Hujan turun sejak fajar. Langit kelabu tak menunjukkan jeda, seakan langit pun ikut berkabung atas luka-luka yang tak terlihat oleh mata. Di balik jendela kamarnya yang berembun, Dinda berdiri mematung. Tangannya menggenggam secangkir teh hangat yang sudah kehilangan uapnya. Pandangannya kosong, menembus tirai hujan yang jatuh perlahan. Di balik pintu kamar, tergantung payung biru tua — robek di sisi kanan, kusam, namun menyimpan terlalu banyak kenangan yang enggan dilupakan.
Kenangan yang datang tanpa diundang. Luka yang selama ini dia bungkus rapi, kini mulai meronta dari balik perban keikhlasan. ⸻ Kabar dari Masa Lalu Suara getar ponsel di atas meja membuyarkan keheningan. Dinda menoleh pelan. Nama yang tertera di layar membuatnya mengerutkan kening. Edo - Kakak Alya. Dia tak menyangka nama itu akan muncul lagi dalam hidupnya. Dunia seakan berhenti sejenak. Jantungnya berdetak pelan, namun berat. Antara ingin tahu dan ingin menghindar. Tapi jarinya bergerak juga, menyentuh ikon hijau. “Hallo?” “Din?” suara Edo di seberang terdengar serak. Lelah. Berat. “Ini Edo…” “Iya, Mas. Ada apa?” Dinda duduk di pinggir ranjang, mencoba menstabilkan napasnya. Hening sesaat. Lalu suara itu terdengar lagi, lebih pelan. “Alya… dia sakit, Din. Udah seminggu dirawat di rumah sakit. Kemarin dia sempat nyebut nama kamu.” Seakan ada yang memukul dada Dinda dari dalam. “Dia kenapa?” “Kanker hati. Stadium empat. Dokter bilang… udah gak banyak waktu.” Dunia Dinda runtuh dalam diam. Hujan di luar terdengar seperti suara detik jam yang menjerit. “Mas…” suaranya tercekat. “Aku… aku gak tahu harus gimana.” “Dia cuma minta satu hal. Ketemu kamu. Dia bilang, dia pengen minta maaf. Itu aja.” Kata-kata itu menusuk seperti pisau berkarat. Dinda memejamkan mata. Luka lama yang belum kering, kini dipaksa terbuka lagi. “Aku pikir dulu, ya, Mas.” “Iya. Tapi sebaiknya jangan lama-lama, Din.” Sambungan terputus. Dinda meletakkan ponsel di pangkuannya. Di sudut matanya, air mata menggantung—tak jatuh, tak menguap. Diam. Payung biru itu, yang dulu selalu menemaninya dan Arsen menembus hujan, kini hanya menjadi saksi betapa payahnya cinta yang dipertahankan sendirian. ⸻ Satu Pesan Terakhir Di sebuah kafe yang sepi, Arsen duduk menatap secangkir kopi yang sudah dingin. Uapnya hilang. Sama seperti semangat hidupnya sejak Dinda benar-benar pergi. Ia baru saja menerima kabar dari Edo. Tentang Alya. Tentang permintaan terakhirnya. Arsen tahu betul, kalau ini adalah kesempatan terakhir untuk memperbaiki sesuatu—meskipun bukan dengan dirinya, mungkin setidaknya lewat maaf Dinda. Tangannya bergetar saat mengetik pesan: “Din… aku tahu aku gak pantas ganggu kamu. Tapi, Alya sakit parah. Dia pengen ketemu kamu. Demi kebaikan semua, aku mohon… sekali aja.” Ia menatap layar. Dikirim. Tapi tidak ada balasan. Arsen memejamkan mata. Udara seperti berhenti di dadanya. Ia tahu Dinda membencinya. Dan dia pantas dibenci. Beberapa jam kemudian, ponselnya berdering. Dinda. Tanpa pikir panjang, Arsen mengangkat. “Din?” “Aku ke rumah sakit,” ucap Dinda datar. “Tapi aku gak datang buat kamu. Aku datang karena Alya.” Arsen terdiam. Lalu mengangguk meski tak terlihat. “Makasih, Din. Aku…” “Udah, Sen. Jangan banyak ngomong. Aku datang bukan buat ngungkit apa-apa.” Klik. Telepon diputus. Arsen menggenggam ponselnya erat-erat. Sesak. Tapi dalam hatinya yang berantakan, ada sedikit rasa lega. Setidaknya… Dinda masih cukup manusiawi untuk tidak menutup mata terhadap penderitaan Alya. ⸻ Pertemuan Terakhir Langit belum berubah. Kelabu dan tak bersahabat. Rumah Sakit Siloam, sore itu, sunyi seperti tak ingin mengganggu luka yang tak bisa dilihat oleh stetoskop mana pun. Dinda berdiri di depan pintu ruang rawat inap nomor 306. Dari balik kaca, ia melihat sosok Alya — sangat kurus, pucat, dan seperti bayangan dari perempuan yang dulu begitu percaya diri. Langkah Dinda berat saat mendorong pintu. Alya menoleh, senyumnya lemah. “Dinda…” Dinda menggenggam ujung jaketnya erat-erat. “Aku di sini.” Alya mencoba duduk, tapi tubuhnya tak mampu. Suaranya nyaris tak terdengar. “Gue… nyakitin lo.” Dinda duduk di kursi di sisi ranjang. Matanya nanar menatap perempuan yang dulu pernah merebut segalanya. “Alya, gak usah banyak ngomong.” “Gue mesti ngomong, Din. Sebelum gue gak bisa lagi.” Dinda menggigit bibirnya. “Aku maafin kamu, Alya.” Alya menutup mata, lalu menangis. Tubuhnya kecil, kurus, namun air matanya jatuh seperti beban bertahun-tahun yang akhirnya runtuh. “Gue nyesel… Gue nyesel banget.” Dinda menggenggam tangan Alya yang dingin. “Kita semua pernah salah.” Arsen berdiri di depan pintu, menyaksikan semuanya. Tubuhnya kaku, matanya berkaca. Ia tak berani masuk. Tak tahu harus berdiri di sisi siapa. Mungkin… tak layak berdiri di sisi siapa pun. Alya menatap Arsen dari tempat tidur. “Sen… makasih ya, pernah sayang sama gue. Tapi sekarang, gue titip Dinda.” Arsen tak mampu berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk, pelan, penuh penyesalan. “Alya…” suara Dinda bergetar, “kita semua pernah jadi orang jahat untuk orang lain. Tapi sekarang… kita cuma perempuan yang sama-sama punya luka.” Alya tersenyum tipis. “Gue… tenang sekarang.” Dan Dinda memeluk Alya. Tangisan mereka membaur dalam diam, dalam rintik hujan yang terus turun tanpa jeda. ⸻ Dan Esoknya Langit pagi tak berubah. Masih kelabu. Masih diguyur hujan. Tapi kamar nomor 306 tak lagi ditempati oleh Alya. Dia telah pergi dalam tidur. Tenang. Tak lagi menangis. Dan mungkin, untuk pertama kalinya, luka itu tak hilang — tapi tak lagi menyangkal keberadaannya.Sendiri di Tengah KeramaianDinda berdiri di depan taman kota yang letaknya tak jauh dari museum seni di Jakarta Pusat. Suara bising kendaraan dan hiruk pikuk orang-orang yang berlalu-lalang menjadi latar belakang yang kontras dengan isi hatinya yang sunyi.Ia duduk di bangku taman, membawa termos kecil berisi teh hangat dan buku catatan yang biasa ia tulisi sejak beberapa bulan terakhir. Halaman-halamannya berisi goresan-goresan rindu, amarah, pengampunan, dan luka yang tak sempat diceritakan ke siapa-siapa.Sore itu, Dinda tidak ingin kabur dari rasa. Ia ingin menatap semuanya, satu per satu, termasuk luka yang masih menganga.Ia membuka halaman terakhir di buku catatannya dan mulai menulis:“Hari ini, aku kembali ke tempat yang aku hindari. Bukan karena ingin mengingatmu, tapi karena aku ingin mengingat siapa diriku sebelum semuanya berakhir.”“Ternyata, aku pernah begitu mencintai seseorang sampai lupa mencintai diri sendiri. Dan hari ini, aku mencoba menemukanku lagi.”Air matany
Langkah Baru yang Ragu Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat Dinda melangkah ke kantor. Wajahnya terlihat tenang, tapi langkahnya masih membawa jejak kehati-hatian. Setiap orang yang menyapanya ia balas dengan senyuman tipis, dengan sopan. Di dalam lift, ia sempat menatap pantulan wajahnya di dinding logam. Ada kantung mata yang belum sempat tertutupi concealer, dan ada sorot sendu yang belum benar-benar pergi. Tapi di balik itu, ada satu hal yang berbeda: ia tak lagi sembunyi dari dirinya sendiri. Hari itu, Dinda mulai mengerjakan proposal baru yang diberikan oleh atasannya. Tangannya bergerak lambat di atas keyboard, tapi otaknya berusaha tetap fokus. Satu demi satu, rutinitas mulai dijalani kembali. Setidaknya, hari ini ia tak ingin hanya duduk di pantry, diam, dan menangisi masa lalu yang sudah tak bisa dijangkau. Saat makan siang, Rayhan datang menghampiri meja kerjanya. “Din, makan bareng, yuk?” Dinda menoleh, sedikit tersenyum. “Kantin aja, ya? Aku lagi ngg
Perpisahan Tanpa UcapanDinda masih duduk mematung di pojok pantry kantor. Cangkir kopi di tangannya sudah tak lagi hangat, tapi tak ada niat untuk menyesapnya. Di luar kaca jendela kecil, matahari bersinar terik menyorot gedung-gedung tinggi Jakarta, tapi tak satu pun dari itu bisa menghangatkan dada yang sedang kosong.Pikirannya masih tertahan di lorong rumah sakit beberapa malam lalu. Bau disinfektan, lampu redup, dan suara mesin monitor yang monoton… semuanya masih membekas seperti ukiran di dinding kenangan.Saat itu, ia berpikir perpisahan sudah usai. Bahwa dengan mengucapkan “selamat tinggal”, semuanya akan lebih mudah. Tapi ternyata tidak. Tidak saat kabar duka datang, tiba-tiba dan mengguncang tanpa aba-aba.Langkah kaki perlahan mendekat, membawa suara familiar yang terasa seperti penyeimbang di tengah badai.“Din…” suara Rayhan lembut, nyaris seperti bisikan.Dinda hanya menoleh sekilas. Tak ada kata, hanya lirih gerakan kepala. Rayhan duduk di kursi seberangnya tanpa bany
Langit Jakarta masih berwarna kelabu ketika Dinda turun dari bus yang membawanya kembali dari Semarang. Jejak hujan semalam masih melekat di aspal, memantulkan bias cahaya lampu kendaraan yang berlalu-lalang. Suara klakson, desah angin, dan aroma khas pagi kota menyambutnya dalam keheningan batin.Ia berdiri di pinggir jalan terminal, menunggu taksi online dengan ransel tergantung di bahu. Tangannya menggenggam ponsel, bergetar pelan oleh notifikasi yang masuk satu demi satu. Ada ucapan selamat pagi dari rekan kerja, dua pesan dari Rayhan yang menanyakan kabarnya… dan satu pesan dari nomor asing yang membuat langkahnya seketika tertahan.“Terima kasih sudah datang, Din. Maaf untuk segalanya. — Ibu Dita”Dinda menatap pesan itu lama. Bibirnya bergerak, namun tak satu kata pun terucap. Dadanya sesak, tapi juga lapang dalam waktu yang bersamaan. Ada perasaan aneh yang tak bisa dijelaskan—seperti membuka jendela setelah sekian lama terkurung dalam ruangan pengap. Udara masuk, meski masih
Bus malam melaju perlahan di atas aspal yang licin, meninggalkan jejak cahaya dan suara roda yang mendesis oleh air hujan. Dinda menatap kosong ke luar jendela. Butiran air mengalir membentuk pola tak tentu di kaca, seolah menggambarkan pikirannya yang sama-sama kusut dan tak jelas arah.Ponselnya masih tergenggam di tangan, layar menyala memunculkan satu notifikasi:“Kondisi pasien atas nama Arsen Wibowo masih kritis. Mohon keluarga segera hadir untuk keputusan medis lanjutan.”Tangannya gemetar. Pesan itu seperti tamparan lain yang datang di antara gelombang rasa yang belum juga reda. Dinda memejamkan mata, mencoba menahan napas panjang yang beratnya tak bisa diukur.Benar nggak sih aku ke sini? Apa aku nggak terlalu bodoh datang buat seseorang yang dulu pergi tanpa menoleh?Namun suara lain di dalam hatinya tak membiarkan ia lari.“Dia pernah jadi rumahmu, Din. Dan rumah yang hancur pun kadang tetap perlu kau tengok… untuk benar-benar bisa pergi.”Ia menunduk, menatap jemarinya yan
Sudah dua minggu sejak malam ketika Dinda mengatakan “selamat tinggal” pada suara yang pernah ia sebut rumah. Semua sudah ia bersihkan — pesan, foto, video, bahkan rekaman suara yang dulu begitu ia peluk dalam sepi. Ia kira, jika semua itu dihapus, maka lukanya pun akan ikut lenyap. Tapi luka tak hidup di memori digital. Luka tinggal di tempat paling dalam yaitu dada.Di kantor, Dinda tampak lebih sibuk dari sebelumnya. Proposal baru datang beruntun, revisi bertubi-tubi, dan jam lembur makin sering dijalani. Rayhan, seperti biasa, setia untuk hadir. Kadang membawakan kopi tanpa diminta, kadang diam menunggu di lobi kantor hanya untuk memastikan Dinda pulang dengan senyuman.Hubungan mereka belum punya label, belum ada pengakuan resmi. Tapi semua orang tahu: Rayhan lebih dari sekedar teman kantor. Terlalu jelas caranya menatap Dinda, terlalu lembut caranya memperlakukan setiap luka yang belum sembuh.Dan justru ketika semuanya mulai terasa tertata… hidup kembali mengetuk luka lama yang