Hujan deras masih mengguyur di luar. Suaranya menghantam atap genting, menciptakan irama yang monoton tetapi menenangkan. Di ruang tamu, Farhan masih terjaga di atas sofa. Pikirannya kalut, seperti benang kusut yang sulit diurai. Ia memandang gelas teh yang kini sudah dingin di atas meja. Matanya kosong, tapi dadanya terasa penuh-penuh dengan rasa bersalah, penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.
Sementara itu, di kamar, Aisyah duduk di tepi ranjang, menatap jendela yang dipenuhi titik-titik air hujan. Tangannya menggenggam erat selembar selimut. Ia merasa seperti terjebak di antara dua dunia-satu dunia yang memintanya untuk bertahan, dan dunia lain yang terus-menerus menggoda untuk menyerah."Aku salah, ya, Mas?" gumamnya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Tapi tak ada jawaban. Hanya suara hujan yang menemaninya.Esok paginya, suasana rumah masih sunyi. Farhan terbangun lebih awal dari biasanya. Ia masuk ke dapur, membuat kopi, lalu duduk di