Demi pengobatan sang ayah yang sekarat, Kirana terpaksa menerima sebuah pernikahan dengan Raka, laki-laki yang dia cintai dan kebetulan didesak pernikahan oleh keluarganya. Sayangnya, hati Raka masih terpaut pada wanita lain yang tak direstui ayahnya. Setelah tiga tahun Kirana pun menyerah. Ia pergi setelah menghabiskan malam pertama dan terakhir dengan sang suami. Namun siapa sangka, Kirana justru mengandung anak Raka?
View More"Emmph..."
Sebuah desah halus pecah di udara, seperti hembusan angin yang nyaris tak terdengar, saat bibir Kirana menyentuh bibir Raka yang sedang tertidur.
Ia menunduk perlahan, ragu, seakan takut gerakannya akan membangunkan dunia. Jantungnya berdebar tak karuan—bukan karena cinta yang bersemi, tapi karena luka yang menganga.
Sudah tiga tahun ia menjadi istri Raka Pradana, pria dengan sorot mata sedingin musim dingin yang tak pernah menyambutnya dengan hangat.
Tiga tahun berlalu, dan tidak sekalipun Raka menyentuhnya, bahkan sekadar menatapnya dengan pandangan seorang suami.
Bayangan Zelina Pratama—sang mantan kekasih—masih tinggal di mata Raka. Dan Kirana tahu, ia tak pernah benar-benar hadir di hati pria itu.
Tapi malam ini, Kirana ingin menjadi egois. Untuk pertama kalinya. Dan mungkin... yang terakhir.
Ia mengecup bibir Raka dengan penuh perasaan yang terpendam, menggigit isak yang ingin meledak dari dadanya.
Hangat bibir itu tak menyambut, tapi Kirana terus mencium, mengukir kenangan yang kelak akan ia simpan dalam diam.
Lalu tiba-tiba—
"Kirana! Apa yang kau lakukan?!"
Raka terbangun dengan kasar. Rahangnya mengeras, matanya menyorot seperti bara yang baru tersulut.
Kirana terperanjat, matanya membulat. "Aku..."
Tapi sebelum sempat menjelaskan, dunia mendadak berubah. Tatapan Raka menggelap, dan entah apa yang terjadi, atmosfer di kamar itu mendadak berubah.
Seperti api yang membakar tiba-tiba, dingin antara mereka lenyap, digantikan badai hasrat yang liar dan membingungkan.
Rintihan dan desah napas memenuhi ruang kamar yang temaram, seperti simfoni asing yang selama ini tak pernah mereka kenal.
Tubuh mereka menyatu, bukan karena cinta, melainkan ledakan rasa yang selama ini terpendam, tak pernah tersentuh.
Dan saat fajar mulai menyingsing, Kirana membuka mata dalam keheningan.
Ia beringsut pelan dari tempat tidur, menyibak selimut yang masih hangat dengan hati-hati, seakan takut membangunkan kembali mimpi yang baru saja mereka lalui.
Kakinya melangkah perlahan ke meja kecil di sudut kamar. Lampu tidur berwarna lembut memantulkan bayangannya di dinding.
Tangannya gemetar saat menarik laci. Sebuah map putih terselip di sana, isinya: dokumen perceraian.
Sudah ditandatangani sejak lama, disimpan rapi, menunggu momen yang tepat.
Hari ini, momen itu datang.
Kirana menaruh map itu di atas meja, tepat di samping tempat tidur. Pandangannya terarah pada sosok Raka yang masih terlelap, wajahnya damai untuk pertama kalinya.
Namun di hati Kirana, badai tak berhenti.
"Raka..." gumamnya nyaris tanpa suara, tapi gemanya terasa keras di dalam hatinya sendiri. "Mulai hari ini, aku akan membebaskanmu. Tidak ada lagi ikatan di antara kita."
Ia melangkah keluar dari kamar itu dengan kepala tegak, meski hatinya terjatuh berkeping-keping. Cahaya matahari pagi mulai menyelinap dari balik tirai, menyinari jejak langkah terakhirnya sebagai istri Raka Pradana.
Tujuh tahun. Itulah lamanya Kirana mencintai pria itu. Dari masa putih abu-abu, hingga bangku kuliah yang mempertemukan mereka kembali.
Cintanya tumbuh tenang, tapi tak pernah padam—seperti akar pohon yang terus merayap dalam diam, kuat, dalam, tak terlihat.
Namun hidup bukan cerita dongeng.
Raka menikahinya bukan karena cinta, melainkan karena permintaan terakhir sang kakek yang sekarat.
Permintaan yang disambut bahagia oleh ibu tiri Kirana dan suaminya—ayah tiri Kirana—yang lebih tertarik pada status dan gengsi ketimbang kebahagiaan anak mereka.
Kirana masih mengingat malam sebelum pernikahan itu. Masih teringat jelas denting gelas, gelak tawa, harapan yang berputar seperti tarian lampu gantung.
Sebelum satu kalimat menghancurkan segalanya.
“Kirana, yang ingin kunikahi itu Zelina Pratama. Bukan kamu. Aku nggak pernah mencintaimu. Hanya Zelina yang pantas jadi istriku. Kamu… tidak cukup untukku.”
Duri itu tertanam dalam. Tapi Kirana memilih mengubur luka dan menjalani peran sebagai istri. Kini, ia memilih jalan keluar—jalan yang mungkin menyakitkan, tapi memberi kebebasan.
“Semoga pilihanku tidak salah…”
Raka terbangun saat matahari sudah tinggi. Sinar pagi menyusup lewat celah gorden, menari di wajahnya.
Tapi bukan sinar yang membangunkannya—melainkan kekosongan.
Kepalanya berat, seperti dihantam palu berkali-kali. Ia mengerjap, lalu memutar tubuh. Tangannya menyentuh sisi tempat tidur yang dingin.
Kirana tak ada di sana.
Selimut tergulung seadanya, seolah ditinggalkan terburu-buru. Pandangannya menyapu kamar, dan berhenti pada meja di sudut.
Di atasnya, sebuah map cokelat mencolok menanti. Jantung Raka mencelos.
Ia bangkit, meraih map itu. Matanya menajam, membacanya sekilas—Surat Perceraian.
“Pertama dia… memaksaku semalam… lalu sekarang dia mau pergi? Cerai?” gumamnya, suara menggema penuh amarah.
“Apa dia pikir aku bisa dipermainkan sesuka hati?”
Ia mengenakan jaket dengan kasar, celana panjang ditarik cepat, lalu menuruni tangga tanpa peduli kancing yang belum tertutup rapat.
Langit, kepala pelayan tua yang setia, sudah berdiri di kaki tangga, seperti biasa. Tapi kali ini, ia tak menyambut dengan senyum.
“Kamu lihat Kirana?” tanya Raka, suaranya tajam, hampir menggonggong.
Langit menunduk sejenak, lalu menjawab dengan hati-hati, “Tuan Raka... Nyonya Kirana pergi sebelum matahari terbit. Dia membawa satu koper besar.”
Seketika, waktu seperti berhenti. Raka terdiam. Dunia, yang selalu ia kontrol dengan tangan besinya, kini goyah.
Ia ditinggalkan oleh perempuan yang selama ini nyaris tak ia perhitungkan.
"Sial..." desisnya pelan, wajahnya mengeras, rahangnya menegang. "Jika aku menemukannya, dia harus membayar semua... dengan mahal."
Namun jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang lain yang tak ingin ia akui. Bukan kemarahan. Bukan harga diri.
Tapi... ketakutan.
Baru saja Kirana selesai menyematkan anting mungil di telinganya, suara dering ponsel memecah keheningan kamar yang berbau samar lavender dari lilin aromaterapi yang masih menyala di sudut meja rias.Layar ponsel menyala, menampilkan nama yang sudah tak asing: Lukman.Ia menarik napas pelan, bibirnya terangkat membentuk senyum samar. Jari-jarinya meraih helai rambut yang masih lembap, mengusapkannya ke belakang telinga sebelum menekan tombol hijau.“Lagi di mana?” suara Lukman terdengar ringan, nyaris gumam, tapi entah kenapa, kehangatannya membuat kamar kecil itu seolah dipenuhi udara berbeda.“Di rumah. Ada apa?” sahut Kirana, matanya tetap pada bayangan di cermin. Kilasan jarum jam di dinding membuatnya sadar—waktu meluncur lebih cepat dari yang ia kira.Terdengar tawa kecil dari seberang. “Aku jemput, ya?”Kirana terdiam sejenak. Ia tak perlu bertanya, sudah bisa menebak maksudnya. Malam ini mere
Suara seruan Aidan dan Bayu pecah nyaring, meluncur hampir bersamaan, seolah melesat menembus udara pagi yang penuh riuh di halaman sekolah. Mereka berdua menarik lengan Kirana, mata membelalak, suara terengah.“Ibu! Itu Ellie!”Kirana, yang sejak tadi berjalan dengan wajah tanpa ekspresi, seperti menyembunyikan diri di balik dinding tak terlihat, akhirnya menoleh.Dan di sana, seakan waktu melambat, sosok mungil dengan jaket merah muda kebesaran berlari ke arahnya. Elina. Rambutnya yang dikuncir pita tampak hampir lepas, wajahnya berpendar cahaya semangat yang murni, tulus, tak terkotori keraguan.Tak jauh di belakang, langkah Raka menyusul, tenang tapi pasti. Di tangannya tergantung tas kecil bergambar binatang, sementara matanya—ah, mata itu—menatap Kirana dengan intensitas yang tak bisa begitu saja diabaikan.Ada sesuatu yang sulit dijabarkan di sana: kekhawatiran, kerinduan, juga sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ka
Raka menyipitkan mata, alisnya sempat bertaut. “Aku masih mikir langkah selanjutnya,” gumamnya lirih, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Suaranya tenggelam di tengah musik lembut yang mengalun di restoran itu.Bara, yang duduk berhadapan dengannya, tiba-tiba merogoh saku jaket. Gerakan kecil itu cukup untuk membuat Raka menoleh, alisnya terangkat, menunggu jawaban dari sesuatu yang belum ia tanyakan.Dengan senyum nakal yang sudah jadi ciri khasnya, Bara mengeluarkan dua lembar tiket. Kertas tebal berwarna gading dengan tepi emas itu berkilau terkena pantulan lampu gantung restoran yang temaram.“Kebetulan banget, tadi pagi aku dapet dua tiket konser.” Ia menyodorkan tiket itu dengan gaya santai, seperti sedang menawarkan permen, padahal jelas benda itu lebih berharga. “VIP, bro. Ajak dia nonton. Siapa tahu... suasananya bisa lebih cair.”Raka menerima tiket itu perlahan, seolah benda rapuh yang bisa pecah kala
Kirana berdiri kaku di sudut ruangan, kedua tangannya mencengkeram buket mawar yang baru saja datang pagi itu. Jemarinya seolah menahan sesuatu yang lebih berat daripada sekadar bunga.Kelopaknya masih segar, merahnya seperti bara yang baru saja dinyalakan, aroma manisnya samar bercampur dengan dingin udara kantor. Namun, bukan wangi bunga yang menempel di kepalanya, melainkan gema suara Raka yang sejak tadi enggan pergi dari pikirannya.Tatapan Kirana merosot ke buket itu, redup dan bimbang. Ada kilatan luka di wajahnya—singkat, nyaris tak terlihat, tapi cukup menusuk jika diperhatikan. Senyum yang sempat singgah lenyap begitu saja, diganti raut sendu.Ia tampak seperti seseorang yang berdiri di antara dua sisi jurang, tak tahu sisi mana yang lebih aman.Berjam-jam kemudian, ia kembali membawa buket itu ke kantor. Bukan tanda bahwa ia menerima Raka. Tidak, hatinya belum sejernih itu. Namun membuang bunga yang begitu segar dan cantik terasa seperti
Terpaksa, Kirana kembali meraih buket bunga yang tadi sempat ia letakkan di meja resepsionis. Kelopak mawar yang masih segar menyebarkan wangi lembut, mengusik napasnya yang makin tak beraturan.Ia berjalan di belakang Raka dengan langkah berat, seperti sedang menapaki jalan asing yang licin—setiap pijakan membuat tubuhnya menegang.Restoran itu memancarkan kemewahan yang tenang. Lampu gantung kristal menggantung rendah, cahayanya memantul halus pada meja-meja marmer, seperti bintang yang jatuh pelan dari langit lalu tertahan di udara.Dinding berlapis kayu gelap menguatkan suasana hangat sekaligus mewah, sementara denting piano dari sudut ruangan mengalun rendah, seolah menjadi latar bagi cerita yang tak ingin terlalu keras terdengar.Aroma keju panggang, roti hangat, dan anggur merah tipis-tipis mengambang, bercampur dengan suara bisik para tamu yang menundukkan kepala mereka, menyembunyikan senyum atau rahasia.Namun di tengah pemandangan
Raka terkekeh pendek, tawa yang terdengar bukan seperti canda, melainkan gesekan besi dengan batu. Ada getir di sana, dingin yang berusaha ia sembunyikan di balik suara ringan.Cahaya lampu gantung berpendar ke wajahnya, menegaskan garis tegas rahang yang menegang. Ekspresi wajahnya datar, tapi sorot mata itu—ada ironi, ada luka yang tak pernah benar-benar padam.“Tindakanmu juga cukup merepotkan bagiku, Nona Alesha.”Kirana menegang seketika. Tubuhnya tergerak setengah langkah mundur, seolah setiap kata Raka adalah duri yang menusuk terlalu dekat.“Raka Pradana!” suaranya pecah, meninggi tanpa bisa ia tahan. “Kamu tahu maksudku!”Ruangan yang semula tenang seperti tertarik masuk ke dalam bayangan. Padahal matahari siang masih menembus tirai, tapi suasananya berubah pekat, seakan sinarnya tak sanggup mengusir dingin di antara mereka.Raka menundukkan kepala, rahangnya semakin keras menonjol. Sekejap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments