Share

BAB 6

Author: rara elhasan
last update Last Updated: 2020-08-23 13:20:30

B a y i  B u n g k u s   (  9  )
True Story

S u a r a  d i   S e k e l i l i n g   R u m a h

Detik berkumpul dan membawa tubuh-tubuh yang seharian lelah beraktivitas lelap dalam mimpi. Geliat hidup kota pun mulai redup. Hawa dingin menyiksa tulang. Kehangatan tiap rumah padam. Langit memekat. Hening mengakumulasi. Menghadirkan atmosfer mencekam yang membuat siapa pun enggan keluar rumah.

Gadis berbaju setelan kaos dan celana bercorak doraemon biru terjaga dari waktu tidurnya. ia tak sendiri. Boneka barbie hadiah dari Sapardi menemani. Boneka itu berambut pirang. Semakin cantik dengan gaun yang membalut tubuh plastiknya. Ketika semua penerangan berada dalam mode off, ia membiarkan penerangan kamarnya tetap benderang. 

Kamar berukuran 3x3 bercat putih dengan lantai berlapis beton, menjadi tempat persembunyian paling aman. Sebentuk ranjang. Lemari dari kayu mahogani indah dan meja kecil menjadi perabot yang mengisi kekosongan. Latar di kamar itu hanyalah kipas angin gantung berisik. Netranya tak kunjung diserang rasa kantuk. Jika sang ibu tahu ia masih terjaga di sepertiga malam begini, bisa dimarahi habis-habisan. Sayangnya, sang ibu terlalu lelah untuk sekadar menegoknya. Mengurus adiknya yang rewel seharian, cukup menguras tenaga. Sedang bapak, seperti biasa mendapat shif sore dan baru pulang besok pagi.

Tiara duduk di atas ranjang. Berselimut kain berbulu tebal bergambar doraemon. Berteman boneka barbie yang ia ajak bicara. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang. Tak ada rasa takut. Meski ia terjaga seorang diri, nyalinya tak akan ciut. Entahlah, gadis kecil itu melupakan begitu saja makhluk-makhluk tak kasat mata berwajah seram yang menemuinya sebelum ini. Ketika Sapardi menanyakan, apakah Tiara bisa tidur atau berani ke kamar mandi seorang diri? gadis bertubuh kurus itu dengan lantangnya menjawab, bisa tidur dengan nyenyak. Mereka tak lagi menemui. Dan, untuk urusan ke kamar mandi, Tiara tak pernah meminta siapa pun mengantar, meskipun di malam hari.

"Hai, namaku Tiara?" ucapnya, sembari menggerak-gerakan tangan boneka barbie dalam genggaman.

"Namaku, Isabel." Tiara memanipulasi suaranya, lebih halus. Berperan menjadi boneka tersebut.

Menit selanjutnya, keheningan malam terkoyak suara berisik yang tertangkap indra pendengaran. Begitu dekat. Bak ribuan inang memekakkan telinga. Seolah berasal dari dalam batok kepalanya. Tiara mengeratkan mulut. Diam. Meletakkan boneka barbie ke ranjang, perlahan dan tanpa suara. Bulu kuduknya seketika meremang. Siapa juga yang bertamu malam-malam begini? Tetangga depan? Rasanya tak mungkin. Tadi, saat ia pergi ke kamar mandi, kira-kira pukul sembilan malam, ruang tamu rumah tetangga depan sudah gelap.

Jika dicermati, suara itu berasal dari arah luar rumahnya. Tepatnya di teras depan. Entah apa yang dibicarakan, Tiara tak bisa menangkapnya dengan jelas. Tak seperti ketika bertemu Marlina atau pun manusia bermata lepek, kali ini keberaniannya seolah dibabat habis. Ia ketakutan. Sangking takutnya, sampai membuat dahinya banjir keringat dan tubuhnya menggigil kedinginan. Gadis yang kini merapatkan kakinya menyentuh dada itu, yakin suara tersebut bukanlah milik manusia.

Tak ada yang bisa ia lakukan selain diam di dalam kamar. Membiarkan napasnya dan jantungnya bergerak dalam ritme yang sama. Bokongnya tak bergeser sejengkal pun. Tetap pada posisi awal. Tiara menggigit kukunya selagi menyuntikkan formula keberanian ke dalam tubuh secara perlahan. Meski takut, jika suara itu tak kunjung pergi, ia memutuskan untuk menenggoknya dari balik jendela ruang tamu.

"Seorang ibu dan anak kecil," batin Tiara

Suara itu pada akhirnya mampu ia kenali. Terbit dan tenggelam. Mereka sekan-akan tengah mengelilingi rumah dengan kecepatan tak wajar.

Tiara membiarkan netranya terpaku pada jam dinding bulat tak terlalu besar berwarna biru muda yang menempel di atas pintu. Mengikuti arah gerak jarum jamnya. Membiarkan suara itu makin meresahkan hati. Lalu, ketika kikik  menakutkan mengiringi suara tak jelas tersebut, ia memutuskan turun dari ranjang. Berjalan perlahan---berupaya agar tak meninggalkan bunyi tapakan kaki---membuka pintu kamar. Suasana gelap menggerompok. Pemandangan teras terhalang gorden jendela. Hatinya meragu. Sempat ingin kembali ke kamar, tetapi ia urungkan.

Kakinya kembali menapaki ubin dingin menuju ruang tamu. Melewati deretan sofa. Menaiki sofa paling panjang yang menempel ke jendela. Suara itu terdengar dekat. Perlahan, Tiara membuka gorden. Menyelisik kondisi di luar yang begitu gelap. Menunggu sang pemilik suara lewat di depan mata.

Kikik  menerjang jantungnya. Tiara tersentak mundur, tetapi langsung menegak dan bertemu pemilik suara tersebut. Wanita berpakaian putih panjang, dengan rambut sampai menyentuh tanah, menggendong bayi yang terbungkus kain putih pula. Sosok itu terseok-seok. Namun dengan kecepatan tak wajar ia berjalan mengitari rumah. Seperti sedang berlari, tetapi dalam posisi berjalan. Berbicara tak jelas. Lagi-lagi telinga Tiara menangkapanya seumpama suara ribuan orang  yang tengah berbicara dalam waktu bersamaan. Sedang suara kikik melengking yang cukup mengendurkan nyali bukanlah berasal dari sosok wanita tersebut, melainkan bayi dalam dekapannya.

Tiara tak lepas mengamati. Tangan kananya meremas tepian gorden, sedang tangan lainnya yang bebas mencengkeram ujung kepala sofa. Hatinya melantunkan ayat-ayat  juz 30 yang ia hafal luar kepala.

Wanita itu meninggalkan Tiara berputar mengelilingi rumah dan bertemu lagi dengannya ketika melintasi teras. Terus seperti itu, sampai pergerakan Tiara yang hendak kembali ke kamar, terdeteksi olehnya. Dia berhenti. Kikik dan suaranya pun lenyap. Wanita itu menoleh dengan amat pelan. Menatap  Tiara lekat. Memperlihatkan wajahnya yang hanya terlapis sedikit daging berselimut darah. Tulang tengkoraknya terlihat jelas. Tak memiliki bola mata. Tak memiliki hidung atau pun bibir. Daging melapisi area pipi dan dahi. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Sosok itu mendekat. Manghampiri gadis kecil yang mengintip keberadaannya dari dalam rumah.

Buru-buru Tiara menutup gorden. Turun dari atas sofa dan berlari ke kamar sang Ibu. Membuka pintu, lalu membangunkan Sri dengan menggoyang tubuhnya beberapa kali.

"Ada apa, Tiara?"

"Bu, Tiara tidur sini," pinta gadis itu. Tanpa menunggu persetujuan, ia langsung mengambil tempat di samping Sri dan memeluknya erat. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher ibunya itu.

***

Keesokan harinya, ketika beberapa tetangga berkumpul di depan rumah Tiara, pembahasan itu bergulir. Pembahasan tentang kejadian beberapa tahun lalu. Persis di tanggal, hari, dan waktu yang sama.

Tiara yang sedang disisir rambutnya oleh Sri, sebelum kemudian digelung jadi satu, mendengarkan hati-hati cerita yang mengalir di tengah majelis ngerumpi ibu-ibu itu.

Kisah kecelakaan beberapa tahun lalu. Mengagetkan warga yang tengah lelap dalam tidur. Kecelakaan itu melibatkan dua pengendara sepeda motor dan salah satunya seorang wanita yang tengah hamil muda. Terjadi tepat di jalan raya depan rumah. Sebelum dibawa ke rumah sakit, wanita itu sempat istirahat duduk di teras depan rumah Tiara. Menjelang pagi, dengan menggunakan mobil tetangga depan rumah, wanita itu dilarikan ke rumah sakit. Kabar yang beredar di tengah warga, wanita tersebut mengembuskan napas terakhir sehari setelahnya.

"Untung apa dia keluar di tengah malam begitu?" tanya Sri penasaran.

"Mencari nasi goreng untuk anaknya," jawab salah satu ibu.

Mendengar kisah itu, Tiara langsung menarik benang merah kekejadian semalam. Wanita dengan bayi dalam gendongan yang mengitari rumah. Adakah hubungannya dengan kecelakaan yang terjadi beberapa tahun lalu? Entahlah, gadis itu tak mampu melihat siapa sejatinya sosok di balik wajah tengkorak bersimbah darah yang dilihatnya semalam.

***

Selamat membaca. Jangan lupa baca bismillah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Akhir Mata Batinku

    Tiara duduk di tepi ranjang mengusap perutnya yang kian membesar. Basri di sampingnya membuat racikan berupa spirtus dan jahe. Kaki Tiara mulai bengkak. Usia kehamilannya memasuki bulan ke delapan. Waktu menanti kelahiran sudah di depan mata. Dan, ramuan itulah yang dipercaya bisa mengempiskan bengkak kakinya. Selain bengkak rasanya sakit sekali. Tiara kesulitan berjalan dengan kaki seperti itu. Alas kaki tak ada yang muat. Menarik rambutnya ke belakang dan membuat sanggul kecil, lalu menyisipkan bulu landak untuk mengencangkan. Bulu landak penangkal makhluk halus. Pemberian ayah mertuanya. Seperti itu kepercayaan orang di sini. Tiara tak boleh meninggalkan bulu landak itu jika ingin berpergian kemanapun—kecuali ke kamar mandi. "Angkat kakinya," pinta Basri.Tiara mengangkat kedua kakinya yang bengkak ke atas ranjang. Sebelumnya Basri telah mengalasi kaki Tiara dengan kain yang tak dipakai. Basri mengoleskan ramuan itu di sekujur kaki Tiara. Rasanya dingin lalu hangat. Entah ini ber

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 90

    Undangan dari sahabat baik Basrilah yang membuat Tiara dengan perut buncitnya karena hamil pergi di malam hari. Tradisi di sini, jika masih hamil muda, tidak diperbolehkan keluar malam tanpa perlindungan. Tiara tak memiliki bulu landak yang menjadi keyakinan orang di desa Basri. Bulu landak itulah yang menjadi penangkal dari gangguan sihir dan makhluk halus. Adzan isya telah bekumandang. Motor Basri berderu menembus kelengangan. Sesaat lalu baru saja turun hujan, saat Tiara berangkat rintik kecil masih tertinggal—tetapi tak begitu mengkhawatirkan. Hujan itu tidak akan menjadi besar lagi, karena bintang-bintang mulai bermunculan di langit.Berbekal jaket tebal yang membungkus tubuhnya, Tiara melindungi calon bayi dalam perutnya agar tetap hangat. Mantra doa dan dzikir yang dia lantunkan sebagai tameng pribadi. Banyak cerita yang beredar, jika wanita hamil tanpa bulu landak sama saja cari mati. Ada yang mengatakan bayi dalam perut akan lahir dengan membawa godaan da

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 89

    Malam selanjutnya, setelah pembahasan tentang makhluk astral semalam, Basri jadi takut ke kamar mandi sendiri. Basri membangunkan Tiara yang lelah seharian bekerja rumah tangga, setelah mengajar di pagi harinya. "Kamu nggak mau ke kamar mandi?" tanya Basri langsung sesaat setelah Tiara terjaga dari tidur."Kan, tinggal ke kamar mandi?" Tiara tahu Basri takut. Saatnya balas dendam. Kemarin, saat Tiara meminta Basri mengantarkannya ke kamar mandi karena lampu kamar mandi sedang mati, Basri tak mau mengantarkan. Alasannya mengantuk. Tiara berakhir ke kamar mandi seorang diri. Hampir terpeleset karena tak ada penerangan sama sekali. Untung saja Tiara sigap, berpegangan pada pinggiran kamar mandi. Kalau sampai jatuh, kepala Tiara pasti berakhir membentur sumur.Sekarang giliran dia yang balas dendam. Tiara mendengar permintaan Basri itu, tetapi Tiara pura-pura tidak mendengar. Tetap memejamkan mata meski Basri memohon untuk diantar.

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 87

    Tiara baru saja sampai rumah, ketika ada dua orang yang duduk di ruang tamu, bersama nenek Basri. Itu paman Basri bersama istrinya. Tiara bergabung dalam obrolan. Duduk di sofa. Nenek Basri pergi ke dapur untuk menyiapkan makan. Adat di sini, ketika ada tamu yang berkunjung, mereka akan dijamu bak raja. Diperlakukan dengan sangat baik.Dua teh masih mengepul—pertanda jika mereka baru saja duduk. Sepiring roti rasa durian menjadi peneman mengobrol sembari menyesap minuman. Paman Basri merokok. Tembakau. Ini pertama kalinya Tiara mengetahui jenis rokok seperti itu. Rokok tembakau yang sebelum dinikmati, harus dibuat sendiri. Kata Basri, karena Tiara banyak melihat penjual tembakau itu di jalan-jalan, harga tembakau lebih murah dibandingkan rokok produksi pabrik.Obrolan berlanjut. Terkait bagaimana Tiara. Apakah nyaman di kota barunya. Tiara menjawab dengan senyum. Belum terbiasa jauh dari orang tua. Merasa rindu. Ada rasa canggung. Sedikit rasa tak nyaman. S

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 86

    B a y i B u n g k u s Makhluk di Tepi Jalan-------- ------- -------- -------------"Kita nggak mau pulang?" Pertanyaan itu Basri lontarkan pada Tiara yang masih asyik berkeliling alun-alun. Sudah beberapa kali Basri mengingatkan jika di sini berbeda dengan kota yang Tiara tinggali. Pulang terlalu malam akan sangat berbahaya. Jalanan sepi. Beberpa sudut jalan pun gelap.Tapi himbauan Basri itu tak Tiara gubris. Dia tetap saja asyik menikmati suasana yang baru yang dia jajaki. Hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam barulah Tiara meminta pulang. Dia sudah lelah bekeliling. Bahkan, matanya kini sudah mengantuk. Basri sempat mendumal dan terlihat kesal. Tak ada pilihan lain selain melewati jalan yang terkenal sepi. Coba Tiara bisa di

  • Bayi Bungkus (Aku Terlahir dengan Mata Batin) (INDONESIA)   Bab 85

    B a y i B u n g k u s Kehidupan Baru-------- ------- -------- -------------Bulan memangkas hari dengan cepat. Tahun berlalu tanpa menunggu siapapun. Tibalah pada hari yang sangat Tiara dambakan. Pernikahan. Satu jam lalu, Tiara resmi menjadi istri Basri. Pria yang telah bersamanya sejak semester pertama masa perkuliahan. Lika-liku percintaan, sampai drama kurang setuju keluarga Basri karena Tiara berasal dari kota, hampir saja membuat hubungan Tiara dan Basri kandas di tengah jalan.Pesta pernikahan dua hari dua malam selesai digelar. Tiara tinggal bersama keluarganya satu minggu lagi sebelum akhirnya ikut Basri pulang. Sesuai perjanjian awal, Tiara akan diboyong ke kota Basri untuk akhirnya tinggal di sana.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status