Satu jam setelah presentasi, Kirana duduk di meja kerjanya sambil mengetuk-ngetukkan pulpen ke clipboard. Layar laptop menyala, tapi fokusnya entah ke mana.
Slide presentasi Ares tadi masih terbayang jelas di kepalanya.
Data rapi. Insight tajam. Komunikatif. Bahkan cara menyampaikan idenya bisa bikin orang yang paling skeptis sekalipun... tertarik.
Dan Kirana paling sulit mengakui satu hal:
Dia sudah salah menilai Ares dari awal.
Dia pikir cowok itu cuma titipan—anak komisaris yang diselipkan ke perusahaan sebagai formalitas. Modal tampang, gaya sok santai, dan sikap sok asik yang bikin dia ilfeel dari awal.
Ternyata?
Ares bukan cuma ngerti kerjaan. Dia lebih dari cukup. untuk melihat celah dan mengkomunikasikannya dengan benar dan menarik.
Kirana menghela napas panjang. Cuma memang kekurangannya cuma satu, sikap dan tindakan dia yang terus menerus sok akrab dan mencoba friendly.
Seolah menjawab pikirannya, suara khas itu muncul di balik sekat meja.
“Bu Manager cantik... boleh ngajak ngobrol bentar?”
Kirana menoleh pelan. “Kamu kenapa sih, nggak bisa manggil saya dengan panggilan yang normal?”
Ares mendekat sambil membawa dua gelas kopi dari pantry.
“Karena manggil kamu ‘Bu Kirana’ tuh kesannya tuh kayak manggil dosen killer gitu,” katanya sambil menyodorkan kopi yang telah dibawanya.
Kirana ragu sejenak, tapi akhirnya menerima. “Thanks.”
Ares duduk di meja seberang. “Tadi presentasinya oke banget. Lo keren banget waktu buka sesi.”
Ares berkata jujur bukan untuk mengambil hati Kirana, tapi kalimat itu memang murni dari hasil pemikirannya melihat Kirana pertama kali presentasi tadi. Hal yang dia jarang temukan di perempuan lain adalah sudut pandang yang jelas dan tidak terlalu banyak mengandung perasaan. Karena biasanya perempuan dalam segi manapun pasti ada sisi yang terlalu perasa, bukan berarti tidak baik namun dalam sisi pekerjaan membuat kita kadang tidak objektif dalam menilai suatu hal.
Kirana melirik. “Kamu juga bagus... cukup... surprisingly.”
Ares tertawa. “Surprisingly?”
“Ya. Nggak nyangka aja kamu bisa segitu siapnya,” kata Kirana pelan, menyesap kopinya.
Ares tersenyum santai. “Lo pikir gue cuma modal tampang doang,terus otaknya kosong ya?”
Kirana tak menjawab. Tapi ekspresinya menarik ujung bibirnya keats dengan sinis cukup menjelaskan semuanya.
Ares menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Gue ngerti kok, lo pasti banyak liat orang ‘titipan’ yang nggak becus. Tapi gue beda, Kir.”
“Ki..ra...na,” potongnya cepat.
“Fine. Ki..ra..na,” ujar Ares. “Gue kerja keras kok, dan kalau lo kasih kesempatan, gue bakal buktiin gue bisa jadi tandem yang lo butuhin buat setiap project.”
Kirana menatap lurus ke arah Ares. Matanya tidak sekeras biasanya, tapi tetap terjaga.
“Gue nggak butuh tandem dan gak butuh janji-janji lo itu. Gue cuma butuh bawahan yang bisa diajak kerja.”
Ares tersenyum kecil. “yah.. kayak gitu mah sama aja. Tapi ya udah lahh. Gue ngerti... lo tipe yang susah percaya orang.”
Kirana diam. Kalimat itu... tepat.
“Gue pernah salah percaya orang, Ares. ditambah predikat titipan biasanya emang gak beres smua. Jadi ya.... begitulah,” katanya akhirnya.
Ares mengangguk pelan, tak bertanya lebih jauh. Suasana di antara mereka mendadak tenang. Tapi dalam hati Ares, ada sesuatu yang mulai terbentuk: simpati.
Dan di hati Kirana...
Ada rasa malu yang samar. Karena ternyata, bukan Ares yang tidak layak.
Tapi dia—yang terlalu cepat menghakimi dan menilai diawal.