Matahari siang yang terik menyinari gedung megah CAREFULLY School. Sekolah elit di tengah kota itu selalu menjadi impian banyak anak-anak orang kaya, tempat mereka bersaing untuk menjadi yang terbaik. Namun, di salah sudut ruang kelas, duduk seorang remaja bernama Althalan yang tampak berbeda dari suasana sekolah itu.
Rambutnya yang tersisir rapi dengan gaya middle parted menutupi sebagian wajahnya. Kacamata tebal bertengger di hidungnya, membuatnya terlihat seperti anak biasa-mungkin sedikit culun di mata teman-temannya. Tapi jika seseorang memperhatikan lebih dekat, mereka akan menyadari sesuatu yang aneh pada Althalan. Tatapan abu-abunya kosong, terlalu tenang untuk ukuran seorang anak SMA. Saat mata pelajaran berlangsung, dia hanya menatap buku di mejanya tanpa benar-benar membacanya. Pikirannya melayang jauh, kembali ke rumah- tempat yang lebih menyerupai neraka daripada tempat tinggal. Bayangan wajah ayahnya muncul di benaknya. Mata pria itu selalu dipenuhi amarah, tangannya kasar, tak pernah ragu menghujani Althalan dengan pukulan setiap kali dia merasa tidak puas. Luka-luka di tubuh Althalan, beberapa di antaranya masih segar, menjadi saksi dari kehidupan keras yang dia jalani. "Huffft... Hari yang sangat membosankan ini, kapan ini akan berakhir! Gue udah cukup terlalu lama untuk menanggung ini semua!" Di luar jendela, lapangan sekolah yang luas terlihat seperti tempat yang damai. Namun, bagi Althalan, tidak ada kedamaian di mana pun. Perlahan, dia membenamkan kepalanya di kedua lengannya, mencoba mengusir rasa takut yang terus menghantui. Tapi bayangan itu terlalu kuat, membuat dadanya sesak. "Argh... Sialan!" Gumam Althalan. Bel berbunyi menandakan jam pelajaran kedua selesai. Para siswa berhamburan keluar menuju kantin, meninggalkan kelas dalam keadaan sepi. Althalan tetap di tempatnya, berharap bisa mendapatkan sedikit ketenangan. Dia menarik napas panjang, mencoba memejamkan mata. Namun, ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik. "Eh, lo masih di sini aja, ha?" Sessst... Suara itu memecah keheningan, diikuti tawa yang sudah sangat dikenalnya. Rambut Althalan tiba-tiba ditarik dari belakang, membuatnya tersentak. Dia menoleh, dan seperti yang dia duga, Cigo berdiri di sana. Cigo, dengan tubuhnya yang besar dan senyum mengejek, adalah mimpi buruk lain dalam hidup Althalan. Bersama dua temannya, dia selalu menemukan cara untuk membuat hidup Althalan semakin menyedihkan. "Woy, gue ngomong sama lo!" Cigo menarik rambut Althalan lebih keras, memaksanya berdiri dari bangku. "Argh... Lepas, Cigo," Althalan berusaha melepaskan cengkeraman itu, tapi sia-sia. Cigo tertawa sinis, wajahnya mendekat. "Lo pikir, anak mafia kayak lo pantas ada di sini, hah? Sekolah ini buat orang normal, bukan buat sampah kayak lo!" Althalan diam. Dia tahu melawan hanya akan membuat segalanya lebih buruk. "Ngapain diem aja? Gue nyuruh lo ambil rokok gue di loker, ngerti? Cepet!" Cigo mendorong tubuh Althalan dengan kasar. Bruk!... "Loker lo di luar... Kalau gue ketahuan..." Althalan mencoba menolak, suaranya bergetar. "Lo nolak?!" Cigo menampar wajahnya keras. "Lo pikir gue siapa, hah?" Plak!... Pukulan bertubi-tubi mulai menghujani wajah dan perut Althalan. Anak-anak yang tadinya lewat mulai berhenti di depan kelas, menyaksikan kejadian itu. Tapi tidak ada yang berani melawan Cigo. Mereka tahu siapa dia-anak salah satu donatur terbesar sekolah. Bugh!... Brugh!... Setelah puas memukul, Cigo meludah ke Althalan "Lo tahu? Anak kayak lo cuma bikin malu sekolah ini." Cigo menyuruh kedua temannya untuk membuka seragam Althalan. Mereka tertawa sambil menarik paksa seragam itu dari tubuhnya. Tapi tawa mereka mendadak terhenti ketika mata mereka melihat apa yang tersembunyi di balik kain itu. Tubuh Althalan dipenuhi luka. Bekas sayatan, lebam, dan luka bakar tersebar dada dan punggungnya. Beberapa luka bahkan terlihat baru, dengan darah yang hampir kering. Satu per satu orang yang menonton mulai membisu. Bahkan Cigo, yang biasanya selalu bisa menemukan sesuatu untuk diejek, hanya berdiri terpaku. "Ini... Apa-apaan ini?" gumamnya dengan suara pelan, hampir tak terdengar. "D-dia beneran t-tubuhnya!" "Astaga! Lihat tubuhnya Althalan" "Gila itu beneran tubuh orang? What the fck! Itu bukan luka biasa!" "Apa ayahnya yang lakuin itu semua ke dia? Itu sih bener bener piskopat!" Althalan menatapnya, tatapan datar tanpa emosi. Dengan tenang, dia mengambil kembali seragamnya, mengenakannya perlahan, lalu berjalan keluar kelas sepatah kata pun. di balik wajah tenangnya, ada api yang perlahan menyala. "Suatu hari nanti, gue bakal ngasih mereka rasa sakit yang sama. Atau mungkin lebih." Langit siang itu terasa lebih cerah di belakang CAREFULLY School, tempat yang jarang dikunjungi orang. Area itu seolah menjadi dunia lain, jauh dari hiruk-pikuk para siswa. Di sana, pohon-pohon besar berdiri kokoh, menciptakan bayangan yang meneduhkan. Tempat itu menjadi satu-satunya tempat di mana Althalan merasa tenang. Dia berjalan perlahan, tubuhnya masih terasa sakit akibat pukulan Cigo dan kawan-kawannya. Napasnya sedikit tersengal saat ia menemukan pohon terbesar di sudut area tersebut. Dengan satu tarikan napas panjang, dia bersandar di batang pohon, membiarkan udara sejuk menyapu wajahnya yang penuh luka. Althalan merogoh sakunya, mengeluarkan kacamata yang kini retak parah. Dia memutar benda itu di tangannya, mengamati setiap goresan yang membuat penglihatannya semakin sulit. Dengan berat hati, dia bergumam pelan, "Kacamata sialan ini lagi-lagi harus diganti." Althalan menghela napas, dia menutup matanya dengan sebelah tangan. Bayangan pukulan, ejekan, dan hinaan tadi kembali menghantui pikirannya. Suara tawa Cigo seperti gema yang tidak bisa dia hentikan. "Kenapa hidup gue harus kayak gini?" batinnya getir. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut di bibirnya membuatnya tersentak. Matanya sedikit mengintip dari celah jari-jarinya. Rambut hitam sebahu yang terurai tampak bergerak mengikuti angin. Althalan membuka matanya sepenuhnya, dan di berdiri Celin- satu-satunya orang yang selalu ada untuknya. "Lo lagi duduk kayak stress," ujar Celin sambil menyeka darah di sudut bibirnya dengan saputangan kecil. hanya terdiam, membiarkan Celin duduk di sisinya. Senyuman ceria cewek itu seperti mengusir semua kegelapan dalam pikirannya. Dengan tenang, Celin meletakkan sebuah kotak di antara mereka. "Nih, gue bawain makanan. Lo harus makan biar lo nggak tambah kurus, Thal." Cowok itu melirik makanan itu, lalu Celin. berkata apa-apa, dia mengambilnya. "Thanks," ucapnya pendek, namun ada nada tulus di balik kata-kata itu. Celin tertawa kecil. "Lo nggak berubah, ya. Tetap ngomongnya kayak robot." Althalan tidak menjawab, hanya tersenyum kecil sambil membuka kotak makan itu. Ada sandwich dan potongan buah yang tampak sederhana, tapi bagi Althalan, itu lebih dari cukup. Dia mulai memakan makanannya, sementara Celin, seperti biasa, mulai bercerita tanpa henti. "Lo tahu nggak, tadi di kantin gue ngeliat si Roy hampir kepleset gara-gara injak kulit pisang, terus mukanya kena tai anjing haha. Gila, itu lucu banget. Gue sampai nggak bisa berhenti ketawa, serius deh!" Celin berkata dengan penuh semangat. "Emang disekolah kita ada anjing?" Celin mengedipkan matanya beberapa kali dan terkekeh. "Ishh! Lo mah, iyain aja Napa!" Althalan hanya mengangguk, sesekali melirik Celin dengan senyuman tipis. Celin memang selalu bisa membuat suasana menjadi ringan, meskipun dia sedang dalam keadaan terburuk. Setelah makan, Celin mengeluarkan dua kotak susu dari tasnya. Dia menyodorkan satu kepada Althalan. "Minum nih, gue bawain spesial buat lo." Althalan mengambilnya tanpa ragu, membuka kotak susu itu dan meminumnya. Namun, Celin tiba-tiba menghentikan gerakannya. Mata Celin tertuju pada leher Althalan, di mana ada tanda samar seperti coretan tinta. "Al, itu di leher lo apa?" tanya Celin, Althalan buru-buru menarik kerah bajunya untuk menutupi tanda itu. "Nggak ada apa-apa. Cuma... bekas tinta kena seragam gue tadi," jawabnya cepat. Celin memiringkan kepalanya, seolah ingin bertanya lebih lanjut. Namun, dia hanya bahu sambil tersenyum. "Yah, terserah lo deh." Mereka menghabiskan waktu itu dengan obrolan ringan. Celin terus melontarkan cerita-cerita konyol, sementara Althalan hanya mendengarkan dengan senyum kecil yang jarang terlihat di wajahnya. Bagi Althalan, Celin bukan hanya teman biasa. Dia adalah satu-satunya alasan mengapa dia bisa bertahan menghadapi semua kekacauan yang terjadi dalam hidupnya. Celin adalah tempat di mana Althalan bisa merasa menjadi manusia, walau hanya untuk waktu. Namun, di balik semua kehangatan itu, Althalan tahu. Tidak peduli seberapa banyak Celin membuatnya tertawa, ayahnya yang kejam, kehidupan yang keras, dan luka-luka yang menghiasi tubuhnya tetap akan menunggu di balik pintu rumah. Dan dia tahu, tidak akan selamanya dia bisa menyembunyikan semua itu dari Celin. * * * Langit malam di balik jeruji sel remaja itu begitu gelap, seolah memantulkan kehampaan yang dirasakan Althalan. Ruangan kecil yang dingin hanya berisi ranjang sempit dan dinding beton yang dingin. Di tangannya, sebuah foto lusuh yang mulai pudar warnanya. Foto itu menunjukkan dirinya dan Celin, duduk di bawah pohon besar di belakang sekolah mereka. Rambut Celin yang hitam sebahu tampak tergerai, matanya yang cokelat bersinar penuh kehidupan, dan senyumnya yang manis seolah membawa kedamaian ke dalam jiwa Althalan yang penuh luka. Althalan mengusap wajah Celin di dalam gambar itu dengan lembut, bibirnya membentuk senyuman kecil yang penuh kepedihan. "Celin..." gumamnya pelan, suaranya serak seperti pecahan gelas. Hanya foto itu yang membuatnya merasa masih ada alasan untuk bertahan, meskipun segalanya sudah terasa hancur. Empat hari di dalam sel ini terasa seperti empat tahun baginya-sunyi, kosong, penuh dengan bayangan masa lalu yang mencekam. menyandarkan punggungnya ke dinding, lalu memejamkan mata. Namun, ingatan itu datang tanpa ampun, menggerogoti pikirannya. Semuanya kembali, dari awal hingga akhir, seperti film buruk yang terus berulang. Ayahnya, Latozey, adalah monster dalam wujud manusia. Ketua mafia yang namanya membuat dunia bawah tanah gentar. Tapi bagi Althalan, dia adalah mimpi buruk yang terus menghantuinya. Sejak usia lima tahun, pukulan dan tendangan dari Latozey sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Tangisan kecilnya saat itu hanya dianggap lemah oleh pria kejam itu. "Kau harus kuat! Kau bukan anak biasa! Kau darahku, Althalan!" bentak Latozey setiap kali memukulnya. Namun, semua rasa sakit itu tidak pernah membuatnya terbiasa. Luka di sembuh, tapi luka di jiwanya semakin dalam. Puncaknya adalah hari ketika dia pulang di usia tiga belas tahun. Althalan masih ingat setiap detailnya-bau darah yang menguar di udara, suara tubuh terhempas, dan pemandangan tubuh ibunya terkapar di Wanita yang selama ini menjadi satu-satunya pelindungnya tergeletak tak bernyawa dengan darah menggenang di bawahnya. Dia berdiri membeku di ambang pintu, tangannya gemetar. "Ibu...?" suaranya nyaris tak terdengar. Namun, sosok besar di hadapannya, Latozey, hanya menyeringai puas. "Dia terlalu lemah hidup di dunia ini," ucap pria itu, dengan nada datar seolah membicarakan hal biasa. Tubuh Althalan kaku, matanya terpaku pada ibunya. Dadanya bergetar, amarah yang tak tertahankan mulai menggelegak di dalam dirinya. Sesuatu yang gelap dan asing muncul dari dalam dirinya, seperti api yang tak terlihat namun terasa membakar segalanya. Aura hitam mulai membungkus tubuhnya, dan untuk pertama kalinya, matanya yang abu-abu berubah menjadi violet yang bersinar mengancam. "Lo-lo... ngebunuh dia," suara Althalan rendah, namun penuh dengan kebencian. Dia menerjang ke arah tanpa berpikir dua kali. Tendangannya mengarah ke kepala pria itu, tapi Latozey menahan serangan itu dengan mudah, menggunakan satu tangan. "Bagus. Akhirnya kau mau melawan," ejeknya. Bugh!... Prang!... Brak!... Namun, Althalan tidak berhenti. Amarahnya membuatnya bergerak lebih cepat dan kuat dari Tinju demi tinju menghujani tubuh Latozey, membuat pria itu mundur beberapa langkah. Tapi Latozey tetap tersenyum, darah menetes dari sudut bibirnya. "Itu saja? Kau pikir kau bisa mengalahkanku, Althalan!?" Sessst... Bugh!... Amarah Althalan mencapai puncaknya. Dia melihat celah kecil di pertahanan ayahnya dan tanpa ragu menghantam titik vital pria itu. Untuk pertama kalinya, Latozey tersungkur, tapi dia malah tertawa keras. "Hebat... Kau lebih dari yang ku kira..." Namun, Althalan tidak berhenti. Dia meraih vas keramik di meja terdekat dan menghantamkannya ke kepala Latozey. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Hingga darah ke wajahnya. Matanya yang violet bersinar semakin terang, dan aura hitamnya melingkupi ruangan seperti pekat. Latozey akhirnya terkapar dengan darah mengalir deras dari kepalanya. Althalan berdiri terengah-engah, vas itu masih di tangannya. Wajahnya berlumuran darah, tapi ekspresinya kosong. Dia tidak merasa lega, tidak juga puas. Hanya kehampaan yang tersisa. Ingatan itu membuat Althalan membuka matanya tiba-tiba. Dia memandangi tangannya sendiri, seolah masih bisa merasakan berat vas itu. "Apa gue bener-bener anak iblis?" pikirnya. Mata violet yang pernah muncul saat itu masih menghantui mimpinya. Apa sebenarnya kekuatan itu? Kenapa dia memilikinya? Foto Celin di tangannya kembali menarik perhatiannya. Hanya dia satu-satunya yang pernah melihat Althalan tersenyum setelah ibunya meninggal. Tapi apa yang Celin pikirkan jika dia tahu monster seperti apa dirinya sebenarnya? Pertanyaan itu menggantung di pikirannya, tak terjawab. Di luar sel, suara langkah berat menggema di koridor, diikuti suara penjaga yang berteriak. "Althalan, ada tamu buat lo!" suara itu menggema, membuat Althalan mengangkat kepalanya. Siapa yang mau menemuinya di tempat ini? Berdebar saat dia mendengar langkah kaki mendekat. Sosok itu berdiri di depan jeruji. Rambut hitam sebahu yang familiar, dan mata cokelat yang kini menatapnya tajam. Celin berdiri di sana, tanpa senyum, hanya tatapan penuh arti. "Lo pikir gue nggak bakal nemuin lo di sini?" ucapnya dengan nada dingin. Althalan tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Kenangan dan kenyataan kini berhadapan, dan untuk pertama kalinya, dia merasa seluruh dinding yang dia bangun di dalam dirinya mulai runtuh. Mata Althalan membelalak melihat Celin berdiri di depannya. Pikirannya kacau, mencoba mencari alasan mengapa gadis itu ada di sana-dan kenapa sekarang, saat malam sudah larut. Jeruji dingin membatasi mereka, namun tatapan Celin menembus semua lapisan pertahanan yang selama ini dia bangun. "Celin...? Lo ngapain di sini? Ini udah malem," suara Althalan gemetar, antara kaget dan bingung. Celin menatapnya lekat, tak ada senyuman khasnya kali ini. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak seperti seseorang yang mencoba menahan emosi. "Gue yang seharusnya nanya, Al. Lo ngapain bikin hidup lo berantakan kayak gini?" suaranya dingin, tapi jelas ada nada kecewa di baliknya. Althalan terdiam, merasa seperti diserang dari arah yang tak terduga. Dia mengalihkan pandangannya ke lantai, tangannya meremas foto Celin yang masih dia pegang. "Gue nggak minta lo datang. Gue... nggak mau lo liat gue di tempat ini." "Tapi gue mau, Al!" suara Celin tiba-tiba meninggi, memantul di sepanjang koridor sel yang sunyi. "Lo pikir gue bakal diem aja setelah tahu lo di sini? Gue peduli ini apa atau udah jam berapa. Lo penting buat gue." Althalan menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Dia tidak terbiasa melihat Celin marah seperti ini, terlebih karena dia sendiri. Sebuah rasa bersalah mulai merayap di dalam dirinya. "Gue... Gue cuma bikin lo kecewa, Celin. Harusnya lo nggak datang." Celin menghela napas panjang, menurunkan sedikit nada suaranya. Dia melangkah lebih dekat ke jeruji, jarak mereka kini hanya beberapa sentimeter. "Lo tahu, Al? Dari dulu lo selalu pikir lo sendirian. Padahal gue selalu ada di sini buat lo. Selalu." Kata-kata itu menusuk langsung ke hati Althalan. Dia mendongak perlahan, menatap Celin yang kini terlihat lebih emosional. Mata cokelatnya bersinar di bawah lampu temaram koridor, membawa kehangatan yang begitu familiar. Tapi dia tahu kehadirannya di sini hanya akan membawa Celin pada masalah yang lebih besar. "Celin... gue nggak pantas dapat perhatian lo," gumam Althalan, nyaris tak terdengar. "Gue cuma anak seorang-" "Gue nggak peduli siapa bokap lo, Al!" Celin memotong, matanya berkaca-kaca. "Lo bukan dia. Lo Althalan. Sahabat gue. Orang yang pernah gue lihat senyum di bawah pohon besar itu. Lo pikir gue lupa semua itu?" Kata-katanya membuat Althalan terdiam. Celin tidak pernah menyerah padanya, bahkan ketika dunia seolah meninggalkannya. Gadis itu adalah satu-satunya cahaya yang tersisa di kegelapan hidupnya. Tapi dia tahu, jika Celin terus mendekatinya, dia akan terseret ke dalam bahaya yang lebih besar. "Celin, dengerin gue," Althalan akhirnya berkata, mencoba menahan suaranya agar tetap stabil. "Lo nggak ngerti. Bokap gue... semua ini lebih besar dari yang lo pikir. Lo harus pergi dari sini. Jangan pernah balik lagi." Celin menggeleng dengan keras. "Nggak, Al. Gue nggak bakal ninggalin lo, apapun yang terjadi. Lo bisa dorong gue seribu kali, tapi gue bakal balik seribu kali juga. Gue nggak takut sama lo atau siapa pun di belakang lo." Althalan menatapnya dalam-dalam, untuk pertama kalinya benar-benar melihat keteguhan di mata Celin. Tapi sebelum dia bisa membalas, suara berat penjaga memotong momen itu. "Hei, waktu udah habis! Cewek, lo harus keluar sekarang." Celin menoleh dengan enggan, lalu kembali menatap Althalan. "Gue bakal balik, Al. Jangan pikir gue bakal ninggalin lo." Dia meletakkan sesuatu di lantai dekat jeruji-sebuah amplop kecil-sebelum berbalik dan pergi. Althalan hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin menjauh, langkah-langkahnya bergema di koridor. Dia mengambil amplop itu dengan tangan gemetar, membuka isinya perlahan. Di dalamnya, ada secarik kertas dengan tulisan tangan Celin yang rapi "Gue percaya sama lo, Al. Jangan menyerah. Gue bakal ada buat lo, selalu." Althalan meremas kertas itu, matanya memanas. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ada sesuatu yang menyerupai harapan yang tumbuh di dalam dirinya. "Celin..." bisiknya, pelan tapi penuh arti. Namun di balik rasa harapan itu, ada rasa takut yang lebih besar. Althalan tahu, jika Celin terus bersikeras berada di sisinya, itu hanya akan membawa lebih banyak bahaya. Dan bahaya itu tidak hanya berasal dari masa lalunya-tapi juga dari dirinya sendiri.Althalan memejamkan matanya semakin erat, bukan untuk menenangkan diri, tapi untuk menahan hasrat yang perlahan-lahan muncul di dalam dirinya. Bisikan hinaan dari mereka yang ada di sekitar sel itu terus menggaung di telinganya. Suara mereka seperti jarum tajam, menusuk harga dirinya sedikit demi sedikit. Namun, bukan penghinaan terhadap dirinya yang membuat darahnya mendidih, melainkan kata-kata kotor tentang Celin-satu-satunya orang yang memberinya alasan untuk terus bertahan.Sessst...Ketika rambutnya ditarik dengan kasar, Althalan merasakan tulang belakangnya hampir patah karena gerakan itu. Dia mendongak dengan mata setengah terbuka, melihat wajah Exel yang penuh senyum ejekan. Tato dua ular melilit ikan di dada Exel terlihat jelas di bawah lampu redup sel itu. Jantung Althalan berdebar lebih cepat, bukan karena takut, tapi karena pengakuan. "Dia salah satu anak buah bokap gue,tato itu... Tato itu sama persis seperti yang ayah miliki" pikirnya sambil mengepalkan tangan."Hei, bo
Setelah Celine pamit meninggalkan ruang kunjungan, Althalan hanya bisa memandangi punggungnya yang perlahan menghilang dari pandangan. Ada rasa hangat yang muncul di dadanya, tetapi tidak bertahan lama. Ketika sipir mengantar Althalan kembali ke selnya, wajahnya kembali dingin. Langkahnya berat, dan matanya penuh dengan bayangan masa lalu.Di selnya, Exel dan anak buahnya sudah menunggu. Tatapan mereka tajam, seperti ingin menelanjangi setiap inci rasa percaya diri Althalan. Exel duduk di sudut dengan posisi dominan, memainkan bola tenis kecil di tangannya. Ada senyum licik di wajahnya yang langsung membuat suasana ruangan mencekam."Althalan," panggil Exel dengan nada santai namun penuh ancaman, "gue dengar lo tadi baru kedatangan tamu, ya? Cewek lo? Cantik banget itu cewek yang kemarin ya?"Althalan tidak merespons. Dia hanya melempar pandangan sekilas ke arah Exel lalu duduk di pojok tempat tidurnya, memandangi kertas kecil dari Celine yang masih digenggam erat."Oh, gue tahu. Lo p
Dua Hari Kemudian rumor tentang Exel dan tiga temannya menyebar bagai api di dalam lapas remaja. Para penghuni sel membicarakan kejadian itu dengan nada serius. Exel dan teman-temannya kini terbaring sekarat di rumah sakit, tulang-tulang mereka hampir seluruhnya retak akibat serangan brutal yang mereka alami. Tidak ada yang bisa melupakan bagaimana Althalan, bocah SMA yang selalu tampak pendiam, tiba-tiba menjelma menjadi sosok yang begitu berbahaya.“Gila, katanya si Althalan itu bener-bener kayak monster waktu hajar mereka…” salah satu penghuni berbisik.“Gue denger Exel aja sampe nggak bisa ngomong pas dibawa ke rumah sakit.”“Nggak mungkin cuma manusia biasa bisa bikin kayak gitu…”Kabar itu terus bergema di setiap sudut lapas. Namun, sosok yang menjadi sumber rumor tersebut kini dipisahkan di ruangan isolasi, sendirian dalam gelap dan sunyi.Althalan duduk di tengah ruangan. Tubuhnya membungkuk sedikit, tatapan kosong menatap lantai tanpa makna. Tidak ada suara, tidak ada gerakan
Ruangan isolasi itu sunyi. Hanya ada suara napas Althalan yang teratur, matanya menatap kosong ke lantai beton di bawahnya. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas, menciptakan senyum kecil yang lebih mirip ancaman daripada kebahagiaan. Dia sudah terbiasa dengan kesepian. Sudah bertahun-tahun dia hidup tanpa siapapun. Tapi di ruangan ini, Althalan bukan sedang merenung-dia sedang merencanakan sesuatu."Paling lambat, semuanya bakal tunduk sama gue," gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Detik berikutnya, suara derit kunci terdengar di balik pintu besi besar. Sipir membuka gembok dengan gerakan lambat, dan pintu itu pun terbuka lebar. Mata sipir itu tidak pernah bertemu pandang dengan Althalan, seolah ada ketakutan yang tertanam dalam dirinya."Keluar," kata si sipir dengan suara rendah.Althalan berdiri. Dia melangkah keluar dari ruangan sempit itu tanpa sepatah kata, tatapannya dingin seperti es. Aura di sekitarnya membuat sipir itu menunduk, bahkan mundur
Malam itu, nama Althalan menggema di seluruh penjara remaja. Dua bulan berlalu sejak dia pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, dan selama itu pula, dia menciptakan teror yang tak terlupakan. Nightmare, itulah julukan yang kini disematkan padanya.Di dalam sel yang gelap dan pengap, Althalan duduk bersandar di dinding beton yang dingin. Dia menyalakan rokok dengan ujung jarinya yang kasar akibat pertempuran sebelumnya. Asap putih mengepul ke udara, samar-samar memperlihatkan tatapan tajamnya yang penuh perhitungan.BRAKK!Pintu besi terbuka, suara langkah berat terdengar mendekatinya. Seorang sipir berdiri di depan pintu dengan ekspresi tak terbaca."Waktunya hiburan," ucapnya singkat.Althalan membuang puntung rokoknya, lalu bangkit perlahan. Tanpa perlu dikawal, dia melangkah keluar, menyusuri lorong panjang yang dipenuhi tatapan penuh hormat dan ketakutan dari para tahanan lain. Tidak ada yang berani bersuara saat dia lewat.Begitu tiba di lapangan luas, gemuruh sorakan terd
BRAKK!Pintu sel terbuka keras, menghantam tembok dengan suara gemuruh yang menggema di sepanjang koridor. Langkah kaki Althalan terdengar tenang, tapi aura di sekelilingnya terasa seperti pusaran badai yang siap menghancurkan apa pun yang menghalangi jalannya.Mata heterochromia sektorial violetnya berkilat tajam dalam kegelapan, mencerminkan kegelapan yang semakin mencengkeram pikirannya. Darah masih menetes dari jemarinya, meninggalkan jejak merah di lantai yang dingin."Bagus… Lanjutkan," suara Devil Nightmare bergema di dalam kepalanya. "Lebih banyak… Lebih dalam…"Althalan tidak menjawab. Dia hanya berjalan, tubuhnya rileks tapi setiap ototnya menegang, siap menerkam siapa pun yang berani menghalangi.Tahanan lain yang melihatnya langsung mundur ketakutan. Sebagian membungkuk, berpura-pura tak melihat. Yang lain menempel ke tembok, menahan napas. Tidak ada yang berani menantang iblis yang baru saja lahir di dalam penjara ini.Namun, di ujung lorong, tiga pria bertubuh besar berd
Sejak saat itu, suasana di dalam penjara berubah drastis. Semua tahanan kini tahu bahwa Althalan bukan sekadar orang berbahaya—dia adalah sesuatu yang lebih dari itu. Mereka yang sebelumnya merasa punya kekuatan, kini hanya bisa diam dan menghindari kontak mata dengannya.Tapi Althalan? Dia tidak peduli.Dia duduk di sudut selnya, tetap tenang seperti biasanya, namun pikirannya masih berputar-putar dengan suara Devil Nightmare yang terus menggema di dalam kepalanya."Kita lihat sampai kapan lo bisa menahan gue, Althalan."Ucapan itu masih terasa jelas.Althalan menggerakkan jari-jarinya perlahan, merasakan betapa dinginnya udara di dalam sel ini. Dia tahu satu hal—semakin lama dia berada di sini, semakin besar peluang Devil Nightmare untuk mengambil alih dirinya.Dan itu tidak boleh terjadi. Namun, saat dia mulai mencoba menenangkan pikirannya, suara langkah kaki berat terdengar mendekat dari koridor."Tahanan 712, ada yang mau ketemu lo."Althalan tidak langsung bereaksi. Dia hanya m
Langkah Althalan mantap melewati lorong sempit yang kini sunyi setelah pertarungan sebelumnya. Tahanan lain memilih menjauh, tak berani mendekat meskipun hanya sekadar melihatnya. Tatapan mereka dipenuhi rasa takut dan ketidakpercayaan.Tapi Althalan tidak peduli. Pikirannya masih dipenuhi oleh suara-suara dari dalam kepalanya."Lebih... lebih... lebih banyak darah..."Tangan kanannya mengepal erat, urat-uratnya menonjol. Aura kegelapan yang berasal dari Devil Nightmare terus merayapi tubuhnya, semakin kuat seiring bertambahnya korban. Matanya yang heterochromia sektorial violet berkilat tajam di bawah penerangan lampu redup lorong itu."Tersisa dua," gumamnya pelan.Di depan, sebuah pintu baja besar terlihat. Dua orang penjaga berdiri di sana, ekspresi mereka menegang saat melihat Althalan mendekat."Lo gak bisa masuk," kata salah satu penjaga dengan suara bergetar.Althalan tidak menjawab. Dia hanya berhenti sejenak, mengangkat kepalanya sedikit, menatap mereka dengan dingin."Pinda
Malam itu, suasana di mansion Ombra Thanatos terasa tenang. Tapi bagi Amore, Jovenica, Ellen, dan Moreno, ini adalah ketenangan yang terasa aneh.Mereka duduk di ruang tengah, masing-masing dengan ekspresi berbeda. Ellen menatap layar laptopnya dengan mata tajam, Jovenica sibuk mengasah pisaunya, sedangkan Amore duduk dengan kaki disilangkan, memainkan belati kecil di tangannya.Sementara itu, Moreno…"Woi, lo bisa diem nggak?!" Jovenica menggeram, menatap Moreno yang duduk bersila di lantai, mengunyah keripik dengan suara berisik."Lagian kenapa sih mukanya pada tegang gitu? Apa karena kejadian tadi di sekolah?" Moreno mendecak, lalu menyeringai, "Atau karena kalian masih kepikiran cowok iblis itu?"Amore mendelik. "Cowok iblis?""Ya siapa lagi kalau bukan Althalan," Moreno mengangkat bahu santai. "Gue udah lihat rekaman dari hacker kita. Malam ini dia ‘main’ di mansionnya Valentino."Mata Ellen langsung melirik ke arah Moreno dengan penuh minat. "Lo serius?""Ya iyalah. Gue ngapain
Malam di kota ini tak pernah benar-benar tenang. Lampu jalan berkedip samar, dan suara klakson kendaraan dari kejauhan terdengar sesekali. Di sebuah kawasan industri yang hampir ditinggalkan, berdiri sebuah bangunan besar yang tampak tak mencolok—gudang tua dengan cat yang mulai pudar dan pintu baja yang berkarat.Namun, di balik tampilan kumuh itu, tempat ini adalah salah satu pusat kekuatan Organisasi Rafael. Gudang ini menyimpan berbagai senjata ilegal yang mereka edarkan ke berbagai sindikat di kota.Dua pria bertubuh besar berjaga di depan pintu, masing-masing menggenggam senapan serbu. Sesekali, mereka berbincang santai, merokok, tanpa menyadari bahwa malam ini akan menjadi malam terakhir mereka.Tak jauh dari sana, di atas gedung seberang, sosok bertudung berdiri di tepi, menatap gudang dengan mata tajam. Althalan.Angin dingin malam menyapu jaketnya, namun dia tetap tak bergerak, mengamati pola penjagaan dengan cermat. Lima orang di luar,
Althalan baru saja tiba di sekolah, berjalan santai melewati gerbang tanpa memperhatikan sekeliling. Tidak ada yang menarik di sini. Sekolah hanyalah formalitas baginya, dan dia tidak punya niat untuk buang-buang waktu.Namun, baru saja dia hendak menuju kelas, suara nyaring yang menyebalkan itu terdengar."Oh? Ternyata Kamu ada disini Althalan. Aku sudah nunggu kamu."Althalan tetap berjalan tanpa peduli, tapi dari belakang, Amore mendesis pelan. "Tch, Medusa."Di sana, berdiri dengan angkuhnya, Runela bersama tiga temannya. Seperti biasa, mereka berjalan seolah-olah sekolah ini milik mereka, dengan senyum penuh kepercayaan diri. Rok seragamnya lebih pendek dari aturan, riasannya terlalu berlebihan untuk standar sekolah, dan ekspresinya jelas menunjukkan bahwa dia tidak datang hanya untuk sekadar menyapa.Runela tersenyum manis ke arah Althalan, berjalan lebih dekat dengan tatapan genit. "Kenapa buru-buru, hm? Aku baru aja datang, sayang
Ellen mengetik dengan cekatan di laptopnya, wajahnya serius sementara layar menampilkan berbagai informasi tentang Althalan. Jari-jarinya terus bergerak, hingga akhirnya dia berhenti dan menatap layar dengan mata membesar."Holy sh*t…" Ellen berseru pelan, membuat Amore, Deul, dan Jovenica langsung mendekat."Kenapa?" Amore bertanya, melirik layar laptop yang menampilkan sebuah dokumen rahasia.Ellen menelan ludah, lalu memutar laptopnya agar mereka semua bisa melihat. "Althalan… dia bukan orang biasa. Dia anak dari Latozey."Ruangan seketika sunyi. Deul dan Jovenica menegang, sementara Amore menyipitkan mata. Nama itu bukanlah nama asing di dunia mafia. Latozey adalah legenda, seorang pemimpin yang namanya dibisikkan dengan ketakutan di seluruh dunia bawah."Bukan cuma itu," Ellen melanjutkan, suaranya bergetar sedikit. "Althalan juga berhasil menghabisi organisasi Pradipta sendirian. Organisasi itu bukan sembarangan, mereka salah satu j
Keesokan paginya, Amore, Ellen, Deul, dan Jovenica dipanggil ke ruang rapat utama mansion. Mereka melangkah masuk dengan santai, meskipun mereka tahu betul bahwa jika ayah mereka memanggil mereka secara langsung, itu berarti sesuatu yang besar akan terjadi. Di dalam ruangan, Razoes sudah duduk di kursi utama dengan ekspresi seriusnya. Di hadapannya, ada empat kotak hitam yang masing-masing memiliki nama mereka terukir di atasnya. "Duduk," kata Razoes dengan suara dalam yang penuh wibawa. Keempatnya mengambil tempat, menatap kotak itu dengan rasa penasaran. "Daddy udah mengamati perkembangan kalian sejak pertama kali kalian Daddy latih. Kalian sudah berkembang, tapi masih ada banyak hal yang harus kalian pelajari." Razoes melipat tangan di depan dadanya. "Jadi, mulai hari ini, kalian akan naik ke level berikutnya." Deul menaikkan alis. "Maksud Daddy?" Razoes menyeringai kecil. "Buka kotaknya." Tanpa banyak basa-basi, Amore dan saudara-saudaranya membuka kotak masing-masing. Begi
Althalan menarik napas dalam, menggerakkan bahunya yang sedikit pegal akibat pertarungan tadi. Malam ini seharusnya dia hanya ingin fokus mencari informasi tentang organisasi Rafael, tapi justru bertemu dengan Maverick yang memaksanya bertarung tanpa rencana. Mesin motor sport barunya meraung pelan saat dia menarik gas, bersiap meninggalkan tempat itu. Namun, sebelum dia benar-benar pergi, suara batuk kasar terdengar dari belakangnya. "Hah… Lo pikir gue bakal tumbang cuma segini aja, hah?" Althalan melirik dari spion. Maverick masih berdiri, meski tubuhnya penuh luka dan darah menetes dari sudut bibirnya. Matanya masih dipenuhi api perlawanan, tidak menunjukkan tanda-tanda menyerah. "Heh, lo masih bisa berdiri?" Althalan mendecakkan lidah, memutar gas motornya sedikit. Maverick menyeringai, lalu meludah ke tanah. "Lo pikir gue bakal kalah semudah itu?" Suaranya parau, tapi tekadnya masih membara. "Gue janji akan ngalahin lo, dan gue nggak akan berhenti sebelum itu terjadi!" Alth
Langit sore mulai meredup saat Althalan berjalan keluar dari apartemennya. Jaket kulit hitam yang membalut tubuhnya sedikit berkibar tertiup angin. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan mulai menelusuri jalanan kota yang dipenuhi kendaraan yang lalu-lalang. Tidak ada misi hari ini. Tidak ada pertempuran, tidak ada darah. Hanya hari biasa yang terasa asing baginya. Althalan menatap ke langit. Entah kenapa, akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi dengan sesuatu yang tidak ia mengerti. Sebuah ingatan samar yang terus muncul, seolah ada sesuatu yang ingin dia ingat. Saat melintasi sebuah pertokoan, pandangannya tertuju pada satu tempat—sebuah dealer motor mewah. "Motor..." gumamnya pelan. Langkahnya terhenti di depan kaca besar yang memajang berbagai jenis motor sport dengan desain futuristik dan kecepatan yang menggoda. Salah satu yang menarik perhatiannya adalah sebuah motor dengan bodi hitam mengkilap, aksen merah tua di sisi bodinya membuatnya terlihat garang dan memat
Gudang itu berdiri di ujung dermaga, lampunya redup, dan di sekitarnya ada beberapa truk kontainer yang diparkir berjejer. Suara deburan ombak samar-samar terdengar di kejauhan. Althalan berdiri di balik bayangan sebuah kontainer besar, matanya tajam menatap ke arah gudang. Dia sudah menghitung jumlah musuh dari kejauhan—sebelas orang berjaga di luar, beberapa memegang senjata laras panjang, dan sisanya membawa pistol. "Transaksi ini bernilai lebih dari lima ratus juta... masuk akal kalau mereka mengamankan tempat ini mati-matian," pikirnya. Dia tidak peduli siapa mereka. Yang dia pedulikan hanya misinya: ambil senjata, habisi semua orang yang ada di sini. Althalan menarik napas dalam. Lalu, dia bergerak. Tubuhnya melesat cepat seperti bayangan, tanpa suara, hanya langkah-langkah ringan yang hampir tak terdengar di atas aspal basah. Dia mendekati penjaga pertama yang sedang merokok di dekat kontainer. Tanpa ragu, dia menyergap dari belakang, tangan kirinya membungkam mulut pria i
Semuanya terjadi dalam sekejap. Satu detik yang lalu, geng Galaksi masih berdiri dengan percaya diri, merasa jumlah mereka cukup untuk menghancurkan siapa pun. Tapi detik berikutnya… dunia berubah. Tulang patah, daging terkoyak, dan jeritan kesakitan mengisi udara. Althalan tidak bisa berkata apa-apa. Matanya hanya terpaku pada sosok di depannya. Amore. Cewek itu bergerak lebih cepat dari yang bisa ditangkap oleh mata manusia biasa. Satu pukulan—hanya satu—dan tubuh salah satu anak buah Galaksi terpental seperti boneka kain, menabrak tembok dengan bunyi keras. "A-Apa...?" Galaksi mundur selangkah, matanya membelalak saat melihat rekannya mengerang di tanah dengan lengan yang patah ke arah yang tidak seharusnya. Tapi Amore belum selesai.Dia menghilang. Menghilang!!. Atau setidaknya, begitulah yang terlihat di mata mereka. Tapi bagi Althalan, dia masih bisa menangkap gerakan Amore—cewek itu bergerak dengan efisiensi yang mengerikan. Satu tendangan ke lutut, dan seorang pria jatuh s