Arvian memelukku, menciumku beberapa kali. Menambah deretan perasaan yang tak menentu dariku. Sebenarnya apa yang sedang Arvian pikirkan, aku merasa ada hal yang Arvian sembunyikan dariku. Pikiranku tentu saja pada ayahnya--Brayen.
"Ikutlah dengan ayah, Arvian," ucap abang Brayen.
"Aku ibunya, aku lebih berhak!" Tak bisa kutahan segala yang mengganjal di hatiku. Fix, ini semua pasti abang Brayen terlibat.
"Beda ceritanya jika kamu belum menikah," balas abang Brayen lagi. Dia belum mau mengalah.
"Arvian butuh sosok ayah, tapi itu bukan kamu!"
"Jangan egois Monica! Tidak ada anak yang mau orang tuanya berpisah, kamu saja yang peka!"
"Lalu aku harus bersamamu? Harusnya anda introspeksi diri!" dia diam, kenapa masih ada bayang-bayang mantan, bukankah dia sudah mendapatkan semua yang diinginkan?
Aksen memegang tanganku dengan lembut. Seperti memintaku untuk tidak melanjutkan lagi. Arvian yang melihat kami berseteru hanya diam, Aksen memeluknya dengan lembut.
"Jangan berdebat di depan anak