Setelah Celine pamit meninggalkan ruang kunjungan, Althalan hanya bisa memandangi punggungnya yang perlahan menghilang dari pandangan. Ada rasa hangat yang muncul di dadanya, tetapi tidak bertahan lama. Ketika sipir mengantar Althalan kembali ke selnya, wajahnya kembali dingin. Langkahnya berat, dan matanya penuh dengan bayangan masa lalu.
Di selnya, Exel dan anak buahnya sudah menunggu. Tatapan mereka tajam, seperti ingin menelanjangi setiap inci rasa percaya diri Althalan. Exel duduk di sudut dengan posisi dominan, memainkan bola tenis kecil di tangannya. Ada senyum licik di wajahnya yang langsung membuat suasana ruangan mencekam. "Althalan," panggil Exel dengan nada santai namun penuh ancaman, "gue dengar lo tadi baru kedatangan tamu, ya? Cewek lo? Cantik banget itu cewek yang kemarin ya?" Althalan tidak merespons. Dia hanya melempar pandangan sekilas ke arah Exel lalu duduk di pojok tempat tidurnya, memandangi kertas kecil dari Celine yang masih digenggam erat. "Oh, gue tahu. Lo pasti mikir gue masih dendam karena kemarin, kan? Yah, lo benar." Exel berdiri, menghampiri Althalan perlahan, bola tenis di tangannya kini dilempar-lempar kecil. "Dan lo tahu apa gue benci? Bocah kayak lo yang pura-pura sok kuat tapi ternyata cuma pengecut." Althalan tetap diam, tetapi tangannya yang memegang kertas itu mengepal lebih erat. "Kemarin itu cuma awal, bro. Malam ini, lo bakal tahu siapa gue sebenarnya." Exel menunduk sedikit, menatap langsung ke mata Althalan. "Gue bakal bikin lo minta ampun. Lo pikir ini semua akan berakhir? Lo emang berhasil buat gue babak belur, tapi lo gagal buat gue engga balas dendam sama lo brengsek!" Malamnya, situasi mulai memanas. Ketika lampu sel dipadamkan dan suasana berubah sunyi, Exel mulai bergerak. Bersama tiga rekannya, dia mendekati Althalan yang pura-pura tidur di sudut sel. "Bangun, bocah bangsa*!" seru Exel sambil menendang sisi tempat tidur Althalan. Althalan membuka matanya perlahan. Tatapannya dingin dan datar, seperti tidak peduli dengan apa yang akan terjadi. "Lo pikir lo bisa selamat dari ini, hah?" Exel menendang lagi, kali ini mengenai pinggang Althalan. "Apa mau lo?" suara Althalan rendah tapi tegas. "Apa mau gue? Mau gue, lo harus bayar atas apa yang lo lakuin kemarin! Lo bikin gue malu di depan semua orang." Exel menarik kerah baju Althalan, mengangkatnya dari tempat tidur. Tanpa perlawanan, Althalan berdiri, menatap Exel dengan ekspresi tanpa rasa takut. Ini justru membuat Exel semakin frustrasi. "Lo pikir ini lucu?!" teriak Exel, menghantamkan tinjunya ke wajah Althalan. Althalan terhuyung, darah mengalir dari sudut bibirnya. Tapi dia tidak membalas. Di kepalanya, suara ibunya terus terngiang: "jangan gunakan kekerasan jika itu bukan untuk melindungi orang yang kamu sayangi!" "Lo pengecut!" Exel menghantamnya lagi, kali ini lebih keras. Dua rekannya ikut menahan Althalan, memegangi tangannya agar tidak bisa bergerak. "Pukul gue sesuka hati lo," ucap Althalan dengan suara pelan, "tapi ingat ini, Exel: lo cuma pembully biasa. Lo nggak lebih dari itu." Kata-kata itu seperti racun bagi Exel. Amarahnya meledak, dan dia mengambil pipa besi dari bawah tempat tidur. "Gue bakal ajarin lo cara ngomong yang sopan di sini!" Exel mengayunkan pipa itu, tetapi tepat saat pipa hampir mengenai kepala Althalan, suara berat dari pintu sel menghentikan mereka. "Berhenti, semua!" suara sipir menggema di seluruh ruangan. Exel dan teman-temannya langsung melepas Althalan, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Sipir menyalakan lampu, dan melihat wajah Althalan yang penuh luka. "Apa yang terjadi di sini?" tanya sipir dengan curiga. "Dia jatuh dari tempat tidur, Pak," jawab Exel cepat, memasang wajah polos. Sipir menghela napas, tampak tidak yakin tetapi memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah. "Althalan, besok pagi kau dipanggil ke ruang pembinaan. Bereskan diri kau." Sipir pergi, meninggalkan ketegangan yang masih menggantung di udara. Setelah pintu sel dikunci kembali, Exel mendekati Althalan dan berbisik, "Lo beruntung malam ini. Tapi ingat, gue nggak akan berhenti sampai lo hancur." Althalan tidak menjawab. Dia kembali ke sudutnya, duduk di lantai dengan pandangan kosong. Namun di dalam hatinya, dia tahu satu hal dia tidak akan membiarkan Exel atau siapa pun merendahkannya lagi. * * * Malam pun berganti ke pagi, Althalan bangun lebih awal dari biasanya. Setelah malam yang berat, wajahnya masih memar, bibirnya pecah, tetapi matanya memancarkan ketenangan yang tidak biasa. Suara langkah sipir terdengar mendekat, membuka kunci sel satu per satu. "Althalan, keluar," perintah sipir tegas. Tanpa banyak kata, Althalan berdiri dan melangkah keluar dari sel, melewati Exel yang hanya menatapnya dingin. Ada tatapan kemenangan di mata Exel, seolah-olah berkata bahwa pertarungan mereka belum selesai. Namun, Althalan mengabaikannya. Sipir mengantar Althalan ke sebuah ruangan kecil yang disebut ruang pembinaan. Di sana, meja kayu panjang membentang di tengah ruangan, dengan seorang pria berkemeja rapi dan berkacamata duduk di belakangnya. Di dinding, ada beberapa papan tulis penuh dengan diagram dan kalimat motivasi. "Duduk," ujar pria itu sambil menunjuk kursi di depannya. Althalan menurut, mengambil posisi duduk dengan tubuh sedikit bersandar. Pria itu mengamati Althalan dengan saksama, mencatat sesuatu di kertas yang ada di hadapannya. "Nama kamu Althalan, kan?" tanyanya, meskipun jawabannya sudah jelas. "Ya," jawab Althalan pendek. Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Pak Reza, salah satu konselor di lapas remaja. "Saya ditugaskan untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sama kamu di sini. Saya sudah dengar cerita soal kasus kamu. Tapi saya mau dengar dari kamu sendiri, apa yang membuat kamu ada di sini?" Althalan diam sesaat, menatap meja di depannya, lalu menarik napas dalam-dalam. "Apa yang mereka bilang itu nggak sepenuhnya benar. Saya nggak sengaja bunuh orang itu. Saya cuma mau nolong seseorang." Pak Reza mengangguk, tampak tertarik. "Dan seseorang itu siapa? Cewek yang kemarin datang menemui kamu?" Mendengar itu, Althalan langsung tegang. Dia tidak menyangka Pak Reza tahu soal Celine. "Ya... dia teman saya," jawabnya dengan hati-hati. Pak Reza tersenyum tipis, lalu bersandar di kursinya. "Kamu tahu, Althalan, di lapas ini, kita sering ketemu anak-anak yang merasa dunia nggak adil sama mereka. Tapi kadang, mereka lupa untuk jujur pada diri mereka sendiri. Kamu bilang kamu nolong teman kamu. Tapi, kalau boleh saya tanya, kenapa kamu harus menggunakan kekerasan?" Pertanyaan itu menghantam Althalan pukulan. Dia tidak langsung menjawab, hanya menatap lantai. Suara ibunya kembali terngiang di pikirannya: "Jangan biarkan amarahmu menguasai tindakanmu." Tapi malam itu, dia gagal. "Dia dalam bahaya," jawab Althalan akhirnya. "Kalau saya nggak lakukan itu, dia mungkin nggak akan selamat." Pak Reza mengangguk lagi, lalu menulis sesuatu di catatannya. "Saya ngerti. Tapi kamu harus tahu satu hal, Althalan. Di dunia ini, membela yang benar itu nggak berarti harus selalu pakai kekerasan. Kamu punya potensi besar. Kalau kamu terus membiarkan amarahmu menguasai kamu, kamu cuma akan menghancurkan diri sendiri. Saya tahu ini nggak gampang buat kamu dengar, tapi ini kebenarannya." Althalan hanya mengangguk pelan. Di dalam hatinya, dia tahu Pak Reza ada benarnya, tetapi rasa bersalah dan frustrasinya terlalu besar untuk diabaikan begitu saja. "Sekarang, saya kasih kamu tugas," lanjut Pak Reza. "Mulai hari ini, kamu harus ikut program pengendalian emosi di sini. Ini bagian dari cara supaya kamu bisa keluar cepat. Kamu mau nggak?" Althalan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Saya mau." "Bagus," kata Pak Reza sambil tersenyum. "Saya tahu kamu punya keinginan untuk berubah. Dan ingat, kamu butuh bicara, ruangan ini selalu terbuka buat kamu." Pertemuan itu selesai, dan Althalan kembali ke selnya. Di sepanjang perjalanan, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata Pak Reza. Dia tidak tahu apakah program ini akan membantu, tetapi satu hal yang pasti dia harus keluar dari tempat ini secepatnya. Untuk dirinya sendiri. Namun, di sudut pikirannya, bayangan dan ancaman-ancamannya tidak pernah hilang. Dia tahu malam ini, atau malam-malam berikutnya, pembullyan atau balas dendam ini belum selesai. Yah jujur diapun sangat ingin menghindarinya akan tetapi tidak bisa. Langkah Althalan terasa berat ketika ia meninggalkan ruang pembinaan. Bayangan wajah Celine yang tersenyum saat terakhir kali mereka bertemu terus menghantui pikirannya. Namun, sebelum ia bisa kembali ke selnya, seorang sipir mendekatinya. "Althalan," panggil sipir itu dengan nada ragu. Sipir itu datang tiba tiba dengan raut wajah yang sulit digambarkan. Althalan berhenti. Tatapannya penuh rasa lelah, tapi dia tetap menoleh ke arah sipir itu. "Apa lagi sekarang?" tanyanya datar. Sipir itu menghela napas panjang, seolah-olah mencoba menyusun kata-kata. "Saya punya kabar... kabar buruk untukmu." Althalan mengernyit, mencoba membaca ekspresi sipir tersebut. "Apa maksud lo?" Sipir itu menggeleng pelan, tatapannya beralih ke lantai. "Celine... temanmu. Dia mengalami kecelakaan dalam perjalanan ke sini. Dia tertabrak mobil... dan dia meninggal tempat." Kata-kata itu bagai bom yang meledak di kepala Althalan. Tatapannya langsung kosong, tubuhnya terasa kaku, dan telinganya berdenging. "Apa... apa yang lo bilang barusan?" gumam Althalan, hampir tidak terdengar. Sipir itu menatapnya dengan iba. "Saya benar-benar menyesal, Althalan. Ini berita yang berat." Althalan tidak mendengar sisanya. Dunianya terasa berhenti. Kakinya melemah, tapi dia tetap berdiri. Dia merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tidak berujung. Reza, yang kebetulan mendengar berita itu, segera datang menghampiri. "Althalan, saya tahu ini berat. Tapi kamu harus tetap kuat. Jangan biarkan..." Belum selesai Pak Reza berbicara, Althalan langsung berteriak. "BOHONG! Itu nggak mungkin! Nggak mungkin Celine pergi begitu aja!" Tanpa peringatan, Althalan melayangkan pukulan ke wajah sipir yang menyampaikan kabar itu. Sipir tersebut terhuyung, tetapi Althalan terus menyerangnya, melampiaskan kemarahan yang tidak bisa ia bendung. Syut... Bugh... "ALTHALAN! BERHENTI!" teriak Pak Reza sambil mencoba menahan tubuh Althalan, tetapi kekuatannya terlalu besar. Althalan seperti orang kesetanan. "Dia nggak mati! Dia nggak mungkin mati!" raung Althalan sambil terus memukul. Bugh... "Ngomong yang jelas bangsa*! Celine gak mungkin ninggalin gue!" Pak Reza akhirnya berhasil menarik Althalan menjauh, tetapi aura gelap yang menyelimuti tubuh remaja itu membuat semua orang di sekitarnya merasa ngeri. Tatapan mata Althalan berubah, penuh kebencian dan rasa sakit. "Gue batalin program lo," ucap Althalan kepada Pak Reza, suaranya hampir tidak terdengar. "Gue nggak peduli lagi. Hasrat ini akan tetap terus berada dalam diri gue, hasrat membunuh ini sudah seperti teman hidup gue." Pak Reza hanya bisa menatap dengan cemas ketika Althalan berjalan menjauh. Tubuhnya masih berlumuran darah-baik dari sipir yang dia hajar maupun dari dirinya sendiri. Althalan keluar menuju area belakang lapas, tanpa tujuan jelas. Pandangannya kabur karena amarah dan kesedihan yang bercampur aduk. Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke sebuah gudang bekas daur ulang yang jarang digunakan. Di sana, dia melihat Exel dan tiga temannya sedang tertawa sambil merokok. Saat melihat Althalan mendekat, Exel melirik dengan tatapan mengejek. "Wih, si bocah cengeng datang juga. Mau ngadu lagi sama pembina lo?" Althalan tidak menjawab. la hanya berjalan mendekat dengan langkah pelan, tatapannya kosong, tetapi auranya begitu mengerikan. "Lo denger gue nggak, hah?" lanjut Exel sambil berdiri, mencoba menantang. Pats... Bugh... Tanpa peringatan, Althalan melayangkan pukulan keras ke wajah Exel. Suara tulang patah terdengar jelas. Exel terhuyung, tetapi Althalan tidak memberinya kesempatan untuk membalas. Dia terus memukul, menendang, dan membanting Exel hingga tubuhnya terkapar. Krekek... Suara parah tulang itu begitu nyaring diruangan itu. Tiga temannya mencoba melawan, tetapi mereka tidak berdaya. Althalan menghajar mereka satu per satu dengan brutal, tanpa menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Suara pukulan, jeritan, dan benda jatuh memenuhi ruangan. Ketika semua orang terkapar tak berdaya, Althalan berhenti. Napasnya terengah-engah, tangannya gemetar, dan matanya menyala penuh amarah. Dia menatap tubuh Exel yang sudah tidak bergerak, lalu berjalan pergi tanpa berkata apa-apa. Darah menetes dari tangannya, tetapi dia tidak peduli. Sesampainya di sel, Althalan duduk di sudut, memandangi dinding dengan tatapan kosong. Bayangan wajah Celine terus menghantuinya, membuat dadanya terasa sesak. Dia memukul tembok beberapa kali hingga tangannya berdarah, tetapi rasa sakit itu tidak cukup untuk meredakan emosinya. "Nggak mungkin... Celine nggak mungkin ninggalin gue..." gumamnya dengan suara bergetar. Ruangan terasa sunyi, hanya suara napasnya yang Althalan menggenggam kepalanya, mencoba menahan rasa sakit yang menggerogoti hatinya. Tapi air matanya mulai mengalir, meskipun ia mencoba menahannya. Kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan bercampur menjadi satu, mengubah dirinya menjadi seseorang yang tidak lagi ia kenal. Mungkin sesosok iblis itu akan muncul sebagai gambaran baru bagi hidup Althalan.Malam itu, suasana di mansion Ombra Thanatos terasa tenang. Tapi bagi Amore, Jovenica, Ellen, dan Moreno, ini adalah ketenangan yang terasa aneh.Mereka duduk di ruang tengah, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ellen menatap layar laptopnya dengan mata tajam, Jovenica sibuk mengasah pisaunya, sedangkan Amore duduk dengan kaki disilangkan, memainkan belati kecil di tangannya.Sementara itu, Moreno…"Woi, lo bisa diem nggak?!" Jovenica menggeram, menatap Moreno yang duduk bersila di lantai, mengunyah keripik dengan suara berisik."Lagian kenapa sih mukanya pada tegang gitu? Apa karena kejadian tadi di sekolah?" Moreno mendecak, lalu menyeringai, "Atau karena kalian masih kepikiran cowok iblis itu?"Amore mendelik. "Cowok iblis?""Ya siapa lagi kalau bukan Althalan," Moreno mengangkat bahu santai. "Gue udah lihat rekaman dari hacker kita. Malam ini dia ‘main’ di mansionnya Valentino."Mata Ellen langsung melirik ke arah Moreno dengan penuh minat. "Lo serius?""Ya iyalah. Gue ngapain
Malam di kota ini tak pernah benar-benar tenang. Lampu jalan berkedip samar, dan suara klakson kendaraan dari kejauhan terdengar sesekali. Di sebuah kawasan industri yang hampir ditinggalkan, berdiri sebuah bangunan besar yang tampak tak mencolok—gudang tua dengan cat yang mulai pudar dan pintu baja yang berkarat.Namun, di balik tampilan kumuh itu, tempat ini adalah salah satu pusat kekuatan Organisasi Rafael. Gudang ini menyimpan berbagai senjata ilegal yang mereka edarkan ke berbagai sindikat di kota.Dua pria bertubuh besar berjaga di depan pintu, masing-masing menggenggam senapan serbu. Sesekali, mereka berbincang santai, merokok, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir mereka.Tak jauh dari sana, di atas gedung seberang, sosok bertudung berdiri di tepi, menatap gudang dengan mata tajam. Althalan.Angin dingin malam menyapu jaketnya, namun dia tetap tak bergerak, mengamati pola penjagaan dengan cermat. Lima orang di luar,
Althalan baru saja tiba di sekolah, berjalan santai melewati gerbang tanpa memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang menarik di sini. Sekolah hanyalah formalitas baginya, dan dia tidak punya niat untuk buang-buang waktu.Namun, baru saja dia hendak menuju kelas, suara nyaring yang menyebalkan itu terdengar."Oh? Ternyata Kamu ada disini Althalan. Aku sudah nunggu kamu."Althalan tetap berjalan tanpa peduli, tapi dari belakang, Amore mendesis pelan. "Tch, Medusa."Di sana, berdiri dengan angkuhnya, Runela bersama tiga temannya. Seperti biasa, mereka berjalan seolah-olah sekolah ini milik mereka, dengan senyum penuh kepercayaan diri. Rok seragamnya lebih pendek dari aturan, riasannya terlalu berlebihan untuk standar sekolah, dan ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak datang hanya untuk sekadar menyapa.Runela tersenyum manis ke arah Althalan, berjalan lebih dekat dengan tatapan genit. "Kenapa buru-buru, hm? Aku baru aja datang, sayang
Ellen mengetik dengan cekatan di laptopnya, wajahnya serius sementara layar menampilkan berbagai informasi tentang Althalan. Jari-jarinya terus bergerak, hingga akhirnya dia berhenti dan menatap layar dengan mata membesar."Holy sh*t…" Ellen berseru pelan, membuat Amore, Deul, dan Jovenica langsung mendekat."Kenapa?" Amore bertanya, melirik layar laptop yang menampilkan sebuah dokumen rahasia.Ellen menelan ludah, lalu memutar laptopnya agar mereka semua bisa melihat. "Althalan… dia bukan orang biasa. Dia anak dari Latozey."Ruangan seketika sunyi. Deul dan Jovenica menegang, sementara Amore menyipitkan mata. Nama itu bukanlah nama asing di dunia mafia. Latozey adalah legenda, seorang pemimpin yang namanya dibisikkan dengan ketakutan di seluruh dunia bawah."Bukan cuma itu," Ellen melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Althalan juga berhasil menghabisi organisasi Pradipta sendirian. Organisasi itu bukan sembarangan, mereka salah satu j
Keesokan paginya, Amore, Ellen, Deul, dan Jovenica dipanggil ke ruang rapat utama mansion. Mereka melangkah masuk dengan santai, meskipun mereka tahu betul bahwa jika ayah mereka memanggil mereka secara langsung, itu berarti sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan, Razoes sudah duduk di kursi utama dengan ekspresi seriusnya. Di hadapannya, ada empat kotak hitam yang masing-masing memiliki nama mereka terukir di atasnya. "Duduk," kata Razoes dengan suara dalam yang penuh wibawa. Keempatnya mengambil tempat, menatap kotak itu dengan rasa penasaran. "Daddy udah mengamati perkembangan kalian sejak pertama kali kalian Daddy latih. Kalian sudah berkembang, tapi masih ada banyak hal yang harus kalian pelajari." Razoes melipat tangan di depan dadanya. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan naik ke level berikutnya." Deul menaikkan alis. "Maksud Daddy?" Razoes menyeringai kecil. "Buka kotaknya." Tanpa banyak basa-basi, Amore dan saudara-saudaranya membuka kotak masing-masing. Begi
Althalan menarik napas dalam, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal akibat pertarungan tadi. Malam ini seharusnya dia hanya ingin fokus mencari informasi tentang organisasi Rafael, tapi justru bertemu dengan Maverick yang memaksanya bertarung tanpa rencana. Mesin motor sport barunya meraung pelan saat dia menarik gas, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, suara batuk kasar terdengar dari belakangnya. "Hah… Lo pikir gue bakal tumbang cuma segini aja, hah?" Althalan melirik dari spion. Maverick masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka dan darah menetes dari sudut bibirnya. Matanya masih dipenuhi api perlawanan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. "Heh, lo masih bisa berdiri?" Althalan mendecakkan lidah, memutar gas motornya sedikit. Maverick menyeringai, lalu meludah ke tanah. "Lo pikir gue bakal kalah semudah itu?" Suaranya parau, tapi tekadnya masih membara. "Gue janji akan ngalahin lo, dan gue nggak akan berhenti sebelum itu terjadi!" Alth