Keinginanku untuk tahu kabar tentang Aslan, lelaki yang dulu selalu kuanggap musuh, perlahan terkalahkan oleh satu hal: hasrat besar untuk melindungi putraku, Haikal. Anak itu bukan sekadar darah dagingku—dia adalah hidupku. Napasku. Detak jantung yang terus bergema dalam sunyi, bahkan di udara setinggi ini, di ketinggian ribuan kaki, saat awan-awan menghampar seperti kapas putih di luar jendela kecil pesawat.
Aku sadar, Haikal juga darah daging Aslan. Tapi jika dia, atau keluarganya, berniat merebut Haikal dariku… jangan harap aku akan diam.
Di dalam kabin yang mulai lengang, lampu remang-remang menggantung di langit-langit, seperti bintang kecil yang berusaha memecah pekatnya malam. Di sela deru mesin pesawat yang monoton, aku melirik ke arah Aslan, yang masih duduk di sampingku, tatapannya tenang, namun penuh teka-teki.
Aku menghembuskan napas perlahan, mencoba menekan kecemasan yang berjejal di dada.
“Aku ingin tidur… boleh aku lanjutkan tidurnya?” tanyaku datar, sambil menekan pe