Demi pengobatan sang ayah yang sekarat, Kirana terpaksa menerima sebuah pernikahan dengan Raka, laki-laki yang dia cintai dan kebetulan didesak pernikahan oleh keluarganya. Sayangnya, hati Raka masih terpaut pada wanita lain yang tak direstui ayahnya. Setelah tiga tahun Kirana pun menyerah. Ia pergi setelah menghabiskan malam pertama dan terakhir dengan sang suami. Namun siapa sangka, Kirana justru mengandung anak Raka?
View More"Emmph..."
Gerakan Kirana gugup saat mengecup bibir Raka yang tengah tertidur pulas.
Meski telah menjadi istri pria dingin itu selama tiga tahun, Kirana belum pernah disentuh.
Pria itu masih memikirkan sang mantan. Namun hari ini, Kirana ingin egois.
Ditahannya air mata saat melakukan ciuman pertama dan terakhir mereka.
"Kirana! Apa yang kau lakukan?!" Raka Pradana mendadak terbangun.
Rahangnya mengeras, dan matanya menyorot marah,
Kirana terperanjat. "Aku ...."
"Ah...." Entah apa yang terjadi, tatapan Raka menggelap.
Gelora hasrat memenuhi ruangan itu seketika. Rintihan dan erangan bercampur menyiratkan rasa yang luar biasa dan keduanya tak pernah bayangkan sebelumnya.
Kirana bahkan baru terbangun saat fajar mulai menyingsing.
Perlahan ia bangun.
Tanpa suara, Kirana bangkit, lalu berjalan menuju meja kecil di sudut kamar.
Dari dalam laci, ia mengeluarkan sebuah map putih berisi dokumen yang selama ini ia simpan dalam diam—dokumen perceraian yang sudah ditandatangani.
Tangan kirinya bergetar saat ia meletakkannya di atas meja, tepat di sebelah tempat tidur.
Ia menatap Raka sekali lagi.
Dada Kirana sesak, namun ditahannya. "Raka... mulai hari ini, aku akan membebaskanmu. Kita akan berpisah. Tidak ada lagi ikatan di antara kita," gumamnya, nyaris tanpa suara, tapi cukup untuk menggema di ruang hatinya sendiri.
Ia meninggalkan kamar itu pelan, namun pasti.
Tujuh tahun ia mencintai Raka. Sejak remaja berseragam putih abu-abu, hingga mereka bertemu lagi di bangku kuliah. Cintanya tumbuh seperti akar pohon yang merayap pelan tapi dalam. Ia bermimpi sederhana—hanya ingin menjadi istri Raka.
Namun hidup tak pernah sesederhana itu.
Raka menikahinya bukan karena cinta. Bukan karena keinginan. Tapi karena permintaan terakhir kakeknya yang sakit keras—permintaan yang disambut gembira oleh ibu tiri dan ayah tirinya demi gengsi dan keuntungan pribadi.
Kirana masih bisa merasakan degup bahagia di malam sebelum pernikahan, sebelum semuanya runtuh oleh satu kalimat.
“Kirana, yang ingin kunikahi itu Zelina Pratama. Bukan kamu. Aku nggak pernah mencintaimu. Hanya Zelina yang pantas jadi istriku. Kamu… tidak cukup untukku.”
Ya, kata-kata itu seperti duri yang tertanam di hatinya.
Tapi kini, Kirana memilih jalan yang menyakitkan namun merdeka. Ia meninggalkan semuanya.
"Semoga pilihanku tidak salah...."
Sementara itu, Raka baru terbangun pukul sepuluh pagi,.
Kepalanya berat, seolah dihantam palu semalaman. Namun, kejadian semalam membuat bara amarah lebih menguasainya.
Pria itu sontak bangkit dan mencari Kirana.
Sayangnya, wanita itu tak ada di mana pyn.
Hanya ada bekas lipatan selimut yang dingin.
Pandangan Raka lantas menyapu ruangan, lalu berhenti pada sesuatu di atas meja.
Sebuah map cokelat dengan tulisan mencolok: "Surat Perceraian."
Tangan Raka terulur, meraihnya.
Wajahnya berubah kaku. “Pertama dia... memaksaku semalam... lalu sekarang dia mau pergi? Cerai?” Suaranya penuh kemarahan. “Apa dia pikir aku bisa dipermainkan sesuka hati?”
Raka pun bergegas, menarik jaket, mengenakan celana panjang tanpa banyak pikir, lalu turun ke bawah.
Di kaki tangga, ia menemukan Langit, kepala pelayan yang sudah bekerja sejak masa ayahnya.
“Kamu lihat Kirana?” tanyanya, suara tajam dan nyaris menggonggong.
Langit tampak gugup, namun tetap menjawab dengan tenang. “Tuan Raka, Nyonya Kirana pergi sebelum matahari terbit. Dia membawa satu koper besar.”
Raka membeku. Dunia seolah bergeser sedikit dari porosnya. Ia, Raka Pradana, pria yang selalu mengendalikan segala hal, kini ditinggalkan oleh perempuan yang selama ini nyaris tak ia perhitungkan?
"Sial! Jika aku menemukannya, dia harus membayar semua dengan mahal."Kirana terkekeh pelan, nyaris hanya getaran samar dari bibir yang mulai mengendur dari ketegangan. Sorot mata mereka bertemu—sepasang tatapan yang membawa kelegaan, tetapi juga kelelahan yang menempel seperti embun dini hari pada kaca jendela.Malam itu belum sepenuhnya selesai, tapi langkah mereka terus bergerak, seolah menolak berhenti sebelum tiba di titik aman.Rumah itu menyambut mereka tanpa kata—sunyi, sedikit pengap oleh udara malam yang belum sempat berganti, namun tetap terasa seperti pelukan yang akrab.Begitu pintu tertutup, aroma nasi uduk dan lauk dari bungkus kertas cokelat memenuhi ruang makan kecil yang terletak tak jauh dari ruang tamu.Bau khas dari Warung Nyi Darmi—dengan jejak sambal terasi yang kuat dan lengkuas yang menempel di lidah—menjadi pengingat bahwa bahkan dalam kekacauan, ada hal-hal kecil yang tetap setia memberi kenyamanan.Tanpa banyak bicara, Kirana dan kedua anaknya segera menyerbu meja m
Jika bukan karena kehadiran Raka, mungkin Zelina sudah meluapkan emosinya tanpa ampun. Tapi sorot mata pria itu terasa seperti pisau yang membelah udara di ruang tamu—tajam, tenang, dan tak bisa diabaikan.Maka ia menahan diri. Rahangnya sempat mengeras, mata menyala marah, tapi hanya sekejap. Lalu, dengan gerakan teatrikal, ia melepaskan genggamannya dari lengan Elina dan menjatuhkan diri ke lantai seolah tubuhnya tak lagi sanggup menopang beban emosinya.Zelina memandang Elina dengan tatapan penuh luka yang terasa dibuat-buat, seolah ia adalah korban dari drama besar yang tak ia pilih.“Ellie…” suaranya gemetar, seperti helaan napas di tengah kabut pagi, “aku tahu kamu nggak suka aku. Tapi aku sungguh khawatir, Nak. Kenapa kamu harus begini... kejam sekali.”Air mata menggenang di sudut matanya, mempertegas citra seorang wanita yang patah hati. Ia bahkan menunduk sedikit, seakan menyerah pada keadaan, menunggu simpat
“Kalau kamu belum siap cerita, nggak apa-apa. Tapi tolong, janji satu hal… jangan kabur lagi, ya?”Suara itu lirih tapi jelas, seperti buih ombak yang pelan-pelan menyentuh karang—lembut, namun menyimpan kekuatan di dalamnya.Raka menoleh ke depan, menyembunyikan gelombang perasaan yang baru saja terbit dari tatapan mata yang ia sembunyikan di balik kaca mobil yang mulai berembun.“Zayyan,” ucapnya setelah jeda singkat, nada suaranya kini lebih tegas, “minta rekaman CCTV dari restoran itu. Segera.”Masih ada bara yang menyala. Ia belum menyerah.“Siap, Pak Pradana,” jawab Zayyan, pelan. Suaranya dalam, nyaris berat sebelah. Ia tahu, perintah ini hanya akan menyayat luka yang belum sempat mengering.Dua puluh menit kemudian, mobil meluncur pelan melewati gerbang besi hitam yang mengarah ke sebuah rumah bergaya tropis modern.Dindingnya dihiasi tumbuhan rambat yang ditata rapi, dan halaman depannya asri, seolah menyambut siapa pun yang
Kirana mengembuskan napas panjang, seperti baru saja melepaskan beban besar dari dadanya. Dalam satu gerakan refleks, ia meraih kedua anaknya dan memeluk mereka erat.Helaan napasnya nyaris terdengar seperti isakan kecil, namun ia menahan diri.Aroma khas rambut anak-anaknya—sedikit keringat yang bercampur wangi sabun mandi—membanjiri indranya, menghadirkan rasa aman yang selama beberapa jam terakhir terasa begitu jauh.“Ya Tuhan... syukurlah Ibu punya kalian.” Suaranya serak namun hangat. Tangannya meremas pelan bahu Aidan dan Bayu.“Kalian penyelamat Ibu hari ini.”Aidan dan Bayu hanya menanggapi dengan senyum malu-malu. Ada binar tipis di mata mereka, seperti sedang menikmati peran sebagai pahlawan dalam cerita petualangan yang selama ini hanya mereka saksikan lewat layar.Meskipun detak jantung mereka masih belum sepenuhnya normal, perasaan bangga perlahan menenangkan tubuh kecil mereka.“Terus, kita langsung pulang, Bu?” tanya Aidan, suaranya sedikit bergetar namun mencoba terden
Berapa lama Mahira bisa bertahan?Pertanyaan itu bergema dalam kepala Kirana, berulang-ulang, seperti detak jam yang berdetak terlalu keras di ruangan sepi.Angin sore menyapu rambutnya yang setengah terikat, menambah dingin di tengkuk yang sudah basah keringat. Sementara hiruk-pikuk di jalan depan restoran itu seolah tak peduli pada kekacauan kecil yang sedang menggumpal dalam dada Kirana.Kalau penyamaran mereka terbongkar…Ia menelan ludah, tapi kerongkongannya terasa kering.Apa yang harus ia lakukan?Ia mencoba merangkai rencana di kepalanya, tapi pikirannya seperti terbenam dalam kabut tebal—segala kemungkinan muncul, tumpang tindih, lalu lenyap sebelum sempat ia tangkap.Tiba-tiba ia tertawa. Hambar. Palsu. Suara itu nyaris tak terdengar, tenggelam dalam bising kendaraan dan percakapan orang-orang yang lalu-lalang.Apa sebenarnya yang ia takutkan?Kalaupun bertemu lagi…Kalaupun benar-benar berdiri di depan Raka hari ini...Besar kemungkinan laki-laki itu hanya akan menatapnya
Raka kembali menatap Mahira. Sorot matanya berubah—tak lagi hanya penasaran, tapi kini dihiasi curiga yang mulai menyala terang, seperti cahaya lampu baca yang sengaja dinaikkan satu tingkat.Mahira bisa merasakannya. Udara di antara mereka mendadak padat, seperti ada sesuatu yang mengambang, menekan dadanya. Ia menggeser duduk sedikit, tapi rasa tidak nyaman itu tak ikut menjauh.Dan tak butuh waktu lama hingga firasat buruknya berwujud nyata.Raka, dengan gerakan yang nyaris tak bersuara, meraih ponsel dari tangan Zayyan. Ia membuka layar, matanya menyipit sejenak seolah mencari sesuatu yang spesifik. Lalu, dengan jari yang tenang namun tegas, ia menekan sebuah nama di layar.Suasana di meja sempat hening. Lalu suara nyaring dering ponsel terdengar—dari arah Mahira. Dari dalam saku roknya.Deg.Seolah ada sesuatu yang meledak kecil di dadanya. Jantung Mahira terpukul dentuman panik. Ia hampir saja melompat dari duduknya, tapi buru-buru menenangkan diri. Ia menarik napas, menekannya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments