Empat sosok berumur yang merupakan Tetua Suku Serigala Hitam tampak duduk mengelilingi meja bundar di sebuah ruangan. Begitu pula dengan Aryadi dan Linda, juga Alvaro selaku pemimpin suku tersebut.
Salah satu Tetua yang memakai mantel cokelat dan duduk di kursi roda berdeham. Pria uzur bernama Magen itu melirik sekilas pada Aryadi dan Linda.
Magen menatap Alvaro dengan tajam. “Alvaro, kau tentu paham bahwa Hugo tidak akan tahu tentang markas ini jika ia sendiri yang ke sana-kemari mengendus-endus rerumputan di bawah kakinya.”
Alvaro mengangguk. “Aku sudah memerintahkan tangan-kananku untuk segera menyelidiki itu, sir.”
Seorang Tetua bermata sipit dengan wajah berkeriput mendengkus. Ia menarik tangannya dari meja dan menyilangkannya di dada, bersedekap.
“Kuharap itu tidak membutuhkan waktu lama,” ia mencetus. “Sudah cukup buruk kita kehilangan seorang wolvire penting tanpa harus membiarkan markas disusupi be
Pagi itu pesawat Garuda Indonesia membelah langit berkabut nan pasti menusuk tulang. Linda memandang Kepulauan Bangka Belitung di bawah sana yang semakin mengecil hingga tak tampak lagi di antara tumpukan awan dan embun di jendela pesawat.Vampir wanita itu menggigil. AC bukanlah penyebabnya, melainkan berbagai pikiran buruk yang tiba-tiba saja melintas di dalam organ vital Linda yang tersembunyi di antara tempurung kepalanya. Sungguh menyakitkan saat kau tak bisa menepati janji pada seorang sahabat yang telah mati.Linda menyandarkan kepala saat tangannya terkepal di atas pangkuan hingga buku-buku jarinya memucat. Seandainya Linda bisa berlaku egois satu kali saja, ia tak akan mau mempedulikan Barbara lagi sementara suami tercintanya telah tewas akibat ulah seseorang yang menginginkan anak perempuan itu.Tenggorokan vampir wanita itu serasa diganjal oleh kekosongan yang hampa. Dalam lubuk hatinya yang tersembunyi, Linda mengakui bahwa ia sedikit sakit hati dan
Aku tak pernah merasa begini sengsara, bahkan saat Dad dan Mom membatasi kebebasanku.Beberapa jam setelah gadis yang membawakan aku makanan pagi itu keluar, aku hanya duduk diam bersandar di atas tempat tidur. Air di teko sudah habis kuminum dan makanan di atas piring masih utuh. Aku benar-benar tak ingin memakannya, tak peduli jika di sana tidak ada racun sekali pun.Aku tahu aku terdengar bodoh. Jika aku bermaksud ingin mati, aku seharusnya tidak perlu meminum air itu. Aku seharusnya tidak menelan atau menenggak apa-apa. Seharusnya aku berbaring saja hingga tubuhku lemah dan kurus kering.Namun, otakku seperti mengingatkan aku terus menerus. Selalu memberiku harapan pada diri sendiri bahwa entah bagaimana Grandpa dan Mom pasti berusaha mencariku. Aku tak bermaksud sombong, tapi aku yakin seisi suku Serigala Hitam pasti akan ikut mencariku.Aku tak tahu apa-apa, sungguh. Namun, menilik dari apa-apa yang kulihat dan kudengar sampai sejauh ini, sepertinya
Langit masih menggelegar seakan malaikat sedang melecutkan petir kematian pada iblis-iblis yang berkeliaran. Satu per satu korban di bawahku mengalami hal yang sama seperti wanita tadi. Korban yang tak berada di jangkauan pandanganku … aku hanya bisa mendengar jerit kesakitan dan kemudian tawa mereka, serta kata-kata bahasa Jawa yang sama yang mengatakan bahwa mereka memberikan jiwa mereka karena aku.Hal lain yang membuat semuanya semakin mengerikan adalah nyanyian para orang bersyal. Sesuatu seperti cairan yang mengalir keluar dari telinga ke leher membuatku yakin bahwa itu adalah darahku. Pendengaranku serasa dikorek-korek dengan benda teramat tajam; begitu menyakitkan dan tak tertahankan. Rasa sakit tak hanya berhenti di situ saja. Rasanya seperti seseorang sedang menggempurkan palu raksasa ke batok kepalaku. Penglihatanku hilang-timbul berkali-kali namun kesadaranku tak juga menyerah barang sedetik pun.Aku kesakitan.Aku lelah.“Tak w&e
“Kita terlambat, Dad!”Linda menggerak-gerakkan kakinya dengan penuh kekhawatiran. Matanya menatap barisan pepohonan yang melesat di luar jendela mobil yang mereka tumpangi menuju Alas Purwo (Hutan Purwa). Aryadi memegang kedua tangan wanita itu yang tak henti-hentinya saling meremas dengan gugup. Linda menoleh pada lelaki yang sejak bertahun-tahun lalu telah menjadi ayah angkatnya itu. Aryadi merangkul dan menepuk-nepuk bahu vampir-wanita itu dengan lembut.“Berpikirlah positif, Lin,” Aryadi berkata menenangkan. Sejenak ia diam, lantas menghela napas dalam-dalam. “Atau paling tidak kau bisa … anggap ini semua akibat dari kesalahanku, seperti yang sebelumnya kau katakan di markas suku Black Wolf. Jika itu busa membuatmu sedikit lebih lega.”Linda menyentakkan tangannya dan menatap Aryadu dengan sorot mata seakan-akan telah tersinggung.“Itu tidak akan mengubah apa-apa, kau tahu,” desis Linda, tiba-tib
Beberapa meter setelah mereka memasuki kedalaman hutan, Tetua Brahma menghentikan langkahnya dan membalikkan badan. Kesembilan orang sisanya memandang tetua itu dengan sorot mata bertanya-tanya.“Gunakan kecepatan lari supernatural kita,” ujar Tetua Brahma, disambut dengan anggukan dari seluruh anggota kelompok.Semua orang kecuali Linda tiba-tiba mengeluarkan suara geraman. Dalam sepersekian detik tubuh mereka menguap dan berubah menjadi serigala-serigala hitam sebesar beruang. Linda mundur dua langkah tanpa sadar. Diam-diam ia merasa terintimidasi. Sendirian di tengah-tengah gerombolan wolf-shifter itu bisa dibilang tidak baik untuk ketenangan vampir seperti Linda, namun begitu ia berusaha menekan perasaannya. Bukan waktunya untuk bersikap berlebihan. Waktu sudah cukuo terbuang tanpa harus ditambahi masalah sesepele ini.Tetua Brahma sang serigala menggeram lagi, kali ini mengirimkan komando lewat pikiran kepada seluruh serigala sekaligus Linda. Da
Tujuh sosok berpakaian serba merah gelap itu tiba-tiba muncul begitu saja di suatu tempat di Hutan Setan. Untuk sesaat mereka menyeimbangkan diri. Pemindah Raga bukan pilihan transportasi instan yang nyaman bahkan untuk para witch itu sendiri. Terasa akan sedikit goyah saat mereka telah menginjak tanah di tempat tujuan. Bagi witch yang belum terbiasa, hal terburuk yang bisa witch rasakan adalah muntah-muntah dan pusing luar biasa. Namun, semakin akrab mereka dengan Pemindah Raga, semakin sedikit efek yang dirasakan.Kilatan petir dan gelegar guntur membelah langit tertentu di tengah-tengah hutan sana. Para witch itu bergegas berlari dengan cepat menuju sumber kebisingan petir. Seseorang dari mereka sekilas melirik ke arah bayang-bayang tubuhnya sendiri.“Hantu Kisut mengikuti kita,” ia memperingatkan yang lain sambil terus berlari.Mereka semua sontak melirik bayang-bayang tubuh masing-masing yang tampak janggal dan terlalu solid untuk bisa disebut b
Hari saat kemunculan Hugo di rumah Aryadi ….Saga mendengkus saat matanya mengawasi lalu-lalang kendaraan dari jendela kamarnya. Mulutnya memberengut sementara tangannya bersedekap. Kesebalan tampak memenuhi ekspresi di wajahnya yang imut. Orang tua angkatnya tadi sempat memergoki Saga sedang saling telepon bersama Bara. Hanya menggunakan tatapan mengancam sewajarnya seorang ibu yang marah pada anaknya, ibu Saga memberi isyarat agar ia mengaktifkan mode loud speaker-nya. Begitu Bara mengatakan bahwa orang tuanya akan datang ke Bangka untuk menjelaskan semua hal pada gadis itu, orang tua Saga serentak melotot.“Kabari aku nanti,” balas Saga cepat-cepat saat Bara akan menutup teleponnya. Saga lekas berdiri dari tempat tidurnya sembari mengantongi handphonenya dan menatap kedua orang tuanya dengan salah satu alis dinaikkan. “Kenapa Mama harus menyuruhku—”“Seharusnya kau tidak perlu ikut campur urusan orang l
“Pa! Setidaknya kita harus melaporkan hal ini pada INDICENT, bukan?”Sudah seminggu sejak Saga menemukan rumah Mr. Aryadi yang acak-acakan. Namun, saat Saga memberitahukan perihal ini pada orang tua angkatnya, mereka menolak melakukan apa pun dan dengan tegas melarang Saga berkoar-koar tentang itu pada siapa pun.Setiap hari, setiap saat yang bisa Saga lakukan, ia selalu meluangkan waktu untuk datang melihat rumah kakek Bara lagi dan lagi. Saat masih belum ada juga tanda-tanda keberadaan dari para penghuni rumah itu, lagi dan lagi, Saga membiarkan dirinya melesat dan berkelebat ke sana-kemari, mencoba mencari ke mana keluarga itu pergi. Sejak hilangnya keluarga kecil itu, ponsel Bara sama sekali tak bisa dihubungi oleh Saga. Operator seluler selalu menjawab bahwa nomor yang dihubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.Pernah suatu hari Saga sampai harus mendatangi beberapa kota lain yang dekat dengan kota Koba, menanyakan tentang ciri-