Cari
Pustaka
Beranda / Romansa / Sang Penguasa Dunia Mafia / sosok iblis

sosok iblis

2025-03-22 23:41:12

Althalan memejamkan matanya semakin erat, bukan untuk menenangkan diri, tapi untuk menahan hasrat yang perlahan-lahan muncul di dalam dirinya. Bisikan hinaan dari mereka yang ada di sekitar sel itu terus menggaung di telinganya. Suara mereka seperti jarum tajam, menusuk harga dirinya sedikit demi sedikit. Namun, bukan penghinaan terhadap dirinya yang membuat darahnya mendidih, melainkan kata-kata kotor tentang Celin-satu-satunya orang yang memberinya alasan untuk terus bertahan.

Sessst...

Ketika rambutnya ditarik dengan kasar, Althalan merasakan tulang belakangnya hampir patah karena gerakan itu. Dia mendongak dengan mata setengah terbuka, melihat wajah Exel yang penuh senyum ejekan. Tato dua ular melilit ikan di dada Exel terlihat jelas di bawah lampu redup sel itu. Jantung Althalan berdebar lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena pengakuan. "Dia salah satu anak buah bokap gue,tato itu... Tato itu sama persis seperti yang ayah miliki" pikirnya sambil mengepalkan tangan.

"Hei, bocah!" suara Exel terdengar kasar, diiringi tawa yang menjijikkan. "Lo pikir Cewek tadi itu siapa? Gue jamin dia cuma cewek biasa yang gampang dilengkungin. Mungkin gue harus ngajarin dia beberapa trik, ya?"

"Gue jadi tertarik, gimana kalo nanti gue coba? Bolehkan? Jadi mainan sementara"

Tawa itu meledak di sekitar ruangan. Althalan diam, membeku, tapi tidak karena ketakutan. Ada sesuatu yang lebih gelap mengalir dalam darahnya. Napasnya semakin berat, tapi dia menahan diri. Exel jelas mengincarnya, bukan hanya untuk menunjukkan kekuasaan, tapi mempermalukan dirinya sepenuhnya.

Ketika Exel membuka resleting celananya dan mulai melakukan penghinaan terakhir dengan menyemprotkan kencing ke tubuh Althalan, seluruh penghuni sel meledak dalam tawa yang mengejek. Tapi di balik tubuh yang tampak tak berdaya itu, mata Althalan yang terpejam tiba-tiba terbuka lebar. Heterokromia di matanya kembali muncul, dan warna violet bercahaya redup di dalam kegelapan.

"Lo udah selesai?" suara Althalan pelan, tapi tajam seperti belati.

Tawa Exel terhenti sesaat. Dia menatap Althalan yang masih terbaring di lantai dengan tubuh basah dan pakaian kusut. "Apa lo bilang, hah? Lo ngomong sesuatu, bocah?!" Exel mendekat, menendang rusuk Althalan dengan keras, tapi Althalan bahkan tidak meringis.

"Gue tanya... lo udah selesai?" ulang Althalan, kali ini dengan nada lebih dingin. Dia perlahan bangkit, satu tangannya menyeka wajah yang basah, sementara tangan lainnya terkepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Exel mundur setengah langkah, sedikit bingung melihat perubahan sikap Althalan. Tapi rasa superiornya membuatnya menepis perasaan itu. "Lo nyolot, bocah?! Berani sama gue?!" teriaknya sambil mengayunkan tinju ke wajah Althalan.

Namun sebelum tinju itu mencapai sasarannya, Althalan menangkapnya dengan kekuatan yang mengejutkan. Cengkramannya begitu kuat hingga terdengar suara retakan kecil dari pergelangan tangan Exel.

"Gue udah cukup sabar," gumam Althalan, suaranya rendah dan penuh ancaman. Dia menatap mata Exel dengan tatapan dingin yang membuat lawannya merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya ketakutan.

"Arghh!!"

Dengan satu gerakan cepat, Althalan memelintir tangan Exel hingga pria itu berteriak kesakitan. Jeritan itu menggema di seluruh ruangan, membuat penghuni sel lainnya terdiam.

Bugh...

Althalan kemudian menarik Exel ke bawah dan menghantamkannya ke lututnya dengan keras. Darah mengalir dari hidung Exel yang patah, membuat semakin mencekam.

Penghinaan yang diterima Althalan seolah membuka pintu gerbang kegelapan dalam dirinya. Satu per satu, dia melangkah ke arah mereka yang sebelumnya ikut tertawa dan membicarakan Celin dengan kata-kata kotor. "Lo pikir gue cuma bocah lemah? Gue bukan siapa-siapa? Salah."

Suaranya begitu datar, tapi tiap kata terasa seperti palu yang menghantam kepala mereka. Dalam waktu singkat, seluruh penghuni sel itu jatuh ke lantai, meringis kesakitan di bawah serangan Althalan. Tidak ada yang tersisa dari tawa mereka sebelumnya-hanya rasa takut dan penyesalan.

Althalan berdiri di tengah ruangan, tubuhnya masih basah, dengan tangan yang kini berlumuran darah. Mata heterokromianya perlahan memudar kembali ke abu-abu. Napasnya terengah-engah, tapi dia tetap berdiri tegak.

"Jangan pernah sentuh Celin... atau sebut namanya lagi," katanya pelan tapi tegas. "Kalau sampai gue dengar satu kata pun lagi, gue nggak bakal berhenti lo semua bisa bangun

Ruangan itu menjadi sunyi. Tak ada yang berani melawan atau mengeluarkan sepatah kata pun. Althalan memutar tubuhnya, kembali ke sudut sel yang gelap. Dia duduk dengan punggung bersandar di dinding, memejamkan

Namun di dalam kegelapan, dia tidak merasa puas atau bangga. Rasa takut mulai merayapi dirinya, bukan karena orang-orang yang dia hajar, tapi karena kekuatan yang semakin sulit dia kendalikan. "Gue nggak boleh

kehilangan kendali lagi... nggak boleh..." pelan, menggenggam foto Celin di tangannya yang gemetar.

* * *

Setelah Althalan menghajar Exel, suasana di lapas remaja itu berubah total. Bukan cuma nggak ada lagi yang berani ngerundung dia, tapi banyak yang mulai ngelirik dengan rasa hormat- walau mungkin sebagian dari mereka cuma takut. Nama Althalan jadi topik hangat di setiap sudut.

Bagaimana mungkin bocah dengan tubuh setinggi 173 cm, berat cuma 50 bisa mengalahkan Exel? Ketua sel yang tinggi terkenal bengis, dan punya reputasi sebagai penguasa. Tapi di balik rasa hormat itu, Althalan tahu ini hanya awal dari masalah baru.

Siang itu, Althalan sedang jongkok di halaman belakang. Sebagai hukuman ringan dari sipir, dia diberi tugas membersihkan halaman yang penuh rumput liar dan tanah kering. Di bawah terik matahari, tangannya sibuk menarik rumpun rumput, tapi pikirannya terjebak pada satu hal ayahnya. Latozey sang ketua mafia Nebula Daimoniko.

Dia bukan hanya seorang ayah, tapi juga pemimpin organisasi kriminal dengan simbol dua ular melilit ikan. Sebuah organisasi yang, entah bagaimana, berhasil merekrut remaja-remaja seperti Althalan.

Althalan menggenggam erat rumput liar di tangannya, hingga ujung-ujungnya patah. "Bajingan." Kata itu nyaris terdengar di bibirnya, tapi dia menahan. Dia muak membayangkan ayahnya, seseorang yang seharusnya melindunginya, malah terlibat dalam sesuatu yang begitu kotor.

Namun, sebelum emosinya semakin memuncak, sebuah tendangan keras menghantam punggungnya.

Bugh...

Althalan terdorong ke depan, hampir kehilangan keseimbangan. Napasnya tertahan.

"Wih, ini dia si Althalan! Tahanan baru yang udah buat temen kita babak belur." Suara lantang itu diiringi tawa beberapa anak lain. Althalan nggak menoleh, hanya diam sambil menahan sakit.

"Lo pikir lo keren, ya? Hajar Exel terus jadi raja di sini?" Cowok itu melangkah

mendekat, menendang ember berisi

rumput yang tadi diletakkan di sebelah

Althalan. "Gue Dio. Dengar, gue nggak

percaya sama rumor lo. Mau seberapa

kuat sih bocah kurus kayak lo?"

Althalan menghela napas panjang. Dia nggak ingin ada masalah lagi. Tapi Dio nggak berhenti. Cowok itu mendekat, menarik kerah baju Althalan dan memaksa dia berdiri.

"Lihat gue, dong!" Dio berkata sambil tersenyum sinis. "Lo tahu kan, Exel itu cuma pecundang yang kebanyakan bacot. Gue beda. Gue bisa bikin lo nyesel udah ada di sini."

Orang-orang di sekitar mereka mulai berkerumun, penasaran dengan apa yang akan terjadi.

"Gue nggak mau cari masalah," kata Althalan, suaranya tenang, nyaris datar. "Lepas!."

Tapi Dio malah ketawa. "Nggak cari masalah? Lo pikir lo siapa? Gue bilang lo harus buktiin diri lo, bocah. Kalau lo jago, tunjukin!"

Dio melepaskan cengkeramannya, lalu merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan botol kecil berisi cairan bening. Bensin.

"Kalau lo hebat, coba minum ini. Bisa kan? Buktikan kalau lo benar-benar layak dihormati."

Orang-orang mulai bersorak, beberapa bahkan bertepuk tangan, menambah tekanan pada Althalan. Tapi Althalan tetap berdiri diam, wajahnya tidak menunjukkan rasa takut atau emosi apa pun.

"Gue nggak akan main-main, Bangsa*!." Dio membuka tutup botol, lalu menyalakan korek di tangan kirinya. "Kalau lo nggak minum, gue bakar lo."

Hening. Ketegangan menyelimuti kerumunan. Bahkan yang tadi tertawa sekarang mulai merasa nggak nyaman.

Althalan memejamkan mata sejenak, mengingat pesan ibunya yang selalu dia tanamkan sejak kecil "Jangan berkelahi kalau nggak perlu, tapi kalau seseorang orang yang kamu sayangi dihina atau terluka, lawan dia sampai dia merangkak minta ampun."

Dio menggerakkan botol itu mendekat ke wajah Althalan, tapi dalam satu gerakan cepat, Althalan meraih pergelangan tangan Dio dan memuntirnya ke belakang. Botol bensin itu terlepas dari tangan Dio, jatuh ke tanah.

"AAARGH! Lepasin, goblok!" Dio berteriak, tapi Althalan tetap menggenggam tangannya dengan kuat.

Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Dio dan berkata dengan suara rendah, namun penuh ancaman: "Dengerin gue baik-baik. Kalau lo nggak mau mati sia-sia, jangan pernah main-main sama gue lagi."

Althalan melepaskan Dio dengan kasar, membuat cowok itu jatuh terduduk. Semua orang yang menyaksikan hanya bisa terdiam, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.

Althalan kembali ke pekerjaannya tanpa mengatakan apa-apa. Namun, di dalam hatinya, dia tahu ini belum selesai. Akan selalu ada Dio lain di tempat ini, dan setiap kali itu terjadi, dia harus bertahan  untuk dirinya sendiri, dan untuk mereka dia pedulikan.

Dan sore kini, Althalan duduk sendirian di sisi lapangan lapas remaja, pandangannya kosong menatap langit yang mulai memudar. Di sekitar lapangan, banyak sekali orang-napi lain yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tapi bagi Althalan, semuanya terasa hampa. Dia merasa seperti tidak ada yang benar-benar peduli padanya.

Kesepian sudah menjadi teman setia dalam hidupnya.

Tiba-tiba, salah satu sipir yang sedang berjaga mendekat dan memanggil namanya. Althalan pun bangkit dari duduknya, mengikuti sipir itu dengan kunjungan yang terletak cukup jauh di sisi lapas. Setelah sampai di sana, Althalan melihat Celine yang sudah menunggu dengan senyum lebar di balik pembatas. Meskipun sudah sering melihatnya, senyum itu selalu berhasil sedikit menghangatkan hatinya.

Namun, ada rasa cemas yang menghantui. Althalan menoleh kanan-kiri, memastikan tidak ada napi lain yang melihat. memastikan situasi aman, dia akhirnya melirik Celine yang terlihat ceria seperti biasanya.

Namun di dalam hatinya, rasa penyesalan menyelimuti dirinya. Entah kenapa, dia merasa semua yang terjadi ini adalah kesalahan besar yang dia perbuat.

"Althalan, gue denger dengan telinga gue sendiri banyak yang ngomongin lo di sekolah," ujar Celine, suaranya serak melalui kaca pembatas.

"Gue... gue nggak nyangka, semuanya jadi heboh banget. Lo... masuk lapas remaja!? Padahal sebelumnya gak ada yang tau, t-tapi entah kenapa tiba tiba satu sekolah heboh dengan rumor lo yang masuk lapas!"

Althalan hanya mengangguk pelan, tak tahu harus berkata apa. Celine melanjutkan cerita, berbicara tentang rumor yang beredar di sekolahnya, tentang dirinya yang kini jadi topik hangat.

Althalan hanya diam, memandang Celine yang tampaknya khawatir meskipun berusaha tampil ceria. Rasa sakit dan penyesalan kembali menghantuinya. Seharusnya dia tidak membuat keputusan bodoh ini.

Seharusnya dia menjaga dirinya dan lebih baik lagi.

Flashback mulai mengalir dalam ingatannya, membawanya kembali ke hari itu, hari yang memulai semua ini.

FLASHBACK 

Saat itu, Althalan baru pulang dari sekolah, hari mulai senja dan langit tampak menguning. Seperti biasa, sebelum pulang ke rumah, dia menyempatkan diri untuk mengunjungi makam ibunya. Setelah itu, dia berniat mampir ke apartemen Celine, seperti yang sudah sering dia lakukan. Tapi, sesuatu yang aneh menarik perhatian Althalan di sepanjang perjalanan.

Di matanya, ada sebuah mobil hitam yang tampak mencurigakan. Gerak-gerik dua pria di dalam mobil itu aneh, seperti sedang membawa seseorang yang tidak bisa bergerak. Althalan menajamkan pandangannya dan melihat wajah Celine yang tak sadarkan diri di dalam mobil, seperti terluka parah. Hatinya langsung berdegup kencang, rasa marah dan khawatir bercampur aduk.

Tanpa pikir panjang, Althalan segera melompat ke motornya dan mengikuti mobil tersebut dengan kecepatan tinggi. Dia tidak bisa membiarkan apa pun terjadi pada Celine. Setelah beberapa waktu mengikuti mobil itu, akhirnya dia berhasil menghentikan mobil tersebut di sebuah gang sepi jarang dilalui orang.

Althalan turun dari motornya dengan ekspresi marah. Dengan sigap, dia mendekati mobil itu dan memecahkan kaca dengan tangan kosong. Tanpa memberi kesempatan kepada pengemudi untuk melawan, dia menyeret pria itu keluar dari mobil.

Dengan otak yang cepat bekerja, Althalan merampas kunci mobil dari tangan pengemudi dan merusak setir mobil itu dengan kepala pria yang satunya lagi di dalam. "Jangan main-main sama orang yang lo nggak kenal! Bangsa*!" teriak Althalan dalam kebencian yang membakar hatinya.

Prang...

Dia mengambil botol minuman dari dalam mobil dan tanpa ampun memecahkannya ke kepala pria itu. Darah segar mengalir dari tubuh pria itu setelah Althalan menusukkan pecahan botol tersebut ke seluruh tubuhnya.

Pyarr...

Althalan hampir kehilangan kendali. Semua yang ada di benaknya hanya satu -menyelamatkan Celine. Dia ingin memastikan Celine aman, dan untuk itu dia siap melakukan apa saja. Setelah menghabisi satu pria, dia berlari kembali ke mobil untuk melihat kondisi Celine yang masih pingsan, kedua kaki dan tangannya terikat. Althalan, dengan hati yang penuh amarah, membebaskan Celine dan mengangkatnya dengan hati-hati.

Dia segera membawa Celine ke motornya dan melaju cepat, meninggalkan tempat itu tanpa menoleh ke belakang.

Althalan kembali ke kenyataan, di ruang kunjungan, Celine masih tampak cemas menatapnya.

"Lo nggak nyesel, kan?" tanya Celine dengan suara lirih. "Lo udah ngalamin banyak hal cuma buat gue. Gue... gue nggak tahu gimana ngucapin terima kasih."

Althalan menghela napas panjang, menatap Celine dengan mata yang penuh perasaan. "Gue nggak peduli apa yang orang bilang," jawabnya pelan. "Yang penting, lo aman."

Celine hanya tersenyum, meskipun ada kerisauan yang jelas di wajahnya. Althalan tahu, dia harus siap menghadapi apa pun yang datang. Ini baru permulaan.

Namun pada saat kejadian itu semuanya belum berakhir. Pada saat kejadian itu berlangsung, di gang tempat Althalan menghentikan mobil dan menyelamatkan Celine, ada sebuah kamera CCTV yang merekam seluruh peristiwa dengan jelas. Rekaman tersebut mencatat setiap detail yang terjadi, termasuk betapa brutalnya Althalan dalam aksinya yang sangat sadis. Meski tidak ada yang melihat langsung, rekaman itu menjadi saksi mata yang berharga bagi siapa saja yang ingin mengungkap kebenaran. Namun, bagi para penculik dan orang-orang di balik kejadian tersebut, hal ini justru menjadi bencana.

Penculikan Celine sebenarnya bukan sebuah kebetulan. Semua itu sudah direncanakan dengan matang oleh seseorang yang jauh lebih berkuasa, seorang pria misterius yang memiliki koneksi luas. Ketika pria itu mendengar bahwa salah satu bawahannya gagal dalam menjalankan misinya dan tewas di tangan seorang bocah SMA, dia sangat murka. Kejadian itu membuatnya kehilangan kesabaran. Dengan suara penuh amarah, dia bertanya kepada salah satu anak buahnya yang selamat, "Apakah ada saksi mata yang melihat siapa yang membunuh rekanku?"

Bawahannya itu hanya bisa menggelengkan kepala, tidak ada yang tahu siapa pelaku di balik kematian temannya. Namun, ada satu petunjuk yang membuat pria itu sedikit tenang. Salah satu anak buah lainnya yang sedang disana, seperti sedang bergulat dengan laptopnya memberi tahu bahwa di tempat kejadian ada kamera CCTV yang merekam semuanya.

"CCTV?" pria misterius itu mengernyitkan dahi. "Artinya kita bisa tahu siapa pelakunya."

Dua hari setelah penculikan Celine gagal, pria misterius itu mulai merencanakan langkah selanjutnya. Dia mengumpulkan informasi tentang Althalan, mencoba mencari cara untuk membalas dendam atas kegagalan yang memalukan itu. Setelah melakukan riset mendalam, dia akhirnya menemukan data diri Althalan dan dengan cepat mempersiapkan segalanya.

Dengan kekuasaannya, pria itu menyusun sebuah cerita palsu. Dia menghubungi saksi palsu yang bisa memberikan keterangan sesuai dengan yang diinginkan. Cerita karangan itu begitu meyakinkan, sampai-sampai orang-orang di sekitar Althalan tidak ragu untuk mempercayainya. Tak hanya itu, pria misterius itu juga memanipulasi bukti dengan cerdik, hingga akhirnya melaporkan Althalan ke pihak berwajib dengan tuduhan pembunuhan berencana.

Bukan apa apa, pria misterius itu sengaja menjebloskan Althalan kepenjara sebab dia sangat muak rencananya telah gagal oleh seorang anak SMA.

Althalan yang tidak tahu apa yang sedang terjadi, merasa benar-benar terkejut saat polisi datang menjemputnya. Ketika dia diinterogasi, Althalan bersikeras mengatakan bahwa tuduhan itu tidak benar. Dia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun tak ada yang mendengarkannya. Bukti palsu yang diciptakan pria misterius itu begitu kuat, dan tak ada yang bisa membantahnya.

Tanpa bukti yang dapat membuktikan dirinya tak bersalah, Althalan hanya bisa pasrah. Hari-harinya yang gelap dimulai, dan dia akhirnya dipenjara di lapas remaja dengan hukuman minimal dua tahun lima bulan karena tuduhan pembunuhan berencana. Meski hatinya dipenuhi kekecewaan, rasa bingung dan marah, dia tak punya pilihan selain menerima kenyataan itu.

Di dalam penjara, Althalan merasakan beratnya kenyataan. Rasa kesal pada dirinya sendiri, pada dunia yang tidak adil, semakin menggerogoti pikirannya. Dan di balik semua itu, ada sebuah pertanyaan yang terus menghantui siapa sebenarnya pria misterius itu, dan apa yang diinginkannya dari Althalan?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi