"Ada apa kau terus menelepon putriku?"
Namun, bukan suara Laura yang terdengar. Itu adalah laki-laki yang dingin. Suaranya terdengar berwibawa dan syarat dengan penolakan.Dada Baim terasa sesak, seolah sesuatu menekan dadanya dari dalam."Pa…" Suaranya bergetar, nyaris tercekat. Ia menggenggam ponsel lebih erat. "Tolong berikan ponselnya pada Laura.""Laura sangat sibuk. Dia tidak punya waktu untuk bicara denganmu.""Tapi, Pa—"Tuut. Tuut. Tuut.Sambungan terputus.Baim menatap layar ponselnya, napasnya memburu. Ia segera meneleponnya lagi.Kali ini tidak ada nada sambung. Hanya suara mekanis yang terdengar dingin dan asing.'Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.'Baim mengatupkan rahangnya. Napasnya berat."Apa yang sebenarnya terjadi, Laura? Kenapa kamu masih belum datang untuk anak-anak kita?"Panas membakar dadanya—menyengat, menyakitkan hingga ke ulu hati.