Share

Penyerangan

Pikiranku campur aduk. Seperti memasukkan segala jenis minuman ke dalam satu teko air putih; rasanya sungguh tak keruan.

Aku memikirkan bagaimana perasaan orang tua kandungku sesaat sebelum mereka menghadapi ajal. Aku memikirkan bagaimanakah hidupku seandainya mereka masih ada.

Akankah semua tetap sama? Akankah aku tetap dibatasi? Akankah semua bisa menjadi mudah?

Apa yang salah dari menjadi hidup?

Air mataku menitik, saat kerinduan ganjil akan keberadaan orang tua kandungku yang entah siapa memenuhi benak. Aku merasa sakit hati kepada sang pembunuh yang telah tega merenggut orang yang seharusnya menjadi panutan dalam hidupku.

Dadaku terasa sesak. Pandanganku terus-terusan kabur saking banyaknya air mata yang keluar. Aku menangis dalam diam, mencoba sangat keras agar tak terisak-isak seperti hilang akal.

Namun, pada kenyataannya, aku hampir hilang akal.

Ibu—ibu angkatku—berkali-kali tampak ingin menenangkanku, tapi bahu ini sedang tak ingin ditepuk-tepuk ringan oleh siapa pun. Pada menit kesekian, kucoba untuk mengendalikan diri.

Aku ingin mereka memberitahuku segalanya.

“Apa maksud ….” Aku tertawa ironis; tiba-tiba teringat dengan pemeran utama pemilik darah suci di drama Ganteng-Ganteng Serigala. “Apa maksudnya darah suci itu? Aku pernah terluka, tapi darahku tetap berwarna merah. Bukankah seharusnya putih?”

Aku menatap Ayah dan Ibu … kuputuskan untuk tetap memanggil mereka demikian. Hubunganku dengan mereka sudah terlalu mendarah daging di tubuhku. Aku tak punya keharusan untuk marah pada mereka.

Setidak-tidaknya, aku berharap ada alasan kuat kenapa itu dirahasiakan.

Ayah menghela napas berat. Ia menggenggam kepalan tangannya sendiri dengan muram.

“Bara, kau tak bisa membedakan mana darah suci mana bukan hanya dengan warna.” Ayah tersenyum lemah. “Kita semua tetaplah manusia, hanya saja terlahir di bangsa yang sedikit berbeda. Sama dengan manusia, darah suci tetaplah berwarna merah.”

Diam-diam aku teringat kata-kata Saga tentang vampir pada dasarnya juga manusia. Aku masih belum mengerti benar tentang konsep itu. Kubiarkan ia mengambang di otakku.

“Darah suci tidak berbahaya bagi pemiliknya,” lanjut Ayah. “Justru yang berbahaya adalah pemilik itu sendiri.”

“Karena keserakahan manusia?” tebakku.

“Karena keserakahan makhluk berakal nan bernafsu.” Ayah meralat. “Kami percaya kau tidak begitu, Bara.”

Aku menatap lantai. “Kalau kalian percaya, kenapa kalian tidak jujur saja sedari awal tentang ini? Kenapa tidak membiarkanku mengenal duniaku sendiri?”

“Kami percaya padamu, Barb, tapi tidak dengan makhluk-makhluk abadi lain di luar sana,” ujar Ibu lembut.

Aku mengangkat kepala. “Apa kegunaan darahku yang sebenarnya?”

Kakek menatapku dengan ekspresi murung. “Kau bisa menarik kekuatan gelap untuk membantumu mengendalikan para makhluk abadi.”

Aku masih belum mengerti, tapi Kakek tak membiarkanku untuk terus-terusan bertanya.

Saat pemilik darah suci memutuskan untuk mengendalikan semuanya, Kakek berujar, ia bisa menarik kegelapan semudah menarik benang dari gulungan yang rapi. Pemilik itu akan bisa merubah dirinya menjadi vampir dan segala perubah-bentuk.

Konon, jika pemilik darah suci bertindak terlalu jauh, ia akan berubah seperti perwujudan setan dan akan kehilangan kebaikan dalam hatinya. Jika sudah seperti itu, dunia akan terancam.

“Bayangkan jika kau mampu mengendalikan seluruh vampir dan perubah-bentuk di dunia ini, Bara,” kata Kakek pelan. “Rasanya pasti luar biasa, tapi konsekuensinya … kau akan berakhir menjadi budak setan.”

Punggungku meremang. Aku bukan orang yang saleh, tapi bukan berarti aku lantas tak keberatan menjadi budak setan. Aku tak mau diperbudak siapa-siapa.

“Aku tak akan pernah menjadi seperti itu,” janjiku; pada dunia dan diri sendiri.

Ayah menggeleng. “Bukan hanya dirimu sendiri yang bisa mengendalikan darahmu, Bara. Siapa pun dari vampir dan perubah-bentuk di dunia ini yang bisa menggunakan Hipnosbo, ia akan bisa membuatmu mengendalikan dunia.”

“Apa itu Hipnosbo?”

“Hipnotis khusus untuk makhluk-makhluk abadi seperti kita, yang berkaitan dalam hal pengendalian jiwa secara mutlak.”

Aku menatapnya ngeri. “Aku … mereka bisa mengendalikan jiwaku untuk mengendalikan dunia? Termasuk manusia?”

Ayah menyandarkan punggungnya. “Tidak, kau bisa mengendalikan vampir dan perubah-bentuk, tapi kau tak bisa mengendalikan manusia. Mereka mengendalikan jiwa mereka sendiri. Jiwa makhluk seperti vampir ….”

Aku menelan air ludah yang terasa getir. “Saga bilang jiwa kita didampingi dengan jiwa iblis.”

Ayah menoleh ke arah Ibu dan Kakek, lantas tertawa ironis.

“Bukan didampingi, Bara, tapi menjadi satu kesatuan,” bisik Ibu tiba-tiba. “Jiwa kita cuma setengah, dan setengahnya lagi milik iblis. Jiwa kita sekarat jika dibandingkan dengan jiwa manusia murni yang utuh.”

Pikiran menakutkan berkelebat di benakku. Bibirku bergetar. “Tapi, jiwa manusia-manusia jahat—”

“—tetap utuh.” Ibu menyela dengan suara pelan. “Yang rusak cuma hati mereka, bukan jiwanya. Soal hati, makhluk apa pun bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Manusia-manusia yang kau bilang jahat, Bara, mereka sendirilah yang memilih jalan itu. Menjadi jahat bukan berarti kehilangan sepotong jiwa. Itu masalah nurani.”

Aku menggeleng keras-keras. Aku masih tak mau percaya akan hal itu.

Kugertakkan gigi sambil menahan gejolak hatiku yang meradang tiba-tiba. “Bagaimana mungkin kalian tahu jiwa para vampir cuma setengah?! Kalian bukan Tuhan!”

“Apa Saga menceritakan padamu tentang asal-usul vampir, Bara?”

Perkataan Ayah menohokku.

“I-Itu … sejarahnya terlalu singkat … terlalu sederhana—”

“Lalu, apa yang ingin kaupercaya, Bara? Karena di situlah asal bangsa kita tercipta. Kami bisa mengajakmu terbang ke Kediri saat ini juga untuk melihat bukti-bukti tak terbantahkan tentang itu.”

Napasku semakin cepat. “Tidak … seluruh Indonesia pasti tahu kalau ada—”

“Badan Riset dan Data Vampir sudah mengamankan semua yang berkaitan dengan keberadaan kita, di bawah kepemimpinan rahasia bangsa vampir. Tak ada manusia satu pun yang tahu.”

Aku berdiri dan berteriak. Kudorong sofa single yang kududuki sekuat tenaga. Sofa itu terpental sejauh hampir dua meter. Aku tertegun dengan wajah basah oleh air mata.

Kakek dan orang tuaku berdiri. Mereka tak kalah kaget denganku. Pandangan mereka yang tampak horor jatuh ke arah perut atau dadaku. Kakek berderap ke arahku. Ia membalikkan tubuhku dengan paksa dan melihat entah apa di punggungku.

“Segelnya sudah terlepas, Burhan,” bisik kakekku ketakutan. “Yang Terkutuk akan segera menemukan anak ini!”

Aku berbalik begitu cepat dan hampir limbung ke belakang. Aku kembali tertegun sejenak, tapi perkataan Kakek tadi menyadarkanku.

“Apa maksudnya dengan Yang Terkutuk?” tanyaku bingung. “Dan segel apa yang Kakek maksud? Segel untuk apa? Di mananya tubuhku?”

“Segel Varsan,” jawab Kakek tegang. “Kau … sejak kapan kau membicarakan tentang vampir dengan anak Adrian?”

“Entahlah,” kataku semakin bingung. “Aku baru benar-benar percaya saat Saga datang kemarin pagi ke sini.”

Kakek mondar-mandir sambil mengusap wajahnya. Ia memijit dahinya dengan kalut.

Ia berhenti seraya menatap ayahku. “Aku akan bawa Bara ke markas pusat. Aku tak mau keadaan ini jadi lebih gawat lagi.”

“Tunggu!” seruku marah. “Sebelum memutuskan … sesuatu, tak adakah yang mau memberitahuku apa masalahnya? Aku masih belum mengerti apa-apa!”

“Itu tak jadi masalah!” Kakek berteriak berang. “Kau akan mati kalau kita semua berlambat-lambat di sini! Penjelasannya nanti saja!”

BRAK! PRANG!

Kami berempat tersentak. Ayah dan Kakek berkelebat ke arah ruang tamu. Aku baru akan menyusul mereka saat Ibu menahanku di tempat. Ibuku menggeleng.

Tubuh Ibu menegang begitu kencang saat kami berdua mendengar suara halus seorang laki-laki dari ruang tamu.

“Halo, ayahnya Eli. Dan … ah, ya. Sahabat Rudi juga di sini ternyata. Burhan, kalau aku tak salah ingat?”

Aku membuka mulut ingin bertanya, tapi Ibu membekapku. Mataku melebar. Ibu memberi isyarat agar aku tetap diam. Aku mengangguk, lantas Ibu melepas bekapannya.

“Kudengar kau kabur dari Bilik Keamanan Lorentz Papua.” Kudengar suara Kakek berkata.

Pendatang baru tadi tertawa renyah.

“Itu bukan isu semata, kalau boleh kutambahkan,” katanya.

“Tak bisakah kau bertamu di rumah orang secara baik-baik?” geram ayahku.

“Tapi, ini bukan rumah orang,” tukas si pendatang. “Kalaupun baik-baik, kalian tetap tak akan mau menyerahkan anak Rudi itu padaku.”

Tangan Ibu bergetar. Aku memegangnya erat. Aku punya kecurigaan tentang siapa Rudi dan Eli yang disebutnya, tapi aku tetap diam.

Aku terperanjat saat Ayah tiba-tiba meraung keras. Aku hampir lari menemuinya, saat kemudian kudengar Ayah berteriak, “Pergi kau! Pergi sekarang! Kau tak diinginkan di sini!”

Untuk sesaat, kukira Ayah sedang mencoba mengusir si pendatang baru. Namun, Ibu mencekal pergelangan tanganku dan menunjuk pintu belakang.

Ayah menyuruh kami berdua meninggalkan rumah ini.

Aku menggeleng. Rasanya aku hampir menangis lagi. Ayah dan Kakek masih di sini. Aku tak mau meninggalkan mereka begitu saja.

Suara orang tercekik mengagetkanku. Aku semakin takut dengan tamu tak diundang itu. Ibu menarik tanganku kuat-kuat dan terus menggeleng agar aku tak mendekati ruang tamu sedikit pun.

Dengan hati perih, aku berkelebat seperti vampir sungguhan pagi itu bersama Ibu, membelah jalanan secepat yang bisa para vampir lakukan.

Kami berdua menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status