Share

Encounter

It begins with curiosity

~ Kanietha

“Mampus di tangan gue, lo habis ini!” Hening kembali mengancam Beni dengan suara pelan, tetapi begitu menghunus tajam.

“Janganlah Non, gue cuma disuruh buat nganterin lo doang. Entar urusan kelar, gue balikin lagi lo ke kantor tadi,” ucap Beni memelas.

Hening menoleh pada pria yang saat ini duduk di sampingnya. Pria itu bersedekap, dan menyilangkan kaki panjangnya.

“Terus kalau Bapak sendiri, disuruh siapa?” tanya Hening melempar tatapan tajam. Sama sekali tidak takut, meskipun tubuh pria itu layaknya binaraga dengan lekukan otot yang tersebar di sekujur tubuh. Setahu Hening, bapaknya tidak pernah punya anak buah yang bertubuh seperti pria yang ada di sebelahnya saat ini.

“Bapak? Gue?” Pria itu mengarahkan telunjuknya pada wajahnya sendiri.

Beni sontak tertawa mengejek mendengarnya. “Udah gue bilang Jon, muka lo itu boros banget! Wajar aja Non Hening manggil lo Bapak!” ujarnya lalu kembali melanjutkan tawanya.

Pria yang bernama Joni itu berdehem. “Jangan panggil Bapak, Non, gue masih seumuran sama Beni.”

Hening menatap tidak percaya. Karena, perawakan Joni dengan kumis tipis dan rambut belah tengah model jadul itu, membuatnya mirip seperti bapak beranak lebih dari dua. “Ya udah terserahlah! Jadi lo disuruh siapa?”

“Nanti sampai di sana juga Non tau sendiri,” ucap Joni.

“Tapi gue mau taunya sekarang!” sambar Hening, lalu beralih ke Beni. “Ben! Mau ke mana kita?”

“Ke Green Resto, Non.”

“Ada Bapak gue di sana?”

“Gak ngerti Non, tadi gue cuma dititipi pesan sama bang Riko buat nemenin Joni, jemput elo.”

Hening kembali menoleh ke Joni. “Masih belum mau jawab?”

“Bentar lagi sampe Non, tunggu aja,” ucap Joni yang masih kesal karena sempat dipanggil bapak oleh Hening.

Sesampainya di Green Resto, Hening segera dibawa ke lantai dua. Suasana di atas sangat sepi. Hening hanya melihat tiga orang, dua diantaranya bertubuh layaknya Joni. Dan ada satu pria lagi, cukup tampan menurutnya. Sekilas, pria itu mengingatkan Hening pada sosok aktor Mandarin yang sering berperan sebagai kakak Boboho yang diperankan oleh Jimmy Lin. Film yang sering ditonton oleh Hening dan emaknya pada kala itu. Seingat Hening, ia menonton film itu pada saat gadis itu masih SD.

Pasti Om Jimmy Lin sekarang udah berumur, masih cakep aja nggak ya tu orang, batin Hening.

“Silakan duduk,” ucap pria yang mirip Jimmy Lin, dengan menunjuk kursi yang berseberangan dengannya memakai dagunya.

Beni segera maju dan menarik kursi untuk Hening. “Silakan, Non,” ucapnya

Hening duduk bersandar, lalu bersedekap, memandang menyelidik penuh tanya. Selain mirip aktor Mandarin, pria di depannya kini mirip seorang yang tidak asing dengannya. Tapi siapa? Otaknya berpikir keras.

Pria itu mengkode agar semua orang di sekitarnya meninggalkan mereka berdua.

“Siapa ya?” tanya Hening tanpa basa basi

“Jadi, kamu yang namanya Hening?” Pria itu berdecak pelan, lalu menghela napas. “Lumayan, cuma kurang polesan aja, manis kok sebenarnya. Nggak sia-sia juga, sih, sampe dua kali, saya nungguin kamu.”

Hening mengernyit tidak mengerti. “Saya gak suka basa-basi,” ucapnya sesopan mungkin karena melihat gaya pria itu, yang sangat parlente. Pasti bukan dari kalangan sembarangan pikirnya.

“Dewa August Lee, kamu bisa panggil saya Dewa,” ucapnya santai, lalu menjentikkan jarinya memanggil seorang pelayan.

Lee? Marga Lee?

Hening membatin cepat. Merunut kejadian yang kemarin baru saja di alaminya. Otaknya bekerja kilat mengingat satu nama Abraham Lee. Apa pria di depannya kini adalah orang yang akan dinikahkan dengannya.

Hening berdehem, merubah posisi duduknya karena tidak nyaman. “Terus keperluannya apa, sampai harus bawa-bawa saya ke sini?” tanya Hening ingin mencari kepastian.

Pelayan datang menyela pembicaraan mereka dan mencatat pesanan ke duanya.

“Kamu sudah tahu kan, kalau kamu mau dinikahkan sama bapak kamu?”

Hening mengangguk dengan tenang. “Apa kamu orang yang mau dinikahkan dengan saya?”

Dewa hanya memberinya senyuman miring, tatapannya hampir seperti merendahkan dan meremehkan gadis itu.

Hening berdiri. Sedikit mencondongkan tubuh memegang sisi meja dengan kedua tangan. “Maaf, tapi, sepertinya saya tidak tertarik untuk melakukan pernikahan ini. Silakan kamu cari perempuan lain yang bisa ditukar tambah dengan semua kesepakatan kotor yang ada di dalamnya. Tapi yang jelas, perempuan itu bukan saya. Permisi!” ucap Hening dingin serta tajam.

Dewa segera berdiri dan memerintahkan pengawalnya untuk menghalangi Hening pergi dari sana.

Pelayan yang hendak mengantarkan minuman pun akhirnya mundur teratur. Tidak ingin ikut campur, karena takut melihat para pengawal yang bertubuh tegap itu.

Hening pun berbalik, memutar bola matanya malas. Menatap dingin kepada Dewa yang tengah berjalan menghampirinya. “Saya belum selesai bicara sama kamu, jadi jangan coba-coba pergi sebelum saya suruh pergi,” ucap Dewa tidak kalah dingin.

Tangan Dewa sudah terangkat hampir meraih dagu Hening, tetapi, dengan cepat gadis itu mencengkramnya sehingga membuat Dewa terkekeh. “Untuk ukuran gadis seperti kamu, cengkraman kamu ini kuat banget, sepertinya kamu suka main kasar.”

“Dewa!” teriak Esa yang setengah berlari menghampiri Hening. Namun baru setengah perjalanan tubuh Esa langsung dihalangi oleh dua orang bodyguard Dewa. “Jauhin tangan lo dari Hening.”

“Kak Esa?” Hening mengerjap. Memastikan pria yang berteriak tadi adalah benar-benar kakaknya.

“Hai, Sa! Atau … hai, Kakak Ipar?”  sapa Dewa mengejek.

Hening segera menghempas tangan Dewa dan menendang keras tulang keringnya, sehingga membuat pria itu tertunduk dan mengaduh. Ia bergegas lari menghampiri Esa, seraya memanggil Beni agar berada di pihaknya.

“Tahu dari mana gue ada di sini?” tanya Hening pada Esa, tetapi tidak mendapat jawaban sama sekali.

“Jauhin Hening, Wa,” titah Esa lantang dan sudah berkacak pinggang. “Lo bisa cari cewek yang selevel sama lo, dan keluarga lo!”

Kali ini Hening yang berkacang pinggang, menatap tidak percaya dengan apa yang di katakan Esa. “Tujuan lo ke sini apa sih Kak, sebenarnya? Jangan plin plan jadi orang!”

“Dasar nggak tau terima kasih lo!" sentak Esa.

“Bukannya lo sendiri yang bilang nggak mau urus—”

“Berisik!” potong Esa menarik tangan Hening untuk segera pergi dari sana. Namun, tidak semudah itu, karena Dewa dengan sigap menarik tangan Hening yang satu lagi.

“Hei Sa! Gue masih ada urusan sama calon istri gue!” Mata Dewa mengkode bodyguardnya agar menahan Esa. Seketika tubuh Esa kini sudah di kelilingi oleh tiga orang bertubuh tambun nan tegap.

“Ckckck, begini kalau berhadapan sama pengecut, mainnya keroyokan!” cibir Hening menatap Dewa tajam, tepat di bola mata yang kecoklatan, tanpa rasa takut sama sekali.

“Jadi ini, yang katanya bisa kamu selesain sendiri Sa?” ujar Zaid sembari berjalan menghampiri Esa. Zaid melinting lengan bajunya hingga memperlihatkan sebuah tato kecil di pergelangan tangan. Hening menajamkan matanya, sepertinya ia tidak asing dengan tato tersebut.

Namun, tidak hanya Zaid tentunya, tiga berandal yang lain juga berada bersamanya. Genta, Zio, dan Hans. Mereka tidak mungkin membiarkan Zaid pergi sendirian saja, ketika melihat raut wajah sahabatnya yang sangat khawatir dengan Esa.

Mata Hening membulat sempurna. Tidak percaya dengan apa yang dilihat saat ini. Bolehkah kali ini ia sedikit berbangga diri dan menandai hari ini sebagai sebuah pencapaian tertinggi untuknya. Total ada enam pria tampan yang kini siap memperebutkannya.

Apa? Memperebutkan?

Baiklah itu terlalu berlebihan. Meskipun salah satunya ia masukkan ke dalam peran antagonis. Paling tidak, hari ini akan jadi hari bersejarah dan tidak akan dilupakan bagi Hening, untuk seumur hidupnya.

Hening menyipitkan mata sejenak, saat melihat Genta berada di antara pria tampan tersebut. Ia tidak kaget melihat Zaid karena Esa punya hubungan dengan pria itu. Namun, Genta? Apa Genta juga mengenal Esa hingga mau ikut campur dengan urusan mereka. Bahkan, Hening sempat mengira ketiga pria tampan yang dibawa Zaid adalah pengawalnya.

“Sekarang siapa yang pengecut? Kalian ada tujuh orang, termasuk Beni,“ ucap Dewa lalu tertawa kering memberi sindiran kepada Hening.

“Takut hah?” Hening kembali mencibir, lalu tersenyum miring. ”Saya gak perlu mereka semua, kalau cuma berhadapan sama satu orang laki-laki seperti kamu.”

“HENING!” bentak Esa.

Para berandal yang mendengarnya terkesiap takjub dengan nyali gadis muda itu. Tidak terkecuali Genta, yang hanya bisa tersenyum miring dan menggeleng.

Dewa kembali tertawa, tetapi kali ini tawanya ringan. “Gue suka sama cewek kayak lo!” Seru Dewa memandang Hening dan tidak lagi memakai bahasa formal kepadanya. “Nyali lo, boleh juga. Penasaran gue.”

“Tapi, gue gak suka sama lo!” Hening berucap dengan menyentak kedua tangannya agar terlepas dari pegangan Esa dan Dewa. Lalu, ia mundur selangkah memasang kuda-kuda dengan mengepalkan kedua tangan di depan dada menantang Dewa. “Maju Lo!”

Kalau hanya menghadapi seorang pria seperti Dewa, Hening tidaklah gentar. Dirinya memang tidak pernah mengikuti pelatihan bela diri secara formal di sebuah dojo, perguruan silat, atau tempat sejenisnya. Namun, berada di lingkungan preman, dengan seorang ayah yang notabene merupakan seorang ketua preman, membuat Hening tidak asing dengan semua hal mengenai martial art. Setiap minggunya Hening selalu menjadi salah satu sparing partner bagi ayahnya, dan hal itu dilakukannya sedari kecil.

“Astagaaa … HENING!” Esa yang sudah tidak tahan dengan tingkah sembrono adiknya itu, segera mengangkat tubuh Hening lalu menelungkupkan ke bahu kanannya.

“Kak ESA! TURUNIN GUE!” teriak Hening. Tangannya kini sibuk memukul punggung Esa.

Esa menunjuk Dewa. “Cukup sampai di sini Wa, jangan libatin adek gue, atau gue gak akan segan sama lo!”

Dewa hanya terkekeh, tidak takut dengan semua yang dikatakan Esa. “Kita lihat aja nanti Sa, tadinya sih gue nggak terlalu antusias, tapi setelah lihat Hening barusan, gue jadi semakin tertarik sama adek lo!" Dewa melangkah pergi meninggalkan Esa, diikuti ketiga pengawalnya seraya tertawa lepas saat mengingat tingkah Hening.

Esa berbalik, menurunkan Hening dari gendongannya, Sedikit meringis nyeri pada punggungnya yang terkena pukulan bertubi oleh adiknya itu. Namun, ia tidak melepaskan tangan gadis itu agar tetap bersamanya. “Pak Zaid, terima kasih, tapi harusnya Bapak nggak perlu repot-repot seperti ini, Bapak—”

“Kalau kamu yang ada di posisi saya, apa kamu bisa diam aja ngelihat karyawan kamu lagi dalam kesulitan? apalagi seperti tadi?” jawab Zaid tegas.

“Kak Esa emang begitu Pak, keras kepala, apa-apa mau di selesei sendiri, semua-semu—"

“HENING!” Bentak Esa dan Zaid bersamaan.

Hening terdiam, melipat bibirnya tidak lagi berani berbicara.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
woah ngga cocok sama namanya..ck
goodnovel comment avatar
Jasmin Mubarak
untung cm nm aja yg hening klo mulut nya ikt hening jd repot 😃😃😃😃😃😃
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status