Tangan Amara menengadah merasakan dinginnya air hujan yang turun. Hujan yang sedari tadi tidak berhenti membuatnya menghela napas. Entah sampai kapan hujan berhenti, tak mungkin bukan ia menembus jika ia saja lupa membawa payung ataupun jas hujan.
Langit yang memutih kian lama makin menggelap, sudah hampir satu jam ia menunggu. Jika hari cerah ia akan menggunakan jasa ojek online agar bisa sampai ke rumah. Atau jika ia membawa payung bisa saja ia menunggu di perapatan jalan untuk menaiki angkutan umum.
Kenapa dirinya begitu lupa, seharusnya ia jangan pernah melupakan payung mengingat ini adalah musim hujan.
Ia semakin menghela napas saat melihat suasana kantornya yang semakin sepi. Beberapa orang juga terlambat pulang seperti dirinya pun sudah menaiki kendaraan pribadi seakan tak ingin berlama-lama di gedung ini.
"Menyebalkan."
Suara yang menyadarkan lamunan Amara, dilihatnya pria berdiri tepat di sampingnya memandangi hujan. Jas hitam yang sudah lepas dijinjingnya di lengan.
Amara terkesiap saat mata itu menatap juga dirinya dari atas hingga bawah.
"Pak Langit." Amara bersikap sopan saat mengetahui atasannya.
Pria itu hanya mengernyitkan keningnya saat mendengar perempuan yang diduga karyawannya menyebut namanya. Tapi tunggu, sepertinya ia asing dengan wajah ini.
"Baru bekerja di sini?" Angkasa bertanya tapi matanya sudah berpaling menghadap rincikan hujan.
"Iya Pak, baru seminggu," jawab Amara sambil menipiskan bibirnya, ia merasa canggung.
"Divisi?"
"Pemasaran, Pak."
Angkasa hanya mengangguk tanda mengerti, berbasa-basi saat menunggu hujan berhenti tak ada salahnya bukan?
"Siapa namamu?" Amara yang di tanya namanya langsung menoleh menatap Angkasa yang juga masih memperhatikan rintik hujan. Semakin canggung dan tak ingin berlangsung lama akhirnya ia memberanikan diri.
"Amara Lania. Pak saya pulang terlebih dulu sepertinya hujan sudah mulai reda, permisi."
Sedangkan Angkasa menatap punggung yang sedang berlari di bawah rincikan hujan dengan tas menutupi kepalanya agar tidak basah.
Lania? Angkasa menyenderkan tubuhnya di dinding.
Nama yang bagus, persis sepertiku.
"Pak, apakah perlu saya bawakan kopernya?" tawar pria yang berumur sekitar 45 tahunan. Dengan tergesa ia mengambil tas besar yang masih di tarik Angkasa saat melewati ramainya pengunjung bandara. Berhari-hari menghadiri rapat bisnis di kota Malang membuat Angkasa ingin segera merebahkan badan di kasur kesayangannya. Apalagi pesawat yang tertunda hampir tiga jam karena hujan yang mengguyur membuat ia benar-benar lelah.
"Kamu dari mana saja?" teriaknya sambil memeluk bocah yang sudah lari menghampiri dirinya. Hampir dua jam ia berkeliling kota untuk mencari sang adik, yang entah kenapa bisa hilang begitu saja. "Maaf, Kak," ringis bocah itu karena dipeluk erat sang kakak.
Melihat Cakra yang bersimpuh membuat Amara mendekati dengan hati-hati takut pecahan kaca menggores telapak kakinya. Membantu adiknya untuk bangun dan memosisikan di belakangnya. "Kakak bisa ‘kan tidak usah marah-marah dengan Cakra!?" Amara menahan marahnya, ia tak bisa meluapkan karena melihat kondisi kakaknya yang'tidak baik'.
“Ah, sakit!” pekik Bastian saat rambut keritingnya di tarik olehZevanya.“Makanya kamu punya mata jangan sa
Amara masih berkutat di dapur sederhananya, membuat makanan untuk sang adik dan ibu tercinta tanpa tahu ada yang memperhatikannya dari tadi. Membuat mi instan diaduk dengan telur lalu digoreng menjadi menu utama untuk makan malam hari ini. Tambahan bubur ayam dan irisan bawang goreng untuk ibunya yang belum bisa makan makanan yang keras.
Setelah kejadian yang menimpa keluarga, Amara tak pernah melihat lagi sosok sang ayah. Pertama kali bertemu setelah sekian tahun lamanya saat sang ayah sedang menggandeng anak perempuan yang berkisar antara lima atau enam tahun. Penampilan ayahnya pun sudah jauh berbeda dari pada saat masih tinggal bersama keluarga ini. Ayahnya yang memang memiliki tampang rupawan semakin terlihat berkarisma saat memakai jas beserta dasi cokelat.
Tak sedikit banyak yang Amara tangkap dari pembicaraan Engkoh Lim dan priaber-jas hitam yang memakai kacamata. Yang Amara lihat dari siluet atasannya itu adalah mengangguk hormat juga sopan bahkan tak segan-segan membuatkan minuman untuk sang tamu yang saat ini berada di dalam ruangan Engkoh Lim. Lewat pintu kaca bagaimana interaksi kedua orang itu, Engkoh Lim yang semringah bahagia seperti mendapat durian runtuh. Apakah pria itu yang akan membeli toko ini?
Padahal baru minggu lalu surat lamaran kerja ia berikan pada Engkoh Lim untuk melamar di salah satu perusahaan yang pria itu rekomendasikan. Tapi hari ini ia sudah bisa menginjakkan kaki di Venus Foods. Perusahaan yang mempunyai area yang sangat luas dan ada beberapa gedung di dalamnya. Namun, ada satu gedung yang menjadi utamanya, gedung bertingkat empat yang sangat mewah. Wajar saja jika perusahaan ini mempunyai area yang luas karena kantor dan produksinya menjadi satu wilayah.