Undangan yang Membuka Luka
Hujan masih turun deras di luar jendela. Langit malam tertutup awan kelabu, sesekali disambar kilatan petir yang menerangi kamar kos Dinda dalam cahaya putih yang menyayat. Bau tanah basah menyusup dari sela kisi jendela, menyatu dengan keheningan yang menekan dada.
Ponselnya tergeletak di meja, bergetar pelan untuk kesekian kalinya. Layar menyala menampilkan nama yang tak asing — meski kini terasa asing di hatinya: Arsen.
Pesan terakhir belum ia buka, tapi Dinda tak butuh membacanya untuk tahu apa isinya. Ia bisa menebak, kata-kata permohonan, penyesalan, dan mungkin… perpisahan. Ia mengambil ponsel itu, membuka pesan dengan jari yang sempat ragu.
“Dinda… aku mohon, sekali aja ketemu. Aku cuma pengen bilang sesuatu, habis itu aku nggak bakal ganggu kamu lagi. Tempat kita dulu. Jam 8 malam.”
Dinda memejamkan mata. Nafasnya berat. Kenapa permintaan sekecil itu terasa begitu rumit? Bukankah seharusnya semuanya sudah selesai kemarin, saat tubuh Alya dimakamkan