Ares Mahendra. putra tunggal Komisaris Utama di perusahaan teknologi ternama MahendraTech, memilih hidup di balik bayang-bayang nama besar ayahnya. Menyamar sebagai asisten manajer di departemen strategi, Ares ingin membuktikan bahwa ia mampu berdiri di atas kaki sendiri. Di balik wajah tampan dan sikap santainya, Ares dikenal di kalangan elit dunia malam—minuman, musik, dan lampu temaram adalah sahabat lamanya. Tapi ada satu prinsip yang selalu ia pegang: tidak akan menyentuh hal yang suci sebelum waktunya halal. Di sisi lain ada Kirana Larasati, manajer muda cerdas yang kalem di kantor, perfeksionis, dan selalu tampil tenang. Namun di luar kantor, Kirana adalah pribadi yang menyukai kebebasan—suka dugem, mengendarai motor besar, dan menikmati hidup tanpa peduli omongan orang. Meski begitu, ia punya batasan moral yang kuat. Ia bisa nakal, tapi tidak murahan. Ia masih perawan, dan berprinsip bahwa dirinya hanya akan menyerahkan semuanya pada pria yang benar-benar menghargainya. Ketika keduanya dipertemukan dalam dinamika kantor sebagai atasan dan bawahan, gesekan terjadi. Tapi seiring waktu, mereka justru menemukan ketertarikan satu sama lain. Rahasia demi rahasia terkuak—tentang siapa Ares sebenarnya, dan sisi gelap yang tak diketahui siapa pun tentang Kirana. Di antara ambisi, ego, dan dunia yang mereka sembunyikan, benarkah cinta bisa tumbuh tanpa syarat?
View MoreSenin 08:30
Pagi ini seharusnya berjalan biasa. Kirana sudah tiba di kantor jam delapan kurang lima, seperti biasa. Dengan kopi hitam tanpa gula di tangan, blazer rapih, dan rambut digerai sebahu. Dia tipe perempuan yang tak pernah datang terlambat, bahkan saat hujan badai. Tapi hari ini… mood-nya rusak. Bukan karena tumpukan pekerjaan. Tapi karena HR baru saja mengirim email—mengabarkan bahwa ia akan kedatangan asisten manajer baru. Kirana menghela napas panjang. Kenapa baru dikabarin sekarang sih? Apalagi yang dia tahu anak baru ini adalah anak komisaris perusahaan. Tentu saja Kirana keberatan jika ada timnya yang malah hanya menjadi beban bagi divisi. Ia baru saja akan mengangkat cangkir kopinya saat pintu ruangannya diketuk. Tok tok tok. "Permisi bu Manager " ucap Ares “Masuk,” sahutnya singkat, sambil tetap menatap layar laptop. Pintu terbuka pelan. Dan saat suara itu terdengar, Kirana langsung menoleh. “Pagi, Bu Manager. Saya Ares Mahadewa, asisten manajer yang katanya ditugaskan bantuin Mbak. Eh, I mean... Bu Kirana.” Kirana menatapnya. Dalam. Lama. Pria itu berdiri santai di ambang pintu, dengan kemeja putih yang digulung hingga siku, dasi longgar, rambut acak-acakan yang entah kenapa justru tampak stylish, dan... senyum sarkastik. Senyum orang yang tahu dia ganteng dan bangga karenanya.Semakin banyak poin minusnya dimata Kirana. Kirana meletakkan kopinya dengan pelan. “Silakan duduk,” ucapnya datar. Ares masuk, duduk tanpa canggung, bahkan bersandar santai di kursi seolah itu bukan ruang kerja atasan. Tatapannya tajam, tapi matanya penuh rasa penasaran. “Jadi... saya ini bakal di bawah koordinasi langsung Mbak Kirana, ya?”Mulai Ares. Ares tidak mungkin hanya duduk diam saja menunggu bos baru bicara Kirana menyipitkan mata. “Di kantor ini, kita pakai sapaan formal. Mbak bukan panggilan yang pantas untuk atasan.” Ares mengangguk kecil, bibirnya tersenyum miring. Dalam hati ku kira bisa langsung diperlakukan friendly “Noted, Bu Manager,” katanya, nada suaranya terdengar menggoda. Oke. Cowok ini nyebelin. Ganteng, tapi nyebelin. “Apa latar belakangmu?” tanya Kirana tanpa basa-basi. “Pernah kerja di ArkanaTech cabang Bali selama setahun, sebelum itu sempat magang di luar negeri,” jawab Ares santai. “Jurusan gue—eh, saya—Business Strategy.” Kirana sambil melihat CV Ares yang cukup baik, dimana dia lulus dengan nilai cumlaude. “Kenapa pindah ke Jakarta?” tanya Kirana lagi, masih dengan nada datar. “Bosan. Jakarta lebih ramai. Banyak... hiburan,” jawabnya sambil menatap Kirana lama. Tatapan yang membuat Kirana ingin melempar map ke mukanya. “Kalau kamu datang ke sini untuk cari hiburan, kamu salah tempat,” balas Kirana ketus. Ares tertawa pelan. “Tenang aja, Bu. Saya tahu batas. Di kantor saya kerja. Di luar... ya saya manusia.” Kirana diam. Ada sesuatu dari pria ini yang bikin dia... terganggu. Kalau dilihat sekilas seperti orang yang tidak punya sopan santun Entah caranya bicara, cara duduknya, atau caranya menatap seolah dia bisa membaca pikiran orang. “Kalau kamu mau serius kerja, ikuti ritme tim ini. Nggak ada tempat buat gaya sok-santai,” ujar Kirana, tegas. “Saya nggak suka tim yang kerjanya setengah hati.” Ares menatapnya lama. Lalu angkat tangan, seolah menyerah. “Siap, Bu. Saya ikut aturan mainnya.” Kirana memutar bola matanya diam-diam. Ini baru hari pertama. Dan dia sudah merasa... hari-harinya bakal lebih panjang dari biasanya.Senin, 08.48 – Ruang Divisi Strategy, Mahendra GroupSuasana di ruang kerja pagi ini tenang. Beberapa orang sudah membuka laptop, menyeduh kopi, atau diskusi pelan. Kirana masuk seperti biasa: rambut diikat rapi, blouse putih dan celana hitam dengan potongan tegas, langkah mantap tanpa basa-basi.Ares sudah datang lebih dulu. Dia berdiri ke depan meja Kirana, membawa dua gelas kopi dari kafe langganan kantor.“Good morning, Boss.” ucap Ares santai seperti biasa“Pagi. Udah segar?” jawab Kirana, sekilas menatap Ares.“Segar... tapi agak kurang tidur.”“Salah siapa?”“Mungkin... yang ngajak joget semalam.”“Gue gak ngajak,” Kirana angkat alis.“Tapi juga gak nolak.” jawab Ares dengan nada sedikit becandaKirana hanya tersenyum kecil lalu duduk. Membuka laptopnya tanpa menanggapi lebih jauh. Percakapan selesai di situ. Bukan karena canggung. Tapi karena Kirana tahu persis batasan antara dunia malam dan dunia kerja. Dan sekarang Kirana di setting dalam keadaan kerja. Dan Ares... mulai sad
Minggu, 08.30 – Apartemen KiranaSinar matahari masuk dari celah gorden yang setengah terbuka. Kirana menggeliat di atas kasur, lalu duduk. Rambutnya acak-acakan, mata masih sedikit berat. Tapi tubuhnya terasa tenang.Dia berjalan ke dapur, membuat kopi dengan langkah lambat. Menyalakan musik instrumental seperti biasa. Minggu adalah hari di mana dunia tidak boleh ribut. Termasuk isi kepalanya sendiri.Semalam... bukan pertama kalinya dia berdansa dengan seseorang. Tapi memang jarang ada yang membuatnya diam lebih lama dari dua lagu.Ares...Dia menghela napas, tapi tidak sambil memikirkan terlalu dalam. Ada sebersit rasa penasaran, iya. Tapi tidak cukup kuat untuk membuatnya menunggu kabar. Tidak cukup dalam untuk membuatnya berharap apapun.“Mungkin cuma karena dia tahu mainnya. Cuma itu.”Setelah menyeruput kopi, Kirana mengambil matras yoga. Dia memilih untuk kembali ke zen zone-nya. Fokus pada dirinya sendiri. Seperti biasa. Seperti semua Minggu sebelumnya.Minggu, 10.12 – Apartem
Sabtu, 23.47 – Velvet GigsKirana belum kembali ke mejanya. Dia dan Ares masih berada di area dansa, tapi sudah bergeser ke sisi yang lebih tenang, agak dekat dinding dengan lampu lebih redup. Musik tetap kencang, tapi entah bagaimana... ruang itu terasa berbeda.Mereka sudah tidak banyak bicara sejak lagu ketiga. Tapi bahasa tubuh mereka bicara banyak. Jarak yang tadinya dijaga kini hanya setipis udara. Setiap gerak tubuh serasa mengikuti ritme yang sama, seperti dua orang yang sudah biasa berdansa bersama—padahal belum lama saling bersentuhan dunia.Walaupun perhatian mereka tertuju satu sama lain, namun pesona Kirana memang cukup menganggu sekitar jika hanya di diamkan saja. Sejak tadi Ares melihat lebih dari satu pria, sekitar 4 pria yang memang sengaja mendekat dengan gesture mengoda atau pun sengaja menyenggol.Baru kali ini Ares merasa tidak dilihat dan itu membuat dia cukup geram, apakah orang orang tidak tahu jika Kirana menari dengannya kenapa masih saja mengambil kesempatan
Sabtu, 22.10 – Velvet GigsLampu neon ungu dan merah muda menyapu ruangan yang mulai padat. Musik sudah mengguncang lantai, dan DJ malam ini memainkan set yang familiar. Nada-nada elektronik bercampur groove yang menyenangkan membuat atmosfer cepat panas.Ares masuk dari sisi bar. Hoodie gelap dan celana jeans slim fit membuatnya nyaris tidak mencolok. Tapi niatnya malam ini jelas—dia bukan ke sini untuk menikmati musik.Dia menelusuri kerumunan. Matanya menyapu cepat. Dan… ada dia. Kirana.Berdiri tak jauh dari sisi panggung, bersama dua temannya. Dress putih halus dengan sepatu platform membuatnya terlihat lebih ringan, lebih berpendar di tengah ruangan penuh bayangan.Kirana tidak melihat Ares. Dia sedang tertawa—entah karena apa, tapi wajahnya terlihat lega. Malam ini Kirana ada di elemennya. Tapi Ares tahu, dia tak akan sekadar mengamati dari kejauhan seperti malam-malam sebelumnya.Dia bergerak pelan ke arah bar. Tidak memesan apa-apa—dia hanya menunggu. Menunggu saat Kirana dan
Sabtu, 13.05 – Apartemen Ares Lagu jazz mengalun pelan dari speaker di sudut ruang. Ares duduk di balkon apartemennya, kaos putih dan celana training, laptop terbuka tapi tidak disentuh. Kopi dingin di tangan kiri, sedangkan di pikirannya—ada potongan gerakan dari semalam. Tatapan Kirana. Cara dia bicara dengan tenang saat di bar. Dan jawaban terakhirnya... “Karena lo gak perlu gue hindari.” Kalimat itu berulang-ulang di kepala Ares. Mungkin bisa dimaknai biasa saja. Tapi Ares tahu... itu adalah pintu. “Dia ngasih celah. Sedikit. Tapi jelas.Dia mau tau pilihan gue dari statement yang dia keluarkan. Menarik ” Ares laki laki normal dia tidak mungkin bisa baik baik saja setelah semua gerakan yang dia lihat dari Kirana. Bukan gerakan mengoda tapi jelas memperlihatkan keahlian lain Kirana selain bekerja. Definisi perempuan yang tidak pernah Ares temukan selama ini, handal bekerja atau pun handal menikmati dunia. Kebanyakan perempuan yang Ares kenal akan menjujung tinggi pergaulanny
23.25 – Area BarAres memperhatikan Kirana berjalan perlahan ke bar. Langkahnya tenang, tapi teratur. Dress hitam itu memantulkan sedikit cahaya dari lampu langit-langit, membuat siluet tubuhnya terlihat begitu... tak terbantah.Biasanya, Ares akan melihat Kirana dengan beberapa perempuan lain—kadang tertawa, kadang ngobrol sambil main HP. Tapi malam ini, tidak satu pun dari wajah yang dikenalnya tampak. Sejak tadi Ares memperhatikan dia pikir Kirana datang lebih dulu dari pada teman - temannya yang lain. Namun sudah hampir tengah malam dia tetap sendirian. “Dia datang sendiri?” batin AresAres sempat berdiri dari sofa bar, tapi belum melangkah. Masih memastikan. Matanya masih fokus mengamati dari kejauhan. Tangannya menggenggam gelas berembunnya, tapi tak lagi meminum isinya. Matanya masih ke arah yang sama. Kirana. Beberapa detik kemudian, seorang pria dengan jas tipis mulai mendekati Kirana. Gaya jalannya terlalu percaya diri, dan senyumnya menyiratkan niat lebih dari sekadar bas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments