Ayuna berdiri di depan cermin kamar mandi kantor. Matanya memerah, tapi tidak karena menangis. Ia hanya terlalu lelah—oleh beban yang datang bersamaan dari semua arah. Utang lama, tekanan sosial, gosip, dan... Aqil.
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini dari Vina.
“Yun, kamu lagi di mana? Bisa ketemu bentar? Aku lagi di lobby kantor kamu.”
Ayuna langsung turun ke bawah. Vina berdiri dengan coat semi-formal dan wajah serius—tidak seperti biasanya.
“Mau minum sesuatu?” tawar Ayuna.
“Langsung aja, Yun,” jawab Vina cepat. “Kamu kenapa sih? Sejak kamu kerja sama Aqil Mahendra, hidup kamu berubah. Lebih... mewah, tapi juga lebih tertutup. Aku temen kamu, bukan musuh.”
Ayuna menelan ludah. “Aku cuma nggak mau kamu ikut ribet.”
“Udah ada berita tentang kamu di akun gosip seleb-grup. Mereka bilang kamu ‘perempuan simpanan’ dari petinggi Mahendra Corp. Ada foto kamu keluar dari rumah kontrakan sambil gandeng anak kecil—mereka pikir Hana itu anak kamu.”
Ayuna menganga. Dunia seakan runtuh.
“Ini p