Suara detik jam di dinding terasa begitu lambat. Bu Surti duduk di samping Aulia yang masih terlihat lemas. Wanita paruh baya itu memegang tangan anak bungsunya dengan erat, memastikan Aulia tidak lagi berpikiran untuk menyakiti dirinya sendiri. Namun, pikirannya sendiri berkecamuk, penuh dengan rasa sakit dan kebingungan.
Ia membalut pergelangan tangan sang anak yang terus mengeluarkan darah.
"Nak ... Ibu nggak pernah tahu kalau kamu menyimpan rasa seperti ini untuk dosenmu yang ternyata pengacaranya Shena. Kenapa kamu nggak cerita dari awal, Sayang?" tanya Bu Surti, suaranya nyaris berbisik.
Aulia menghela napas panjang, menundukkan kepala. "Aku nggak tahu harus cerita apa, Bu. Aku malu. Pak Ervan itu terlalu sempurna untuk aku. Tapi ... aku nggak bisa berhenti berharap."
Kata-kata Aulia membuat hati Bu Surti terasa perih. Ia tahu betapa rapuhnya anak bungsunya itu. Aulia mungkin terlihat ceria di luar, tetapi di dalam, ia sering merasa rendah diri. Bu Surti memeluk putrinya erat-er