Elina menubruk Raka dengan gemetar yang merambat hingga ke ujung jemari. Tubuh mungilnya melekat erat di dada sang ayah, seakan hanya detak jantung lelaki itu yang sanggup menenangkan badai kecil di dalam dirinya.
Wajahnya tertanam dalam lekuk leher Raka, menyerap hangat yang terasa seperti satu-satunya benteng dari dunia yang terlalu keras untuk dipahami bocah seusianya.
Di sudut ruangan, Sekar berdiri mematung, menyaksikan adegan itu dengan hati yang berdesir getir.
Dinding ruang keluarga yang hangat berlapis cat krem dan lampu kuning temaram tak mampu menyamarkan ketegangan yang menggantung di udara.
Aroma teh melati di meja tidak lagi memberi kelegaan.
Sekar menghela napas tajam, suaranya menggores kesunyian dengan keluhan yang tak bisa disembunyikan.
“Kamu tuh kerja terus, Raka. Gimana Ellie nggak ngerasa sendirian? Anak kecil itu butuh ditemani, dikasihi, bukan ditinggalin tiap hari. Coba kalau kamu punya istri yang bisa nemenin dia...