jangan lupa berikan dukungannya ya kakak, like, komen dan berikan gem juga teriamakasih
Paris, PrancisPagi setelah Paris Fashion WeekUdara pagi Paris masih basah oleh sisa embun semalam. Langit keabu-abuan menggantung rendah, seperti enggan melepaskan gelap yang masih tersisa. Di kejauhan, menara Eiffel berdiri megah, siluetnya samar dibalut kabut tipis.Aku berjalan pelan di lorong apartemen tempat kami menginap, mengetuk pintu kamar Melisa dan dua wanita lainnya. Matahari bahkan belum menampakkan sinarnya sepenuhnya, tapi aku sudah memaksa diri bangun lebih cepat.Mataku berat, kelopaknya seperti diselimuti pasir. Beberapa hari terakhir, aku tidur hanya sekilas, itu pun lebih mirip terlelap singkat di tengah kecemasan. Terlalu banyak yang berseliweran di kepalaku. Terlalu banyak rasa takut yang belum sempat kuhadapi.Tapi satu hal mengusir semua rasa lelah itu.Mas Panji.Bayangan wajahnya, tatapan terakhirnya di deretan belakang venue semalam, terus terpatri di benakku. Senyumnya yang menenangkan, jempolnya yang terangkat… aku takut, sangat takut jika semalam adalah
Para model profesional bertubuh tinggi menjulang dengan tubuh nyaris sempurna itu melenggak-lenggok anggun di atas catwalk. Mereka memakai karya para desainer dunia, seakan pakaian-pakaian itu hanya diciptakan untuk mereka saja—pas, hidup, dan memesona.Pembukaan malam itu benar-benar memukau. Dimulai dari koleksi salah satu brand fashion paling legendaris di dunia—Dior. Nama yang diambil dari pendirinya, Christian Dior, seorang desainer ikonik asal Prancis. Kini, butik-butik Dior telah tersebar di seluruh penjuru dunia, dan malam ini, karyanya membuka gelaran prestisius ini.Setiap rancangannya membuat mata para tamu terpana. Gaun demi gaun memeluk tubuh para model dengan sempurna. Puluhan desain mereka tampil memukau seperti parade keindahan yang tak berkesudahan.“Wow…” gumamku kagum, tak bisa menahan diri saat melihat para wanita tinggi semampai itu—rata-rata tingginya 172 cm—melenggang penuh percaya diri, membawakan koleksi istimewa dari rumah mode ternama.Degup jantungku mulai
Paris, PrancisPukul 08:00 Waktu ParisPagi di kota Paris biasanya menghadirkan aroma roti hangat, suara burung camar, dan desir angin yang membelai dedaunan di sepanjang Champs-Élysées. Tapi entah kenapa, pagi ini… udara Paris terasa menyesakkan. Seolah kota ini ikut menanggung beban di dadaku.Jarum jam menunjuk angka delapan. Di luar jendela apartemen sewaan kami, langit kelabu menutupi keindahan Menara Eiffel yang biasanya menjulang megah di kejauhan. Embun masih melekat di kaca jendela, dan suara klakson samar terdengar dari jalanan.Aku mondar-mandir di dalam ruangan yang sejak kemarin berubah menjadi ‘markas besar’ persiapan show-ku. Sudah entah berapa kali aku memeriksa koleksi busana hasil rancanganku, menyentuh setiap jahitan, mengamati setiap detail motif.Telapak tanganku dingin, nyaris membeku. Perutku seolah dipenuhi kupu-kupu liar yang berterbangan tanpa kendali. Jantungku berdebar, bukan karena cinta, tapi karena gugup yang menari-nari seperti bayangan kelam di pikiran
“Besok pagi-pagi kita pergi, sekalian olahraga. Nggak jauh dari sini kok. Malamnya baru acara pertunjukan Fashion Show-nya, kamu masih punya waktu untuk bersantai. Biar otak kamu juga refreshing sedikit,” ujar Melisa sambil menyeruput kopi hangatnya di balkon apartemen.Jam dua belas malam di Paris—waktu ketika kota ini bersinar dan bernafas dalam sunyi—berarti sudah jam delapan pagi di Jakarta. Perbedaan waktu delapan jam yang awalnya membuatku bingung, kini malah kupikirkan matang-matang. Waktu yang pas untuk menelepon Ayah dan Zio. Rasa rindu menggumpal di dada, aku memilih video call agar bisa melihat wajah mereka.“Halo, San! Kamu lagi di mana toh, Neng? Kok gelap banget,” ucap Ayah tampak kebingungan.“Di balkon apartemen Melisa, Yah. Di sini malam, di sana kan pagi. Kita beda waktu delapan jam. Ayah sehat-sehat saja, kan?”Aku mengarahkan kamera ke lampu supaya Ayah bisa melihat wajahku lebih jelas. Suara di ujung sana terdengar lebih pelan, tapi kurasakan ada keresahan dalam na
Malam itu, aku dan Panji masih duduk berdua di ruang tamu apartemen kecil yang menghadap langsung ke gemerlap malam Paris. Di luar sana, kota cahaya tetap hidup, seolah tak pernah mengenal lelah. Kilau lampu jalanan dan nyala Menara Eiffel yang megah terlihat dari balik jendela kaca besar, membingkai pemandangan yang selalu menjadi impian banyak orang.Namun, di dalam ruangan ini, waktu seakan berhenti. Lampu temaram memantulkan bayang-bayang sendu di dinding putih apartemen, seperti lukisan luka lama yang tak pernah selesai."Sany, tolong... jangan membenciku. Maafkan aku," ucap Panji pelan, nadanya dalam, nyaris bergetar. Seperti ada sesuatu yang selama ini ia pendam terlalu lama, menumpuk seperti kabut di dada.Aku menarik napas, menatap matanya yang terlihat rapuh, seperti kaca yang siap retak. "Aku sudah melupakan Mas. Saat ini, aku hanya berusaha menjalani kehidupan yang lebih baik. Mas juga tahu kan, aku dan Aslan masih berstatus suami istri, walau... hanya status."Panji menga
Mendengar Mas Panji menyusulku sampai ke Paris membuat kepalaku makin pening. Entah kenapa, para pria dalam hidupku seakan tak mau melepaskanku begitu saja.“Apa yang harus aku lakukan sekarang...” gumamku lirih, sambil memegang batang leher yang tiba-tiba terasa kaku dan nyeri.“Gini aja deh, daripada kamu makin pusing, kalau lelaki bernama Panji itu tetap bersikeras ingin bertemu, suruh saja dia datang ke sini,” saran Melisa, suaranya tenang, seperti biasa.“Tapi ini—”“Tenang, Sany. Tidak akan terjadi apa-apa. Aku ada di sini. Dua orang yang akan jadi asistenmu juga akan tinggal di sini sampai acara fashion show selesai. Jadi tidak akan ada yang berpikir macam-macam,” ujarnya meyakinkan.Melisa, wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu, memang seperti Mbah G****e. Selalu saja punya jawaban atas segala hal.“Baiklah… tapi kamu yakin Aslan tadi tidak mengenalimu?” tanyaku cemas.“Dari ribuan manusia berpakaian jubah putih di aula besar itu, aku yakin suamimu tak akan mengenaliku,”