“Wah, wah, wah …” Aurel bertepuk tangan dengan Bahagia, “Kakakku kelihatannya sudah tidak punya pilihan lagi, apakah beban hidupmu sudah terlalu tinggi? Oh iya, aku lupa kamu bahkan sedang mencari biaya untuk pengobatan kakakmu yang sinting itu, hingga kamu buru-buru menikahi laki-laki duda ini.”
“Dan ini, anaknya kan? Apakah kamu tidak perlu meminta restu kepada mama dan papa? Sudah pergi meninggalkan rumah, bahkan sekarang menikahpun tanpa meminta restu. Sungguh anak yang durhaka!” teriak Aurel.
Varen yang menggandeng tangan Aerin, lalu melangkahkan kakinya pergi. Dia malas meladeni ucapan gadis ingusan yang sombong seperti Aurel.
“Sombong sekali suamimu, apakah dia tidak perlu menyapa adik iparnya. Dia pikir dia siapa, untung saja tampan kalau tidak aku sudah seret dia untuk melihat wajahku.” Aurel mendengus kesal akan sikap Varen.
“Aku