Share

BAB 3

B A Y I B U N G K U S
( 3 )

Dear Deary

Hari ini tanggal 1 April 2020. Tidur siangku terganggu suara tangis bayi yang memekkan telinga. Kucoba mencari sumber suara di luar kamar, takku dapati siapa pun. Kutilik ke luar rumah, kondisi sekitar tampak lengang.

Ah, pertanda apa ini? Jika mendengar suara bayi, otomatis tidur malamku akan terganggu. Serangkaian mimpi buruk akan menghantui.

***

L U N A K

1993.

Kelagaan Sapardi tak berlangsung lama. Kenyataan jika sang buah hati lahir dengan kondisi terbungkus selaput plasenta, seakan tak cukup. Kini, ia harus menerima kenyataan jika setengah batok kepala dari sang putri bertekstur lunak layaknya jelly.

"Gimana, Mbah?" panik Sapardi. Sang putri masih dalam gendongannya.

Sri yang tertidur di ranjang menangis sesenggukan. Ketakutan menguasai hatinya. Sedikit saja kepala bayinya terkena benturan, dampaknya fatal. Duh, Gusti Allah ... mengapa harus putrinya? Pantangan apa yang sudah ia langgar saat hamil?

Melihat wajah-wajah kalut tersebut, Mbah dukun mengudarakan senyum. Mencoba menenangkan pasangan yang mestinya bersuka cita itu. "Ora bakal ono opo-opo. Ojo khawatir. Mbah sing bakal ngeramut cah ayu iki," (Tidak akan terjadi apa-apa, Mbah yang akan merawat anak cantik ini) ujarnya sembari terus menata jarik yang akan dibalutkannya pada tubuh sang bayi.

"Kene, Le. Kademen mengko," (Sini, Nak. Nanti kedinginan) pinta Mbah dukun. Kedua tangannya terjulur. Saat melangkah, cipratan air mengenai bagian kakinya yang tak basah--banjir pun di dalam rumah---setinggi mata kaki.

Enggan, Sapardi merelakan sang putri diambil dari gendongan. Setiap pergerakan kecil yang ditampilkan malaikat kecil itu membawa rasa haru dan gemas. Apa pun kondisi sang putri, ia patut bersyukur atas karunia Sang Ilahi. Tak ada yang kurang dari sang putri. Selain kondisi kepalanya, semua tampak sehat. Bahkan bisa dibilang putrinya bertubuh gemuk.

"Sudah punya nama?" Jemari Mbah dukun lihai membedong sang Bayi. Bola matanya sesekali melirik Sapardi.

"Tiara, Mbah ... namanya, Tiara."

"Apik. Mugo dadi bocah seng putih lan ayu koyo mutiara iku." (Bagus. Semoga bisa jadi anak yang putih (hatinya, sifatnya) dan cantik seperti mutiara)

Sapardi dan Sri serempak mengamini.

"Sri?" Mbah dukun menatap Sri lekat.

Sri yang sesaat lalu mengalihkan pandang ke obyek lain, langsung mendongak tegak lurus. Bersirobok pandang dengan perempuan 70 tahun itu.

"Oleh, Mbak turu kene. Kanggo ngeramut si genduk?" (Boleh Mbah tidur di sini untuk merawat si Nduk?")

"Boleh, Mbah ... Pak, biar Mbah tidur di kamar adik?" sarannya lebih pada ke Sapardi.

"Ora-ora, Mbah turu joben, karo kloso pandan wae." ( Tidak. Mbah tidur lantai beralas tikar pandan saja)

"Mbah, air belum surut," Sapardi menghentakkan pelan kakinya. Air di bawah sana berombak. Sisa sekam menggenang di sekitar, bahkan menempel pada kulitnya, "Andaikan surut pun pasti dingin, Mbah."

"Par, Mbah iki ora isa turu kasur utawa turu nduwur," terang Mbah dukun. (Mbah tidak bisa tidur di kasur atau pun tidur atas)

Pikiran Sapardi merambang. Mencari solusi terbaik. Keberadaan Mbah Dukun sungguh dibutuhkan demi kesehatan Tiara.

"Mpun, ngeten mawon. Mbah tilem ten muhola, purun? Kebetulan mushala bangunanya lebih tinggi ... tidak kemasukan air."

Wanita bertubuh kurus dengan keriput gravitasi yang jelas terlihat itu mengangguk senang. Sejurus kemudian menatap Sri lembut.

"Mbah neng buri disek yo, Nduk," ucapnya. Perlahan ia mendekati Sri. Sapardi yang berdiri di samping Sri langsung mundur.

"Iki, bayimu." (Ini bayimu) Sembari meletakkan putri Sri tepat di sampingnya dan dalam jankauan tangannya yang terentang.

***

Semburat senja terkuas pada horizon. Kawanan burung serempak menuju sarang. Samar, nyanyian lagu ilahi terdendang dari pengeras mushala terdekat, berbaur dengan rasa letih, sedih, dan lantunan istigfar para pribumi. Sungguh dua pemandangan kontras nan memilukan.

Air benar-benar surut sore ini---setelah dua hari. Sapardi dan Bagas kerja bakti membersihkan lumpur. Beberapa bongkah kayu ukuran kecil yang ikut terseret masuk rumah. Katak dan kulit ular, tak jarang mereka dapati di pojok lemari dan dinding, atau di bawah kolong meja. Letih, tentu. Tak hanya ini pekerjaan sapardi. Mencuci popok dan pakaian sang istri yang ternoda darah nifas.

Mbah dukun dan Ibu mertua tak lepas merawat Sri dan Tiara. Mereka berbagi tugas. Jika pagi, Ibu mertua membantu Sri ke kamar mandi dan memasak. Mbah dukun menjemur Tiara di teras rumah, lengkap dengan perabot penyembuhannya. Sebaskom air hangat dan waslaf. Sembari mengidungkan lagu jawa ---yang tak pernah didengar orang seisi rumah---ia mengusap satu arah kepala Tiara yang lunak. Lalu, ketika sore begini, salawat badar ia lantunkan sembari menimang Tiara.

Dalam pengawasan Mbah dukun, Tiara tak pernah rewel. Jarang menangis. Sekalinya menangis pun ketika merasa lapar saja.

"Sudah, Gas?" tanya Sapardi, ketika Bagas meletakkan sapu dari tangannya.

"Sudah, Mas. Anu, Bagas diajak pujian di mushala. Boleh, ya, Mas?"

"Boleh, sudah sana mandi. Sisanya biar Mas yang teruskan."

Bagas berdecak senang. Berjalan riang meninggalkan ruang tamu dan keluar rumah. Kamar mandi ada di area berbeda. Terpisah dari rumah.

"Ana kidung rumekso ing wengi. Teguh hayu luputa ing lara 
luputa bilahi kabeh,jim setan datan purun, paneluhan tan ana wani, niwah panggawe ala. Gunaning wong luput. Geni atemahan tirta. Maling adoh tan ana ngarah ing mami. Guna duduk pan sirno." Itu suara Mbah Dukun.

(Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.)

"Sakehing lara pan samya bali. Sakeh ngama pan sami mirunda. Welas asih pandulune
Sakehing braja luput. Kadi kapuk tibaning wesi. Sakehing wisa tawa
Sato galak tutut. Kayu aeng lemah sangar. Songing landhak guwaning . Wong lemah miring. Myang pakiponing merak." Kidung itu terdengar syahdu.

(Semua penyakit pulang ketempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh dibesi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.)

"Pagupakaning warak sakalir. Nadyan arca myang segara asat . Temahan rahayu kabeh. Apan sarira ayu. Ingideran kang widadari. Rineksa malaekat. Lan sagung pra rasul
Pinayungan ing Hyang Suksma. Ati Adam utekku baginda Esis. Pangucapku ya Musa."

(Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua slamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku nabi Sis. Ucapanku adalah nabi Musa.)

Angin seolah ikut bersenandung. Bertiup ringan. Senja yang temaram, mendadak berseloroh dengan warna keagungan. 

Sapardi terdiam. Badannya memutar, mencari sumber suara. Dengan menggendong Tiara, Mbah Dukun keluar dari kamar Sri. Mengayun-ayun serta menepuk ringan tubuh putrinya. Kidung yang selalu dinyanyikan di pagi hari, kenapa ia nyanyikan sore ini?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status