Aqil berdiri di depan jendela kaca besar ruang kerjanya, menatap langit Jakarta yang mulai memerah menjelang senja. Lalu-lintas di bawah seperti garis-garis tak sabar yang saling menyalip—tak jauh berbeda dari pikirannya sendiri sejak Nabila kembali.
Hamid masuk tanpa suara, meletakkan berkas presentasi untuk rapat hari Jumat.
“Perlu saya siapkan sesi pribadi dengan tim Arzara minggu ini, Pak?” tanyanya hati-hati.
Aqil tak langsung menjawab. Matanya masih lekat ke luar. “Nabila masih sama, ya?”
Hamid diam beberapa detik sebelum menjawab, “Kelihatannya... iya, Pak. Tapi lebih tenang sekarang. Lebih terukur.”