Di satu titik lorong yang membelah dua jalur, mereka berhenti.
Sua memejamkan mata sejenak, lalu menoleh pada Rai.
“Sesuatu menarik energiku ke arah kanan. Tapi jalan itu lebih sempit.”
Rai mendekat. “Kalau terlalu sempit untuk dua orang—kau di depan. Aku tepat di belakangmu.”
“Jangan terlalu dekat. Kalau aku jatuh—”
“Kalau kau jatuh,” potong Rai cepat, “aku ikut jatuh.”
Sua mendengus kecil, tak bisa menyembunyikan senyumnya meski lelah mulai menjalar.
Mereka bergerak menyusuri celah batu sempit yang seakan dibuat hanya untuk dilalui satu tubuh. Suara air menetes dari dinding, dan jauh di bawah, terdengar gema … seperti napas besar dari makhluk purba.
Langkah mereka membawa mereka pada satu balkon batu, semacam tepian altar, dan di bawahnya, terhampar aula besar berbentuk oval. Cahaya ungu dan merah menari dari puluhan lentera ritual.
Rongronghai.
Jantung Hitam.
Sua menahan napas. Tangan Rai secara otomatis menyentuh pundaknya, menstabilkan posisinya.
“Ada altar utama di sana,” bisik