"Hai, Om. Tumben datang ke kantor pagi-pagi sekali, apa ada jadwal dengan papa?" Sambutan itu seperti tak biasa. Angkasa sebenarnya tak terkejut karena Om Bagas sudah berada di ruangannya padahal ini masih menunjukkan angka delapan pagi. Bahkan karyawan kantor pun belum seluruhnya masuk.
Kedua tangan Bagas mengetuk-ketuk satu sama lain menandakan jika ada hal yang mampu membuatnya banyak pikiran. "Tidak, Om hanya ingin berkunjung di tempatmu saja."
"Sayang, bangun ...."Tepukan pelan di pipinya membuat Amara mengerang. Ia langsung membuka matanya dengan napas yang terengah-engah. Banyak bulir keringat yang keluar sampai membasahi bantal."Kamu mimpi buruk?" Suara itu memecahkan lamunan Amara. Ia melihat sekeliling ruangan yang dihiasi warna hitam dan juga putih.
Tangan Amara menengadah merasakan dinginnya air hujan yang turun. Hujan yang sedari tadi tidak berhenti membuatnya menghela napas. Entah sampai kapan hujan berhenti, tak mungkin bukan ia menembus jika ia saja lupa membawa payung ataupun jas hujan.Langit yang memutih kian lama makin menggelap, sudah hampir satu jam ia menunggu. Jika hari cerah ia akan menggunakan jasa ojek online agar bisa sampai ke rumah. Atau jika ia membawa payung bisa saja ia menunggu di perapatan jalan untuk menaiki angkutan umum.Kenapa dirinya begitu lupa, seharusnya ia jangan pernah melupakan payung mengingat ini adalah musim hujan.Ia semakin menghela napas saat melihat suasana kantornya yang semakin sepi. Beberapa orang juga terlambat pulang seperti dirinya pun sudah menaiki kendaraan pribadi seakan tak ingin berlama-lama di gedung ini."Menyebalkan."Suara yang menyadarkan lamunan Amara, dilihatnya pria berdiri tepat di sampingny
"Pak, apakah perlu saya bawakan kopernya?" tawar pria yang berumur sekitar 45 tahunan. Dengan tergesa ia mengambil tas besar yang masih di tarik Angkasa saat melewati ramainya pengunjung bandara. Berhari-hari menghadiri rapat bisnis di kota Malang membuat Angkasa ingin segera merebahkan badan di kasur kesayangannya. Apalagi pesawat yang tertunda hampir tiga jam karena hujan yang mengguyur membuat ia benar-benar lelah.
"Kamu dari mana saja?" teriaknya sambil memeluk bocah yang sudah lari menghampiri dirinya. Hampir dua jam ia berkeliling kota untuk mencari sang adik, yang entah kenapa bisa hilang begitu saja. "Maaf, Kak," ringis bocah itu karena dipeluk erat sang kakak.
Melihat Cakra yang bersimpuh membuat Amara mendekati dengan hati-hati takut pecahan kaca menggores telapak kakinya. Membantu adiknya untuk bangun dan memosisikan di belakangnya. "Kakak bisa ‘kan tidak usah marah-marah dengan Cakra!?" Amara menahan marahnya, ia tak bisa meluapkan karena melihat kondisi kakaknya yang'tidak baik'.
“Ah, sakit!” pekik Bastian saat rambut keritingnya di tarik olehZevanya.“Makanya kamu punya mata jangan sa
Amara masih berkutat di dapur sederhananya, membuat makanan untuk sang adik dan ibu tercinta tanpa tahu ada yang memperhatikannya dari tadi. Membuat mi instan diaduk dengan telur lalu digoreng menjadi menu utama untuk makan malam hari ini. Tambahan bubur ayam dan irisan bawang goreng untuk ibunya yang belum bisa makan makanan yang keras.
Setelah kejadian yang menimpa keluarga, Amara tak pernah melihat lagi sosok sang ayah. Pertama kali bertemu setelah sekian tahun lamanya saat sang ayah sedang menggandeng anak perempuan yang berkisar antara lima atau enam tahun. Penampilan ayahnya pun sudah jauh berbeda dari pada saat masih tinggal bersama keluarga ini. Ayahnya yang memang memiliki tampang rupawan semakin terlihat berkarisma saat memakai jas beserta dasi cokelat.