Sore itu Arthur duduk di tepian tempat tidur, satu tangannya menggenggam tangan Irish, sementara tangan satunya merapikan helai rambut di pelipis gadis itu. Ini hari ke enam sejak ia membawa Irish ke apartemennya.
Wajah Irish tenang, tapi matanya mengandung kekosongan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pernah kehilangan segalanya.
“Seharusnya aku sudah kembali bekerja,” gumam Arthur, lirih, nyaris seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi sekarang rasanya... meninggalkanmu seperti membiarkan diriku pergi tanpa satu pun pegangan.”
Irish menatapnya. “Aku tidak bisa memintamu untuk selalu di sini.”
“Tapi aku ingin,” bisik Arthur, jujur. “Hari ini... bersamamu, membuatku sadar—aku tak ingin membiarkanmu sendiri lagi. Sekalipun hanya untuk beberapa jam.”
Mereka terdiam sesaat. Hanya suara detik jam yang terdengar dari dapur.
Kemudian ponsel Arthur bergetar di meja. Terpampang nama 'Bunda'.
Ia menghela napas perlahan. Jemarinya menahan layar, seolah enggan menerima kenya