Setelah kepergian Bu Surti, Shena terduduk di kursi ruang kerjanya. Mata cokelatnya menatap kosong ke arah jendela, di mana sinar matahari siang menembus tirai tipis dan membuat bayangan lembut di lantai. Suara detik jam di dinding terasa begitu nyaring di telinganya, mengiringi kekacauan dalam pikirannya.
Ia memejamkan mata, mencoba mencerna kembali setiap kata yang diucapkan Bu Surti tadi. Permintaan itu, meski disampaikan dengan nada memohon, terasa seperti beban berat yang mendadak dilemparkan ke pundaknya. Bu Surti benar-benar meminta agar ia menjauhi Ervan. Shena tak dapat membohongi dirinya lagi. Diam-diam, ia mulai menyadari bahwa Ervan telah mengisi ruang kosong di hatinya.
Shena menghela napas panjang, kemudian berbisik pada dirinya sendiri, "Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?"
Bayangan wajah Ervan melintas di benaknya. Cara pria itu tersenyum saat mereka berbicara, bagaimana ia selalu memperlakukannya dengan penuh hormat, dan yang paling menyentuh hati Shena, kesabaran Erva