"Aku akan memberimu waktu. Tapi aku tetap berharap kamulah pendamping wisuda dan pendamping hidupku nanti." Keenan tersenyum menatap Liqa. Liqa pun tersenyum, tapi dalam hati penuh dengan kekhawatiran. Khawatir jika masa lalu keluarganya akan membuat keluarga Keenan keberatan dan tidak merestui mereka. Tiba-tiba mata Liqa terasa menghangat, ia berusaha menahan air matanya.
“Kamu kenapa? Apakah kata-kataku membuatmu sakit hati?” tanya Keenan sambil menatap wajah Liqa. Ada butir air mata yang turun di pipinya.
Liqa segera menghapus air mata itu.
“Nggak apa-apa, Mas, aku baperan orangnya,” kata Liqa sambil berusaha untuk tertawa kecil. Suara tawa yang dipaksakan, semakin menyayat hati Liqa.
“Mas tahu bagaimana keluargaku kan? Aku merasa kalau aku tidak berhak untuk hidup bahagia dan memiliki keluarga Cemara. Aku terlalu pesimis kalau masalah keluarga.” Liqa berkata dengan suara yang bergetar.
"Jangan khawatir, bagaimanapun keadaan keluargamu, aku tetap ingin bersamamu.”
“Aku tidak yakin