Aku terpaku menatap perempuan dihadapanku. Dia, Anita, sahabat kecilku dulu. Aku menyeringai menatapnya, dulu memang kami bersahabat tapi sekarang dia adalah pengkhianat. Kuhempaskan tangannya dengan kasar, matanya berembun ekspresinya berubah ketakutan seraya menutupi perut buncitnya dengan blazer.
"Anak siapa itu?" tanyaku datar. Anita bergeming, dia melangkah mundur berusaha menjauhiku. "Kamu tak akan bisa lari," ketusku. Anita menunduk. "Ma-af," lirihnya. Aku berdecih. "Apa maafmu, bisa merubah keadaan?" Sinisku. "Anak siapa itu?!" Aku mengulang pertanyaan yang sama. "A-anak, Azlan," jawabnya gugup dengan bahu bergetar. Tapi aku tak langsung percaya, apalagi aku sempat melihatnya bergumul dengan bang Hilman melalui CCTV. "Bukan anaknya Hilman?" tanyaku sinis. Anita terkejut mendengar pertanyaanku, mungkin dia tak menyangka jika