Share

Scent Of Jealousy

You can be the moon and still be jealous of the stars.

-Gary Allan

And unfortunately, you both need the same sun to shine

-Kanietha

 --

“Esa! Apa ini?” Seorang pria tiba-tiba sudah berdiri di tengah pintu memandang heran. Menatap bergantian pada Esa, dan Hening yang masih dengan posisi berlutut.

“Pak Zaid. Bukannya Bapak sudah pulang?” ucap Esa sedikit terkesiap namun tetap tenang, karena pemilik dari tempat ia bekerja tiba-tiba mendatangi ruangannya..

Zaid kembali melihat Hening. Memperhatikan gadis itu sejenak. “Kamu anak Metro kan?” tanyanya pada Hening, dengan menyebutkan tempat di mana gadis itu bekerja.

Hening mengangguk menatap tegas ke manik Zaid. “Iya, Pak, saya Hening, kita pernah ketemu waktu grand launching bistronya Pak Zaid.” Hening menjelaskan.

“Berdiri sekarang juga!” perintah Zaid, tapi Hening bergeming tidak menghiraukannya. Zaid berdecak. “Esa! Pacar kamu?”

Esa menggeleng cepat.

“Saya adeknya Kak Esa, Pak,” celetuk Hening.

“Esa?” Zaid meminta penjelasan.

“Maaf Pak, dengan segala hormat, saya minta dengan sangat untuk tidak mencampuri urusan pribadi saya,” pinta Esa.

“Tapi kamu sekarang sedang menyelesaikan urusan pribadi di tempat saya!” seru Zaid yang tidak habis pikir.

“Saya mohon maaf Pak, saya permisi sebentar.” Esa menghampiri Hening dan meraih tangannya dengan erat, membawa gadis itu keluar ruangan.

Hening hanya bisa merunduk sopan untuk pamit kepada Zaid.

Genta sedikit menajamkan matanya, saat melihat sosok yang ia kenal sedang berjalan tergesa dengan tangan yang ditarik paksa oleh seorang pria. 

"Hening," gumamnya pelan lalu tubuh gadis itu menghilang menuruni tangga.

Setelah membawa Hening agak jauh dari resto, Esa menghempas kasar tangan gadis itu.

“Mending lo pulang sekarang! Gue masih banyak kerjaan!” Esa hendak berbalik, tapi Hening dengan cepat menarik tangannya.

“Kak, please! Dengerin gue bentaaar aja, Bapak itu cuma mau dengerin omongan lo, dan gue cuma butuh waktu dikit lagi buat ngumpulin duit, habis ini gue pergi, gue mau ke luar negeri!” tukasnya tanpa ragu sedikit pun.

Esa berbalik, menatap tidak percaya. Ia tertawa kering dan berkacak pinggang. “Lo? Mau ke luar negeri?  Mau jadi apa lo di sana? Otak lo itu pas-pasan.” Esa mendorong kepala Hening dengan telunjuknya. ”Mau jadi pembantu, lo di sana? Masak aja lo gak becus, bikin mi instan jadinya bubur! Apa mau jual diri lo, di sana? Hah!” bentaknya.

Hening hanya tertunduk lesu, karena semua yang dikatakan oleh Esa benar adanya. Hening tidak punya keahlian apapun kecuali menghajar orang dan … menembak, dalam artian sebenarnya, Bila hanya mengandalkan ijazah SMA nya saat ini, tanpa keahlian apapun mau jadi apa sesampainya Hening di luar negeri.

Sementara itu, Genta yang dapat melihat semua hal yang dilakukan pria itu terhadap Hening dari atas balkon resto, kini sudah mengepalkan tangannya. Ia masih berpikir untuk tidak mencampuri urusan orang lain meskipun dadanya saat ini memanas.

Esa menyugar rambut ke belakang. “Jangan lagi datang dan temui gue!” melangkah tergesa meninggalkan Hening yang kini sudah berjongkok menatap kosong.

“Emm Ra, gue tinggal ke belakang sebentar ya?” Genta beralasan karena ingin menghampiri Hening yang kini sedang meratap sendirian.

“Oke”

Genta bergegas turun ke bawah, tapi  saat baru selangkah berada di depan pintu keluar, ia melihat Zaid sedang berbicara dengan Hening. Ia mengernyitkan dahi dan tersenyum miring, lalu mengurungkan niatnya untuk menghampiri gadis itu dan pergi kembali ke atas.

“Hening?” panggil Zaid.

Hening mendongak buru-buru berdiri merapikan pakaianya. Ia tersenyum. “Iya Pak, maaf kalau tadi di dalam udah buat keributan. Kak Esa nggak salah kok Pak, sayanya aja yang emang lebay.”

Zaid bersedekap, menatap Hening sejenak. “Jadi, masalahnya sudah selesai?”

Hening mengerucutkan bibir, menunduk lalu menggeleng.

“Sebaiknya nanti di bicarakan lagi dengan kepala dingin, apapun itu masalahnya, mungkin kalian perlu waktu dulu untuk saling—”

“Saya yang gak punya banyak waktu, Pak!” seru Hening. “Udahlah Pak, terima nasib aja sayanya,” lanjutnya lesu.

“Maksudnya?”

Hening kembali menggeleng, lalu tersenyum, Biar kali ini ia mencari jalan keluarnya sendiri, karena percuma saja berbicara kepada Esa yang keras kepala itu. “Pak, Zoom Resto punya Bapak, juga?”

“Iya, Kamu belum jawab pertanyaan saya loh?”

“Saya nggak punya jawabanya sih Pak.” Hening meringis. “Pak, udah pasang iklan belum, kalau belum, boleh deh lewat saya pasangnya Pak.”

“Kalau urusan iklan, Saya hubungi ke manajer kamu langsung.”

“Yaaah Pak, batal deh dapat duit gede,” ujar Hening cengengesan. “Ya udah Pak, lain rejeki saya.” Ia merogoh tasnya lalu mengeluarkan sebuah kartu nama. “Tapi Pak, usaha boleh dong, ini kartu nama saya, kalau mau pasang iklan lagi, hubungi saya aja. Ya kali Pak duitnya dibagi-bagi sama saya yang cuma remahan keripik ini. Kalau Pak Ilham -Manajer Hening- kan gajinya udah besar, kalau saya kan—”

“Cukup Ning!” sela Zaid memijit pelipisnya. “Pusing saya dengar kamu ngomong. Iya, iya, nanti kalau mau pasang iklan, saya hubungi kamu.” Seraya menarik kartu nama dari jepitan jari Hening.

Hening melompat kegirangan. “Yeay! Beneran ya Pak, janji lho ya, nggak boleh bohong! Saya butuh duit soalnya.” 

“Oohh, jadi tadi ketemu Esa mau minjam duit? Apa mau minta? Butuh berapa sih?” Zaid mengambil kesimpulan sendiri, karena mengingat tingkah Hening saat ini sama seperti adik perempuannya yang sudah pindah keluar kota ikut dengan suaminya.

“Enggak, saya ketemu kak Esa bukan urusan duit, tapi urusan masa depan saya Pak.”

“Masa depan?”

“Iya! Oia Pak, saya mau ke sana dulu ya,” ucap Hening menunjuk rumah makan Padang sederhana yang berada tidak jauh dari tempatnya. Tanpa mau melanjutkan obrolan membahas masalahnya dengan Zaid. “Laper!” sambungnya singkat.

“Makan di tempat saya aja kan bisa, Ning.”

Hening menggaruk leher seraya menelan salivanya. “Langsung habis komisi saya kalau makan di tempat Bapak,” ucapnya lalu tertawa miris mengingat isi dompetnya saat ini. Sejak Hening mendapatkan pekerjaan, ia sudah tidak mau lagi menerima uang pemberian dari Ayahnya. Ia memutuskan untuk berdiri sendiri dengan hasil jerih payahnya. Oleh sebab itu, Hening menunda untuk melanjutkan ke jenjang kuliah dulu, karena ia benar-benar ingin seperti Esa, yang saat ini sudah bisa dibilang sukses membiayai dirinya sendiri dan lepas dari lingkungan kelam Ayahnya.

Zaid tertawa melihat wajah Hening. “Udah nggak usah dipikirin, sekalian temani saya makan.”

“Lain kali aja deh Pak, saya lebih suka sama ayam pop ketimbang steak,” bohong Hening yang sebenarnya tidak ingin bertemu kembali dengan Esa. “Makasih ya Pak.” Ia merunduk dengan sopan lalu bergegas pergi berlari meninggalkan Zaid.

Sementara itu, Genta di atas masih asyik berbincang dengan Ara, sambil sesekali melihat Hening dan Zaid di bawah sana. Entah kenapa ada hal yang mengusik pikirannya saat mengingat Hening.

“Jadi habis ini Mas Genta beneran pulang, istirahat aja di rumah, nggak ke mana-mana?” tanya Ara menyelidik.

“Iya, gue bukan ABG lagi yang demennya keliaran kalau malam minggu.”

“Terus, kapan kita ngedate lagi?” Ara kembali bertanya karena tidak bisa menampik, Genta merupakan pria yang sangat nyaman untuk diajak berbicara, selain tampan dan berlimpah harta tentunya.

Genta mengangkat kedua alisnya. “Lo, masih mau nerusin?” 

Why not? Apa Mas Genta gak tertarik sama aku?” tanya Ara to the point.

“Secara visual, lo cakep, banget malahan. Cuma kalau gue boleh jujur, gue gak ngerasain …” Genta mengetuk jemarinya ke meja, berfikir untuk mencari kalimat yang tepat. “Apa ya Ra namanya, semacam chemistry gitu lah. Lo ngerti kan maksud gue?”

Ara terkejut, tapi masih bisa menguasai diri hingga tetap terlihat tenang dengan memasang wajah poker face nya. “Kalau gitu, minggu depan Mas Genta harus jemput aku, kita bisa pergi nonton, atau ngelakuin hal yang kamu suka.” Ara menopang dagu dengan satu tangan, tersenyum menunjukkan lesung pipinya. “Yaah mungkin bisa sekalian ngebuktiin, kalau kamu memang masih tertarik sama perempuan,” pancing Ara.

Genta tertawa mendengarnya. “We’ll see aja lah, gue gak bisa janji, kalau gue bisa ya gue jemput.” Ia melirik arlojinya sekilas. “Udah sore banget, gue mau balik.”.

Genta mengantarkan Ara sampai ke mobilnya, pun membukakan pintu untuknya.

Namun Ara tidak langsung masuk, ia malah bersandar pada badan mobil, meraih ujung jaket kulit yang dikenakan Genta. “Salam buat tante Ruby sama om Isha ya.”

“Oke,” jawab Genta singkat dengan senyum miringnya.

Ara menarik jaket Genta sehingga membuat tubuh pria itu kini sudah tidak berjarak dengannya. Dengan cepat Ara menarik kerah jaket pria itu lalu membenamkan bibirnya mencoba menembus pertahanan Genta.

Genta tentunya tidak menolak, detik itu juga ia membalas pagutan mesra milik Ara. Dengan cepat, Genta tersadar dan menarik diri. Saat itu juga, manik Genta menangkap sosok Hening yang tengah menatap terkejut dengan mulut yang masih menganga. Dengan segera, Gadis itu memalingkan wajah dan melewati Genta menuju parkiran motor

“Aku boleh, telpon kamu, kan, Mas?” tanya Ara.

Genta bergeming, pikirannya teralihkan oleh Hening.

“Mas Genta?” Ara sedikit mendongak untuk menatap Genta.

“Ah, iya, apa?” sahut Genta sedikit menggeleng menyadarkan dirinya.

“Aku boleh telpon kamu kan?” tanya Ara sekali lagi.

“Boleh,” jawab Genta singkat karena ingin segera mengakhiri pertemuan itu. “Masuk gih, nanti kemaleman, hati-hati di jalan.”

“Oke!”

Begitu mobil Ara menjauh, Genta segera mengedarkan pandangannya untuk mencari Hening. Namun, sayangnya ia terlambat, karena gadis itu sudah pergi dengan mengendarai motor maticnya keluar dari parkiran Zoom Resto.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status