Lunas atau Cinta? Satu kontrak. Dua harga diri. Tak ada yang siap menyerah. Ketika Ayuna dipaksa menanggung utang ayahnya yang meninggal, ia dihadapkan pada dua pilihan: menyerah pada gugatan hukum atau menandatangani kontrak kerja sebagai asisten pribadi CEO dingin yang membenci keluarganya—Aqil Wicaksono. Hubungan mereka tak pernah mudah: penuh adu argumen, kesalahpahaman, dan prinsip yang saling berbenturan. Tapi semakin lama bersama, perlahan mulai terungkap—bahwa yang benar-benar ingin mereka lunasi bukan hanya utang masa lalu, melainkan luka yang belum sembuh… dan rasa yang tak mereka harapkan. Cinta bukan bagian dari kontrak, tapi mungkinkah itu jadi satu-satunya yang tak bisa mereka tolak?
view moreHujan turun deras di luar, memukul-mukul atap seng warung kopi yang biasa Ayuna datangi untuk bekerja. Hawa sore yang seharusnya tenang justru terasa semakin menyesakkan. Tangannya bergetar saat membuka email terakhir dari kantor hukum yang mengurus sisa utang mendiang ayahnya. Kalimatnya singkat, padat, dan menghantam.
Jika tidak ada pembayaran atau kesepakatan dalam tujuh hari, kami akan menempuh jalur hukum dan menyita aset terakhir keluarga Anda.
Aset terakhir.
Yang dimaksud bukan rumah besar, bukan tanah warisan. Yang mereka maksud adalah satu-satunya rumah mungil peninggalan almarhumah ibunya—tempat ia tinggal bersama keponakannya, Hana, dan kakak iparnya yang lebih banyak lepas tangan daripada membantu.
Ayuna meneguk habis kopinya yang sudah dingin. Dadanya penuh sesak oleh emosi yang tak bisa ditumpahkan. Di antara suara hujan, dering telepon memecah lamunan. Sita.
“Aku dapat info dari klienku, Nay. Ada seseorang yang bersedia membantu... tapi syaratnya agak aneh,” suara Sita terdengar ragu.
“Aku nggak butuh bantuan yang bikin aku kehilangan harga diri,” jawab Ayuna cepat.
“Tapi dia bukan sembarang orang. Namanya Aqil Wicaksono. CEO Mahendra Corp. Dia yang... secara teknis, punya kendali atas kasus keuangan ayahmu sekarang.”
Ayuna terdiam. Nama itu bukan asing. Ayahnya dulu pernah menyebut-nyebut tentang pemuda cerdas yang terlalu cepat naik ke puncak. Yang terlalu percaya data, terlalu logis, dan tak pernah peduli pada manusia di balik angka-angka.
“Apa maksudnya... dia yang bisa bikin semua ini selesai?” tanya Ayuna akhirnya.
“Ya. Tapi dia minta kamu datang langsung. Ada tawaran khusus. Dan kamu harus dengar langsung darinya.”
Dua hari kemudian, Ayuna berdiri di depan gedung pencakar langit tempat Mahendra Corp berkantor. Langkahnya mantap, meski jantungnya nyaris pecah. Ia mengenakan blouse putih sederhana dan celana bahan hitam—pakaian terbaik yang ia punya untuk terlihat layak di hadapan orang seperti Aqil Wicaksono.
Lobi kantor itu seakan dunia lain. Terlalu dingin, terlalu mahal, dan terlalu asing. Sekretaris bernama Wulan mengantarnya ke ruang meeting di lantai tertinggi.
Dan di sanalah dia.
Aqil Wicaksono. Pria itu duduk tenang di balik meja panjang dari kayu mahal. Jas hitamnya terlihat rapi tanpa cela. Tatapannya tajam, ekspresinya dingin. Tak ada senyum, tak ada basa-basi.
“Ayuna Paramita,” ucapnya, suaranya berat dan dalam. “Terima kasih sudah datang.”
“Langsung saja,” jawab Ayuna, berusaha terdengar tegas meski tangannya mencengkeram tas di pangkuan. “Saya datang karena ingin tahu apa syarat Anda.”
Aqil membuka map di depannya dan mendorongnya ke arah Ayuna. "Kontrak ini. Satu tahun."
Ayuna membaca sekilas. Matanya membesar saat menyadari isi dari kesepakatan itu. “Anda ingin saya... bekerja untuk Anda? Secara eksklusif?”
“Bukan pekerjaan biasa,” kata Aqil datar. “Saya butuh seseorang yang bisa saya ‘kendalikan’ untuk proyek pribadi. Formalitas, pendamping, asistensi luar, dan... menjaga citra tertentu.”
“Jadi saya... properti yang bisa Anda sewa?” Ayuna balas dengan nada tajam, dadanya terbakar.
“Tidak. Tapi itu satu-satunya cara Anda bisa lunasi utang ayah Anda tanpa kehilangan rumah.” Ia menatap Ayuna lurus. “Saya hanya tawarkan jalan keluar. Pilihan tetap di tangan Anda.”
Ayuna menatap pria di depannya. Wajahnya dingin, tenangnya menusuk. Ia benci betapa logisnya Aqil berbicara seolah ini cuma angka-angka. Tapi bagian paling menyakitkan adalah... dia tahu pria ini benar.
Ayuna menelan ludah. “Saya punya syarat.”
Aqil mengangkat alis. “Silakan.”
“Saya tetap punya batas. Saya bukan pengikut Anda. Dan kalau ini hanya mainan buat Anda, saya pergi sekarang.”
Mata Aqil sedikit menyipit. “Deal. Tapi saya juga punya batas: jangan mencoba lari. Dan jangan anggap ini sebagai tempat berlindung. Ini kontrak. Bukan pelarian.”
Ayuna bangkit berdiri, mengambil kontrak itu dengan tangan sedikit bergetar. “Berikan saya waktu satu malam. Saya akan jawab besok pagi.”
Dan saat ia melangkah keluar dari ruang itu, satu hal mulai tumbuh dalam dirinya: rasa sebal yang nyaris tak bisa ditahan—pada pria dingin bernama Aqil Wicaksono.
Namun entah kenapa, rasa sebal itu tidak pergi begitu saja. Ia tinggal, diam-diam, dan mulai mengendap dalam pikirannya.
Ruang konferensi di lantai 15 terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram, dan hanya dua cangkir kopi yang tersisa di meja panjang yang belum dibereskan. Ayuna dan Aqil duduk berseberangan. Di antara mereka, kotak kecil yang tadi dibawa Ayuna.Aqil menatapnya, matanya tak melepaskan pandangan sejak mereka duduk. “Kamu mau mulai duluan atau aku?”Ayuna menarik napas panjang. “Aku dulu.”Ia membuka kotak, mengeluarkan kertas kontrak pertama yang dulu ia tandatangani. “Kita mulai dari ini. Selembar kertas yang mengikat semuanya. Tapi juga… yang merusak banyak hal.”Aqil mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan aku nyesel.”“Aku juga salah karena menyetujui itu tanpa benar-benar mikir jauh. Tapi saat itu aku butuh... terlalu butuh jalan keluar,” ucap Ayuna. “Aku nggak pernah sangka, dalam prosesnya, aku bakal kehilangan banyak bagian dari diriku sendiri.”Aqil bersandar, tangan dikepal di pangkuan. “Ayuna, aku nggak pernah anggap kamu hanya bagian dari solusi. Aku tahu sejak awal kamu lebih d
Suara notifikasi ponsel berdering bertubi-tubi sejak pagi. Ayuna duduk di tepi tempat tidur, menatap layar dengan ekspresi kosong. Banyak pesan masuk, sebagian dari rekan kerja lama, sebagian dari orang asing yang menyebar simpati sekaligus sindiran.Satu pesan dari Vina membuatnya benar-benar bangkit dari tempat tidur:"Yun, kamu harus lihat ini. Ada video wawancara ibu kandung Aqil di kanal berita gosip. Kayaknya ada hal besar yang dia sembunyiin selama ini."Ayuna membuka tautan yang dikirimkan. Video itu memperlihatkan seorang wanita elegan, berusia sekitar enam puluhan. Wajahnya masih cantik meski dihiasi garis-garis usia. Dialah Bu Arlina, ibu kandung Aqil yang selama ini jarang muncul ke publik.“Aqil selalu anak yang keras kepala,” ucap Bu Arlina di video. “Dan dia punya trauma yang tak semua orang tahu. Ketika ayahnya pergi dari rumah—bukan karena perceraian, tapi karena memilih perempuan lain—Aqil yang menyaksikan semuanya. Usianya baru delapan tahun saat itu.”Ayuna membeku
Pagi itu, Ayuna membuka pintu kontrakan setelah ketukan panjang yang mengganggu. Ia mengira kurir makanan atau tetangga, tapi ternyata...“Nggak nyangka kamu beneran tinggal di tempat seperti ini,” ujar Nabila sambil mengamati interior kontrakan mungil itu dengan ekspresi geli.Ayuna menahan napas. “Kamu datang ke sini tanpa izin. Aku bisa lapor.”Nabila masuk begitu saja, tanpa menunggu dipersilakan. “Silakan. Tapi kamu tahu, aku bisa bikin cerita lebih dulu—tentang perempuan yang ‘diselundupkan’ ke hidup seorang CEO. Kamu tahu seberapa cepat berita itu menyebar?”Ayuna mengepalkan tangan. “Apa sih sebenarnya maumu?”Nabila menoleh dengan senyum miring. “Mudah. Pergi dari hidup Aqil. Serahkan dia padaku. Dengan begitu, semua kembali seperti seharusnya.”“‘Seharusnya’ versi siapa?” Ayuna menyela tajam namun tetap tenang.“Versi dunia yang biasa menerima seseorang seperti aku, dan akan selalu menolak orang seperti kamu,” kata Nabila dingin.Ayuna menghela napas. “Kamu terlambat. Aku su
Pagi itu, apartemen Ayuna terasa sunyi. Hana sudah berangkat sekolah bersama Ibu Nur yang kini justru sering membantunya, setelah dulu nyaris jadi sumber masalah. Ayuna berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang tampak lelah—mata sembab dan kulit pucat tak bisa disembunyikan dengan riasan tipis.Kata-kata Bu Rumi masih terngiang jelas dalam kepalanya. Tentang cinta. Tentang keberanian. Tentang ketidakadilan yang harus dihadapi sendiri.Teleponnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Ayuna ragu sejenak, lalu menjawab.“Yun, gue harus bilang sesuatu,” kata Vina tanpa basa-basi. “Hari ini, nama lo muncul di grup kantor Mahendra Creative. Ada gosip lo dibilang jadi ‘simpenan’ bos besar. Lo ngerti artinya?”Ayuna membeku.“Aqil...?”“Dia nggak ngomong apa-apa. Tapi orang-orang mulai tanya-tanya. Beberapa ada yang nyari tahu siapa lo sebelum kerja jadi kontrakannya. Gila, Yun. Gila banget.”Ayuna menarik napas panjang. “Vina, kalau ini makin besar... gue nggak bisa nyeret lo juga ke
Malam itu, Ayuna duduk sendiri di balkon rumahnya. Hana sudah tidur, dan Vina baru saja pulang. Ia menatap langit Jakarta yang kelam, lampu-lampu terlihat samar dari balik tirai tipis yang bergerak perlahan. Di tangannya, surat pengunduran diri dari beasiswa masih terlipat rapi. Ia belum benar-benar menyerahkannya—meski dalam hati, ia sudah mulai melepaskan banyak hal. Lalu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk: “Besok pukul 10 pagi. Café Nostalgia, Jl. Suryo. Datanglah sendiri. – Nabila.” Ayuna memandangi layar itu lama. Dalam benaknya, terngiang ucapan Vina beberapa hari lalu: "Kadang, lo harus tahu siapa musuh lo sebenarnya, Yun. Bukan cuma dari kata-kata, tapi dari caranya tersenyum didepan lo , sambil nyiapin pisau dari belakang." Keesokan paginya, Ayuna datang ke kafe itu dengan jaket panjang dan syal, mencoba menyamarkan dirinya dari perhatian publik. Nabila sudah duduk di pojok, dengan segelas kopi latte dan kacamata hitam besar seperti selebrita
Sudah seminggu lamanya sejak Ayuna memutuskan mengambil jarak diantara mereka berdua. Tidak ada pesan dari Aqil, tidak ada tugas dadakan atau meeting dadakan yang harus di ikuti , atau entah tugas tugas lain yang sebenarnya hanya basa basi untuk bertemu. Bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu di media sosial. Ayuna duduk di meja kerja kecilnya, mencoba menulis ulang resume. Ia memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan tetap. Kontraknya dengan Aqil belum selesai secara hukum, tapi untuk saat ini, Ayuna memilih berdiri sendiri. Vina datang sore itu, membawa dua gelas kopi dingin dan ekspresi khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Lo yakin mau balik kerja, Yun? Kontrak lo masih berjalan.” Ayuna mengangguk sambil memandangi layar laptopnya yang kosong. “Justru karena masih berjalan. Aku nggak mau hidup cuma nunggu di balik status itu. Kalau semua ini cuma sementara, setidaknya aku udah siap.” Vina duduk di ujung ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Gue ngerti sih... tap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments