Perasaan AksenBaru saja bahagia itu kurasakan, Monica menerimaku dengan tulus, setidaknya perjuangan ini ada hasilnya. Namun, kenyataannya ternyata ujian itu datang dari arah yang lain. Tiba-tiba Arvian berubah pikiran, dia seperti tidak menginginkan kehadiranku. Apa selama ini aku salah? Apa aku terlalu percaya diri? Kupegang tangan Arvian yang dingin padaku, sebagai anak yang pernah mengalami broken home, aku tahu rasanya seperti Arvian. Aku tahu bagaimana untuk bertahan bahagia melihat orang tua dengan pilihannya sendiri. Itulah yang membuatku sangat menyanyangi Arvian, ingin membuktikan bahwa aku bisa menjadi ayah sambungnya."Dulu daddy juga bukan anak yang beruntung meski terlahir dari pewaris kaya raya." Aku masih menggenggam tangannya, meski dia terus menunduk.Arvian diam."Daddy sebenarnya tidak tertarik dengan orang tua daddy, tapi daddy sadar lahir dari rahim ibuku."Jujur mengulang kisah ini rasanya sakit. Inginku kubur semuanya, tapi nyatanya aku melihat sendiri Arvian
"Bawa aku pergi dari sini, Bang. Kemana saja asal sama Abang." Aksen menitikkan air mata, kali ini tak bisa dipungkiri jika aku begitu mencintainya.Dia ingin mengatakan sesuatu, langsung aku memakai telunjukku agar dia tidak berbicara. Aku takut dia mengatakan sesuatu yang membuat hati ini menjadi lemah."Aku tidak ingin mendengar penolakan, Bang. Aku ingin bahagia bersama abang," lanjutku lagi.Kali ini wajahnya lebih berbinar, tidak semurung tadi. Jika pasangan lain begitu gampang bahagia, itu tidak dengan percintaanku."Arvian bagaimana?" tanyanya lembut, tak lupa jilbabku dielusnya."Nanti aku yang merayunya, saat ini aku ingin bersamamu, Sayang. Ingin bahagia."Pecah tangis kami berdua. Aksen mampu meruntuhkan dinding yang tebal di hatiku. Dinding yang sejak dulu hanya ada satu nama, siapa lagi jika bukan Brayen. Salahkah aku jika ingin merasakan bagaimana bahagia itu, layaknya pasangan lainnya."Kita pulang, kita bertemu dengan Arvian, ya." Aku menggenggam tangannya, merasakan
Aroma rumah sakit menyeruak, sepertinya cukup lama aku tertidur. Aksen berada di sampingku. Tanganku dibelainya, apa segitu parahnya aku sampai dilarikan ke rumah sakit. Dia begitu setia, beberapa kali tanganku dikecupnya."Sudah bangun, Sayang," ucap Aksen. Tidak terlihat bunda dan daddy."Bunda dan Daddy baru saja pulang, abang yang memintanya.""Aku pingsannya lama, ya?" tanyaku, Aksen mengangguk pelan."Lumayan, seperti bayi yang tertidur pulas," katanya.Cukup lama aku mengingat sesuatu hingga akhirnya pikiranku tertuju pada Arvian. Iya, terakhir aku masih bersamanya."Arvian mana?" tanyaku."Dia dibawa ayahnya." Aku menarik napas, meski emosiku memuncak. Apa tidak ada rasa empati sedikit pun di hati mereka. "Apa Arvian tidak kasihan padaku, Bang. Disaat aku pingsan dia tidak menjagaku.""Kendalikan emosimu, Sayang. Arvian masih kecil dan labil," jawab Aksen."Anak sekecil itu labil, Bang? Rasanya sungguh aneh. Kenapa bunda dan daddy membiarkan.""Karena putusan pengadilan jat
Setelah dirawat dua hari akhirnya aku dibolehkan pulang. Aksen tentu setia merawatku. Sesekali kami salinh memandang. Semua perasaan bercampur berada di dekatnya.Ternyata dicintai dengan tulus itu benar-benar sampai ke hati. Meski ada rasa takut yang terkadang mendera. Takut kehilangan yang kedua kalinya."Akhirnya sudah bisa pulang, ya," ucap Aksen yang sedang membereskan tempatku tidur. Nuraninya sebagai dokter tentu tak bisa dipungkiri."Ini karena suamiku yang hebat.""Ini karena kamu yang berjuang, Sayang."Arvian turut serta mendampingku yang akan pulang, dia setia menjagaku. Setidaknya perasaan lega Arvian sangat peduli denganku. Dilengkapi dengan Aksen yang begitu semangat melihatku pulang."Bund, Arvian langsung ke sekolah, ya, tadi izin terlambat," kata Arvian."Keren sekali kamu, Nak. Sampai izin telat segala.""Sesekali memanfaatkan keadaan, Bund. Lagian itu sekolah milik ayah Brayen juga," sambungnya lagi. Jujur aku tidak suka, Arvian seperti anak yang semaunya. Meski ya
Aksen terus menggodaku, baru tahu ternyata tuan Aksen yang kalem bisa jahil begini. Tak lupa pipiku terus dibelainya. Aku pun tak mau kalah sesekali aku mencubit hidungnya. Setelah masalah kemarin aku ingin Aksen menyadari bahwa aku juga tak bisa jauh darinya."Ganti baju, Sayang. Masih bau rumah sakit," ucap Aksen menarikku dalam pelukannya."Siap sayang.""Jangan terlalu lama, masih masa pemulihan," katanya lagi."Siap pak dokter.""I love you, sayang." Rasanya begitu menenangkan. Aksen yang lembut membuat hati ini semakin tak menentu dibuat.Dia terus saja memelukku hingga dibuat tak bernapas rasanya. Aksen sungguh bucin kurasa, kami seperti remaja yang sedang dibuai asmara. Rasanya indah sekali."Kapan aku ke kamar mandi kalau tuan Aksen terus memelukku begini.""Apa aku mandikan saja dirimu sayang." Aduh, ini mah sudah lebay tuan Aksen."Gak perlu, aku bisa sendiri.""Biasanya kalau baru sembuh harus dikelonin dulu.""Aku bukan bayi!" kulepas pelukannya, bisa tidak jadi ke kamar
"Saya terima nikah dan kawinnya Nina Humaira dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai." "Sah?" "Sah!" semua tamu undangan yang hadir ikut bahagia dengan pernikahan kami. Harusnya kami, tapi itu tidak denganku. Aku Nina Humaira gadis desa yang nikah entah dengan pangeran darimana. Tiba-tiba tanpa basa basi hari ini aku dipersunting menjadi istrinya. Namanya Reza Adytama katanya laki-laki dari kota. Entahlah, tapi dia hanya mampu memberiku mas kawin seperangkat alat salat. Satu minggu yang lalu seorang laki-laki datang ke rumah katanya ingin mempersuntingku menjadi istrinya. Anehnya, ayah dan ibuku langsung saja setuju. "Menikahlah, ayah ridho kamu menikah dengannya." "Aku baru saja pulang, yah. Apa ini alasannya aku dipaksa pulang untuk menikah?" Aku baru saja pulang dari desa terpencil untuk menjadi sukarelawan. Ini pun aku dipaksa untuk segera sampai rumah, usut punya usut ternyata aku dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak kukenal. Dari segi umur aku masih
Aku menarik nafas lalu memghembuskannya pelan. Apa aku kabur saja, secara malam pertama belum kami lakukan. Itu artinya aku masih seperti gadis alias perawan. Ayah dan ibuku melambaikan tangan, apa mereka tahu jika laki-laki bernama Reza ini sudah menikah. Astagfirullah sudah mahluk tidak jelas, kemungkinan juga aku adalah istri keduanya. Dia masuk dan duduk disebelahku. "Berangkat pak Jum ...." "Siap Den!" Lagi-lagi aku menghembuskan nafas sambil berdo'a semoga keadaanku baik-baik saja. "Bisu lagi? Santai aja, kamu kayak mau perang!" Matanya dikedipkan sok cool banget ini orang. "Kamu sudah punya anak?" tanyaku memberanikan diri, tidak tahan dengan semua rasa penasaran ini. "Iya, memang kenapa?" "Berarti kamu telah menipu keluargaku, Reza. Bukannya kamu mengaku perjaka?" "Siapa bilang?! Nikmati saja kehidupan baru kita. Kamu sudah menjadi istriku dan orang tuamu sudah menyerahkanmu kepadaku jadi tidak perlu komplen," ucapnya penuh penekanan. Lagi, aku dilanda perasaan
"Daddy ngapain di kamar ini ...?" syukur akhirnya aku terselamatkan. Brayen nyelonong ke kamar persis seperti Daddy nya. Anak dan bapak kelakuannya sama saja. Si Reza jadi salah tingkah, emang enak."Ini Daddy mau cek saja. Agar tamu kita nyaman." Bingung kan mau jawab apa. Oke sip, aku dibilang tamu disini."Ayok ke kamar, Brayen ingin cerita." si bocah mengajak Reza untuk menemaninya tidur."Siap, komandan." Akhirnya dia keluar juga. Dan secepat kilat aku langsung kunci pintu jangan sampai kebablasan yang kedua kali. Sudah duda, punya anak, sok keren lagi itu orang. Besok adalah babak baru bagiku. Aku harus menyiapkan amunisi selama disini. Selain itu, sepertinya aku harus buat perjanjian dengan si Reza agar tidak semena-mena denganku. Meski berasal dari desa setidaknya aku harus punya strategi untuk mengalahkan musuh. Semangat, Nina!***Waktu menunjukkan pukul empat pagi. Bangun tidur aku langsung salat tahajud dilanjutkan tilawah dan salat subuh. Setelah ini aku akan langsung m