"Kamu dari mana saja?" teriaknya sambil memeluk bocah yang sudah lari menghampiri dirinya. Hampir dua jam ia berkeliling kota untuk mencari sang adik, yang entah kenapa bisa hilang begitu saja.
"Maaf, Kak," ringis bocah itu karena dipeluk erat sang kakak.
"Kakak takut kehilangan kamu!" Jantung Amara semakin berdetak, ia ingin menyerah dan menelepon polisi saja jika sampai malam ia tidak menemukan adiknya. Jakarta bukan kota aman untuk bocah seusia Cakra yang sendirian, bisa saja eksploitasi anak membuat Cakra menjadi budak. Ia menggeleng-geleng mengenyahkan pikiran buruk tentang hal tersebut.
"Apa yang ada di tangan kamu?" Menggandeng tangan Cakra untuk berjalan kembali pulang.
Cakra melihat tangannya yang membawa bungkusan, ia menyengir malu. "Makanan, diberikan oleh Om yang tadi susuk di samping Cakra.”
Amara tak habis pikir, bisa-bisanya Cakra mengambil pemberian dari orang lain yang tidak di kenal. Padahal bisa saja itu modus penculikan. "Kamu tidak ingat apa yang Kakak katakan untuk tidak mengambil pemberian orang lain?" Amara mengambil bungkusan dari tangan Cakra. “Beri tahu Kakak yang mana orangnya!”
"Jangan, Kak! Nasibnya bisa untuk makan malam kita ...," mohon Cakra sambil menarik baju kebesaran milik Amara.
"Dengar! Kalau di makanan ini ada obat terlarang atau racun, bagaimana? Lalu kamu diculik dan dijual oleh mereka?" Amara menyejajarkan tubuhnya untuk melihat wajah gembil sang adik. "Kakak masih punya cukup uang kalau untuk makan kamu sehari-hari. Jangan jadi miskin hati, Cakra. Cukup materi kita saja yang kurang." Amara menghela napas.
Bekerja sebagai operator fotokopi di depan sekolah, membuat Amara lebih banyak bersyukur meskipun hanya berpenghasilan pas-pasan. Ia sudah banyak mencoba melamar di suatu instansi atau perusahaan walaupun bermodal ijazah SMA. Tak ada salahnya bukan?
Sambil menunjukkan tempat orang yang memberikannya makan, Cakra menengok sekelilingnya. "Tadi om itu duduk di sini, Kak. Duduk di samping Cakra," jelas Cakra sambil menunjuk bangku panjang.
"Terus sekarang om itu hilang?" ejek Amara melihat wajah kebingungan Cakra yang terlihat lucu. Ia pun mendudukkan bokongnya di sana.
Amara memberikan bungkusan pada Cakra. "Ya sudah, ini untuk kamu. Tapi nanti kalau kita bertemu lagi dengan orangnya maka kamu harus membayar uangnya, ya.”
Cakra pun mengangguk senang. Setidaknya ia bisa makan enak malam ini.
**
"Bagaimana bisa kamu main hingga sejauh ini?" tanya Amara sambil menggandeng Cakra menikmati malamnya suasana ibukota.
"Tadi ada ondel-ondel terus Cakra ikuti, deh," kata bocah berumur sepuluh tahun itu menjelaskan.
"Sampai sejauh ini?" Anggukan yang bocah itu berikan membuat asumsi Amara benar. "Kamu sendirian?" cecarnya.
"Tidak, banyak anak lain juga tadi. Tapi sekarang Cakra tidak tahu mereka ke mana." Bisa dipastikan entah Cakra yang kehilangan jejak temannya atau memang ia yang pergi ke suatu tempat setelahnya.
Amara membuka gerbang tua rumahnya, membuat besi yang sedikit berkarat itu berbunyi. "Cepat kamu mandi, Kakak ingin lihat ibu dulu." Dengan lihai Amara menghidupkan seluruh lampu rumahnya.
Dibuka pintu kayu untuk melihat ibunya. "Bu ...." Panggilan itu memenuhi ruangan yang sedari tadi sunyi.
Hanya gumaman yang terdengar sebagai balasan. Amara duduk di pinggir ranjang memperhatikan ibunya yang juga menatap dirinya. Dengan sigap Amara membantu ibunya untuk duduk. "Cakra sedang mandi, Bu." Sambil memijat kaki ibunya, ia berbicara.
Mata sayu itu menatap Amara dengan lembut walau dirinya tak bisa berbuat banyak namun doa selalu terpanjat di hatinya.
"A ... aa ... aa." Perkataan tak jelas yang selalu bergumam itu membuat Amara miris. Tubuh ibunya tak lagi sama, setengah dari sistem syarafnya tak berfungsi. Bibir yang sedikit menyungging itu menandakan jika dia tak bisa berbicara normal.
"Ibu lapar?"
Menggelengkan kepala Dinarianti–Ibu Amara—membuat Amara semakin berpikir apa yang diinginkan ibunya.
"Aaa ... aaa."
"Kak Guntur?" Akhirnya Amara mengetahui apa yang ibunya jelaskan, dengan bantuan tangan kiri yang masih berfungsi menggambarkan sosok tinggi yang artinya kakak Amara.
"Kak Guntur sepertinya tidak pulang lagi, Bu." Helaan napas Dinar membuat Amara mengerucutkan bibirnya.
Guntur Pribumi laki-laki dewasa yang sudah menginjak dua puluh lima tahun itu entah ke mana dan jarang pulang. Sosoknya tak ubah seperti berandalan di pinggir jalan yang sering nongkrong bersama teman-temannya. Mengikuti pergaulan bebas.
Amara tak banyak berharap dengan Guntur, jika laki-laki pertama di keluarga lain pasti menjadi sandaran dan tumpuan tapi tidak untuk Amara dan Cakra. Mereka tak bisa mengharapkan Guntur yang memberikan kenyamanan di rumah.
"Ibu ingin ke toilet?" Amara membantu Ibunya berdiri, Dinar bisa saja berdiri sendiri namun kakinya sebelah yang mati rasa memperlambat dirinya untuk berjalan.
Dengan tertatih dan menyeret kaki sebelah kanan, Amara menopang tubuh sang Ibu. Belum sempat mencapai pintu kamar, Dinar serta Amara dikagetkan dengan pecahan kaca dari arah dapur. Amara dengan cepat mendudukkan ibunya di kursi. Pikirannya langsung tertuju pada Cakra yang sedang di dapur, semoga Cakra hanya memecahkan gelas.
Amara tambah panik saat melihat adiknya sudah terduduk di lantai dengan pecahan kaca di sampingnya.
"Kak Guntur!"
"Sayang, bangun ...."Tepukan pelan di pipinya membuat Amara mengerang. Ia langsung membuka matanya dengan napas yang terengah-engah. Banyak bulir keringat yang keluar sampai membasahi bantal."Kamu mimpi buruk?" Suara itu memecahkan lamunan Amara. Ia melihat sekeliling ruangan yang dihiasi warna hitam dan juga putih.
"Hai, Om. Tumben datang ke kantor pagi-pagi sekali, apa ada jadwal dengan papa?" Sambutan itu seperti tak biasa. Angkasa sebenarnya tak terkejut karena Om Bagas sudah berada di ruangannya padahalinimasih menunjukkan angka delapan pagi. Bahkan karyawan kantorpunbelumseluruhnyamasuk. Kedua tangan Bagas mengetuk-ketuk satu sama lain menandakan jika ada hal yang mampu membuatnya banyak pikiran. "Tidak, Om hanya ingin berkunjung di tempatmu saja."
Angkasa memutar-mutar pena yang berada di tangannya. Semua sudah ia lakukan dengan baik. Pertama,ia sudah meyakinkan kedua orang tuanya untuk bisa menerima Amara,terlebih papanya yang masih saja marah terhadapnya. Yang kedua, dia akan meminta bantuan Antariksa untuk sedikit memberikanpengertian pada Nikenagar mengetahui berita ini. Dan BOOM!
"Mas Kasa!" teriak Riksa saat mendapati Angkasa yang berkutat di depan laptopnya. Entah apa yang pria itu kerjakan sedari tadi sampai tak tahu jika sang adik sudah jengkel setengah mati karena panggilannya tidak di jawab. "Astagadragon! Aku dari tadi teriak-teriak tidak tahunya Mas di sini pacaran sama laptop?!" Riksa memukul bahu Angkasa sampai sang empunya mengaduh kesakitan.
Amara sungguh malu, di saat ia sedang berada di titik rendah, di saat itu pula Angkasa melihat semuanya. Ia tak tahu seberapa banyak pria itu mengetahui hal rahasia antara dirinya dan ayahnya. Ia tak tahu bagaimana tanggapan yang Angkasa berikan saat mengetahui semua ini. "Lan ...," ucap pria itu dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Pria yang sedari tadi hanya diam dan menunggu Amara tenang dengan keadaannya. "Y--ya?" Amara hanya memandang ke samp
Sampai di kantor, ia tak terkejut karena teman-temansedivisimencarinya. Tapi tidak untuk Babe, pria tua itu seakan tahu apa yang akan Amara lakukan hari ini. Ini adalah hari terakhirnya untuk menginjakkan kaki di Venus. Amara mengulum bibirnya yang sedikit pucat, bukan karena polesan yang tidak ia pakai, melainkan kurang tidur yang membuat ia seperti mayat hidup.
Semua kesedihan danketerpurukansudah tak bisa dibendung lagi. Amara yakin ini adalah titik terendahnya dalam hidup. Semua berakhir seperti ini. Haruskah Tuhan mempermainkan hidupnya di saat ia sudah memiliki sandaran hidup lagi? Kak Guntur sudah berubah dan seharusnya mereka merayakan kebahagiaan itu. Bukan malah menangis dengan air mata kepiluan seperti ini. Ibusudahtidak ada. Ralat! Ada, tapi dalam bayang kenangan sekara
“CUKUP, DELLA!” Teriakan Angkasa membuat Della yangsudah diambang kewarasan langsung tergugu.Hingga pada akhirnya air mata itu mengalir juga, bak air bah yang sudah tak bisa ditampung, Della meraung hingga membuat siapa saja miris mendengarnya. “Ka—kamu melakukan semua inisa—sama aku, Mas? Jahat kamu ...,” lirih Della sambil&nbs
Ponsel Amara terus bergetar sedari tadi. Tapi ia memang sengaja mengabaikannya, bukan karena apa. Ini adalah caranya untuk tidak terlalu dekat lagi dengan pria itu. Amara ingin menyendiri untuk beberapa hari belakang. Sebenarnya tadi pagi dia sudah berhasil untuk tidak bersama Angkasa, dan mungkin sudah membuat pria itu uring-uringan. Ia tak mau Angkasa tahu masalahnya di kantor. Apalagi ini termasuk fitnah yang sangat keji.