Aku merasa seperti orang asing dan bukan anak kandung mama, karena aku sangat yakin dan percaya kalau tidak ada orang tua yang memperlakukan anaknya dengan buruk dan kasar bahkan sampai memaksakan kehendak sendiri tanpa peduli dengan kebahagiaan anaknya."Suster, tolong bantu anak ini duduk di kursi roda dan tolong bawa sampai ke parkiran ya!" pinta mama Anita kepada suster yang datang membawa kursi roda tanpa menjawab apa yang ku pertanyakan kepada beliau. Aku seperti debu yang tidak dianggap sama sekali, yang diterbangkan oleh angin disaat angin kencang menerpa."Nona, mari saya bantu," ucap sang suster sembari menggenggam tanganku."Saya tidak ingin pulang, tolong jangan sentuh saya!" Aku berontak, aku tidak terima jika hidupku diatur dan diperlakukan seolah aku tidak memiliki hak atas hidupku sendiri. Aku sudah dewasa, bahkan usiaku hampir kepala tiga, harusnya aku bisa memutuskan sendiri apa yang terbaik atau tidak untukku, bukan malah menjadi boneka bagi mamaku."Kania, jangan
Semarah apapun aku kepada Arya, kecewa dan sesakit apapun rasa yang digoreskan Arya di dalam hatiku, tetap saja ia lelaki pertama yang kuingat disaat aku tidak memiliki tempat lain untuk bergantung.Ya, yang ada dalam pikiranku saat ini adalah menghubungi Arya, namun aku tidak tahu dimana ponselku saat ini berada. Aku sangat tahu dan sangat yakin kalau mama Anita yang menyimpan ponselku, tapi hati ini enggan untuk meminta kepada mama karena emosiku dan juga mama sedang tidak stabil saat ini. Aku tidak ingin terjadi pertengkaran dan perkelahian yang lebih parah dari sebelumnya dengan mama."Kamu lagi nyari ponsel?" ucap mama Anita yang sepertinya mengerti dan paham dengan gerak-gerik ku. Namun, aku memilih tidak menjawab karena suara mama terdengar masih menyimpan amarah dan kekesalan kepadaku."Ini ponselnya, Nak!" ucap papa Gunawan dengan senyum manis yang terlihat sangat tulus. Ya, papa mengambil ponsel yang terletak di tas mama yang terbuka kemudian mengulurkan ponsel itu kepadaku
Rasanya mendengan nama Fahri dan Fahri atau apalah itu namanya, membuat darahku mendidih dengan emosi memuncak. Aku marah dengan raut wajah memerah, mata membelalak dengan telinga yang ku tutup dengan kedua tanganku.Bahkan emosi yang meledak-ledak ini membuat papa langsung menghentikan mobilnya, seolah tidak percaya dengan sikap dan perilakuku saat ini."Kania, kenapa? Apa ada masalah? Apa hubungan kamu dengan Nak Fahri sedang tidak baik-baik saja?" Berbagai macam pertanyaan beruntun ditujukan papa kepadaku, namun untuk saat ini aku masih belum sanggup menjawab apapun."Papa, maklumlah anak muda pasti ada berantem-berantemannya, kayak Papa nggak pernah muda aja," ucap mama Anita menjelaskan kepada papa, entah itu untuk menenangkan papa agar papa tidak curiga arau mungkin saja agar keinginan mama untuk membawa calon menantu kesayangannya ke rumah kami berhasil.Mama Anita mengambil ponsel yang ada di tasnya, memencet nomor calon menantu kesayangannya itu dengan penuh semangat.[Assal
Aku menatap wajah papa dengan seksama, berharap pancaran mata yang berbicara ini mampu menggetarkan hati papa untuk ingin mendengarkan curahan hatiku."Apa, Sayang? Apa yang Kania ingin katakan?" ucap papa lembut, seolah sedang memberikan ruang kepadaku untuk menyampaikan niat hatiku."Pa, Ka-, Kania-," ucapku yang kemudian berhenti dan menjeda ucapanku.Hati ini terus menuntunku untuk berbicara kepada papa tentang isi hati dan segala persoalan yang membuat sesak di dadaku, namun mulut ini terasa sangat berat, kaku dan kelu untuk menyampaikan apa yang ingin ku sampaikan."Papa, sudah waktunya Kania minum obat!" Suara mama Anita yang lantang dan tegas membuat pandangan papa langsung tertuju kepada beliau. Bahkan, niat dan rencanaku yang ingin mengungkapkan sesuatu akhirnya terpaksa harus ku urungkan karena aku sangat tahu kalau tujuan mama adalah untuk mencegahnya."Kania, sekarang kita masuk kamar dulu ya, makanya kamu harus istirahat minum obat biar cepat sembuh," ucap papa lembut d
Mama Anita berteriak sangat kencang dari balik kamarku, terlihat sangat jelas sekali kalau beliau sangat senang dan bahagia karena calon menantu kesayangannya datang berkunjung ke rumah kami. Namun tidak denganku, aku merasa tidak senang dengan kedatangan lelaki itu, bahkan lelaki itu menghancurkan waktuku bersama papa, sehingga keinginanku untuk berkata jujur tidak bisa direalisasikan. "Nak, sepertinya calon menantu Papa ada diluar, kamu senang 'kan?"Papa Gunawan juga tidak kalah antusias dan bahagia mendengar calon menantunya ada di rumah kami. Sungguh, kedua orang tuaku tertawa lepas dengan pancaran kebahagiaan yang terlukis jelas di wajah keduanya. Ya, keduanya sangat mengharapkan menantu laki-laki satu-satunya di keluarga kami yang akan menemaniku dan menjadi imamku. Aku sendiri juga mengharapkan hal yang sama, ingin menikah dengan lelaki yang melengkapi separuh dari agamaku, akan tetapi aku menginginkan seorang lelaki yang aku cintai dan ia pun mencintaiku karena Allah."Pa, Ka
Setelah lebih dari seperempat abad hidup, ini kali pertamanya aku marah kepada Tuhan. Aku kecewa pada takdir dan jalan hidup yang Tuhan berikan kepadaku, aku merasa sudah tidak kuat dan tidak sanggup lagi menjalani hidup ini. Jika memang Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambaNya, kenapa aku diberikan cobaan yang sangat berat sehingga aku tidak sanggup lagi untuk memikulnya.Aku tahu dan sangat paham kalau aku pernah melakukan kesalahan dan dosa di masa lalu, tapi aku telah bertaubat dan berubah menjadi manusia yang lebih baik sekarang, namun kenapa disaat aku telah berubah Tuhan malah semakin membuatku tersiksa, rasanya terhimpit oleh beban berat hingga tubuh ini seolah hancur tertimpa pula.Rasanya hidup ini benar-benar sangat berat hingga aku tidak sanggup lagi menjalaninya."Ih ..., muak ...!"Aku berteriak sangat keras sembari mengacak-acak rambutku, rasanya kepala ini terasa teramat sangat sakit dan tubuh ini juga merasakan ketidaktenangan yang teramat san
Mama Anita berkata lemah namun masih bisa kudengar dengan jelas. Rasanya darahku mendidih dengan emosi memuncak. Aku marah dan kecewa kepada mama Anita karena sebagai orang tua, beliau malah menyarankan ku dibawa ke psikiater, padahal aku tidak gila sama sekali, walaupun aku akui mentalku mungkin sedang tidak baik-baik aja saat ini."Mama saja yang ke psikiater!" ucapku dengan nada suara tinggi. Mataku melotot , menantang mama Anita, memberontak dan melawan karena sebagai orang tua, beliau tidak mempercayai putrinya sendiri, bahkan beliau tidak lagi bertingkah sebagai ibuku."Apa yang kamu katakan?" Mama Anita membalas ku dengan amarah yang juga tidak kalah memuncak, mata beliau melotot dengan wajah memerah."Mama saja yang ke psikiater," balasku dengan teriakan yang lebih lantar, terdengar seperti menggunakan mikrofon. Plak ...!Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku, hingga pipi ini memerah. Tangan kananku juga langsung ku tempelkan di pipiku, merasakan sakit yang teramat sangat,
Aku menepuk jidatku, menandakan kalau diri ini lupa untuk memberikan kabar kepada atasanku di kantor kalau aku tidak bisa masuk kantor karena dalam keadaan sakit. Ya, dua hari tanpa kabar membuat atasan mencari ku karena memang ada deadline pekerjaan yang semestinya aku kerjakan dan aku tanggulangi.[Maaf, Pak, apakah saya boleh mengerjakan semua pekerjaan dari rumah?]Setelah menjelaskan kalau diri ini sedang sakit, akhirnya sang atasan mengizinkanku untuk bekerja di rumah. Senang rasanya bisa bekerja, karena bagiku pekerjaan adalah pelampiasan terbaik untuk membuat hati ini lupa atas masalah yang tengah kurasakan saat ini. Namun, aku tidak ingin kedua orang tuaku tahu kalau aku memaksakan diri untuk tetap bekerja dalam keadaan sakit, jadi aku memilih siasat untuk makan dengan lahap serta meminum obat agar tidak ada yang menyangka kalau aku memberontak, dengan menjadikan waktu istirahatku untuk bekerja.Ya, waktu yang ku nantikan akhirnya datang, sang perawat segera keluar dari kama