Tapi ia tidak iri. Karena cinta yang ia lihat bukan soal romansa. Tapi soal keberanian
Last Updated: 2025-06-10
Chapter: Cerita yang Ditulis dari Mata yang Menangis[Adegan Pembuka – Pena yang Gagal Mengatur Arah]Adrian duduk di tengah struktur kosong yang biasanya ia kontrol penuh. Dulu, cukup satu gerakan tangannya dan dunia akan mengubah warna, arah, dan nasib.Namun kali ini, tidak.Tangannya gemetar saat menyentuh naskah kosong di depannya. Ia mencoba menulis ulang Elena mencoba memberi akhir yang rapi, sebuah penutup yang ia pikir pantas.“Elena kembali ke ruang cerita, dan menerima bahwa ia hanyalah versi gagal dari cinta…”Ia berhenti.Kertas menolak menyerap tinta.Pena retak.Struktur menolak.Di belakangnya, suara lembut Elena terdengar:“Kau tidak bisa lagi menulisku dengan tangan yang sama yang pernah meninggalkanku.”[Elena – Menulis dari Luka yang Pernah Dibungkam]Elena duduk di hadapan Adrian, memegang selembar naskah kosong. Tapi ia tidak menulis dengan tinta.Ia menulis dengan air mata.“Dulu aku kalimatmu. Kini aku narasiku sendiri.”Ia menggoreskan jejak luka masa lalu, tapi bukan untuk membalas.Untuk menyatakan bahwa luka
Last Updated: 2025-06-10
Chapter: Kalimat yang Tidak Ingin Selesai[Adegan Pembuka – Langkah yang Mengganggu Keheningan Panggung]Panggung yang dibangun oleh air mata masih berdiri. Tirai dari luka, cahaya lembut dari pengampunan, dan lantai narasi yang retak namun hidup. Tapi tiba-tiba… terdengar langkah.Satu. Dua. Tiga.Langkah yang bukan berasal dari dunia ini. Langkah yang membawa semacam... kenangan.Lena dan Kai saling menatap. Bahkan Valen berhenti menulis.Lalu suara itu datang. Bukan teriak. Bukan bisik.“Kalian menulis tentang keberanian dari mereka yang bertahan.”“Tapi bagaimana dengan kami… yang memilih untuk pergi?”Elena Rinaldi berdiri di ambang panggung. Rambutnya lebih panjang, pakaiannya tidak mencerminkan masa lalu. Tapi matanya—matanya masih penuh cerita yang tertahan di ujung koma.[Elena – Kalimat yang Tak Pernah Diakhiri]Lena menatapnya, napasnya tercekat. “Elena… kau—”“Belum selesai,” Elena memotong dengan lembut. “Aku belum selesai.”Ia melangkah ke tengah panggung dan mengangkat secarik naskah yang compang-camping.“Aku
Last Updated: 2025-06-10
Chapter: Panggung yang Diciptakan oleh Air MataTentang panggung yang tidak dibangun oleh penulis,melainkan oleh karakter-karakter yang pernah jatuh.Tentang ruang tampil yang tidak mencari tepuk tangan,tapi mengundang keberanian untuk berdiri lagi—meski tanpa naskah.[Adegan Pembuka – Lantai Panggung dari Luka]Tidak ada karpet merah.Tidak ada lampu sorot.Hanya lantai retak yang terbuat dari kata-kata yang pernah gagal.Dindingnya dibentuk oleh kalimat yang tak pernah sempat selesai.Langit-langitnya bergantung pada harapan yang belum berani diucapkan.Di sanalah Lena berdiri.Ia tidak menunggu giliran tampil.Ia tidak membawa dialog.Ia hanya berdiri… dengan air mata yang tidak ditulis oleh siapa pun.Karena kali ini, air matanya bukan untuk dipahami. Tapi untuk menghidupkan panggung ini.[Kai – Merangkai Dialog dari Duka]Kai tidak pernah berpikir akan kembali ke tempat ini:ruang narasi yang pernah ditinggalkan,bekas teater cerita yang dibakar oleh keputusasaan.Namun kini, ia datang bukan sebagai tokoh yang mencari arah.
Last Updated: 2025-06-10