Share

First Kiss

One kiss could bind two souls in a second.

-Unknown

--

Hampir lima menit, Dewa hanya diam memandang Hening yang duduk berseberangan dengannya. Keduanya kini berada di VIP room sebuah restoran, yang memang dipesan khusus oleh Dewa, untuk makan siang bersama gadis itu.

Insting Dewa memang tidak salah. Seperti yang pernah ia katakan pada Hening, saat pertemuan pertama, gadis itu sebenarnya manis dan hanya butuh sedikit polesan saja. Alhasil, Hening akhirnya bisa tampil luar biasa seperti sekarang.

Bertemu dan bergaul dengan para wanita cantik nan seksi, bagi Dewa adalah hal biasa. Namun, hanya Heninglah gadis yang memiliki nyali besar, dan berani menantangnya tanpa ragu. Hal tersebutlah yang membuat Dewa semakin penasaran dan ingin kembali bertemu dengan gadis itu.

Hening menelan ludah, dan melebarkan mata, saat melihat satu porsi chicken cordon bleu baru saja disajikan oleh pelayan di depan mata. Meski cacing di perutnya sudah berteriak memberontak, tetapi Hening masih bergeming menahan gengsinya.

“Hening.” Akhirnya, Dewa membuka mulut. “Bisa nggak, jari-jari lo itu nggak mainin bibir dari tadi?”

Hening hanya diam, tetap matanya mimicking tajam. Ia tidak mengerti dengan apa maksud dari kata ‘main’ yang sebut oleh Dewa. Jemarinya sedari tadi memang tidak bisa diam. Sibuk menghapus lipstik yang terasa berat melekat di bibir, dan tidak ada maksud apapun di balik itu.

Namun, tidak bagi Dewa. Apa yang dilakukan Hening tersebut, telah membangkitkan sebuah hasrat terdalamnya. Warna pink cerah alami dari bibir Hening, semakin menarik perhatian Dewa. Karena itu, ia segera berdiri menghampiri gadis itu dan duduk di sampingnya.

“Kalau mau ngomong, dari tempat tadi juga bisa,” ucap Hening dengan ketus. “Gue denger, kok, nggak perlu sampe duduk di sini.”

Dewa berseringai. “Gue, cuma mau ngerasain appetizer dulu kok.”

Tangan kanan Dewa terjulur cepat, berniat meraih wajah Hening. Namun, karena sudah hafal dengan gerakan reflek Hening, maka Dewa segera menangkap tangan gadis itu. Dengan gerakan cepat pula, Dewa meraih tengkuk gadis itu dan menyatukan bibir mereka.

Hening terbelalak seketika. Tubuhnya menegang, bergeming dengan debar jantung yang tidak karuan.

1 detik

2 detik

3 detik

Waktu berlalu, tetap Hening tidak mampu melakukan apapun. Otaknya seolah kosong, dengan bibir yang masih mengatup rapat dan napas yang tertahan.

Dewa menarik diri. Terkekeh puas ketika melihat ekspresi gadis itu. “Napas, Ning!” 

“LO!” Hening menggeleng menyadarkan dirinya. Ia segera berdiri dengan wajah memerah. Kesal setengah mati dan menendang kaki kursi yang diduduki Dewa dengan keras.. Tangan kanannya sudah melayang, hendak memberikan tamparan untuk Dewa. 

Namun, Dewa tidak kalah gesit. Ia berdiri, dan menahan tangan yang sudah melayang ke arahnya. Dewa menarik tangan tersebut, dan semakin menghabiskan jarak antara mereka. “Kalau dicium itu, balasnya dengan ciuman juga, bukan tamparan.” 

“Gue nggak terima dicium sama lo!” Ketus Hening hampir berteriak. Lantas, ia mengusap bibirnya dengan punggung tangan berkali-kali.

“Kalau gitu gue balikin lagi!” Dewa dengan sigap menarik pinggang ramping Hening. Namun, tidak semudah itu. Kaki Hening sudah melayang dan ujung high heelsnya langsung membentur tulang kering Dewa dengan keras. 

“Ning!” Dewa merunduk, dan sibuk mengumpat karena nyeri yang teramat sangat.

“Gimana? Enak? Mau lagi? Gue beri lagi lo, kalau berani macam-macam sama gue!” 

Hening kesal. Ia marah dan ingin segera pergi dari sana. Namun … ia lapar. 

Matanya melirik chicken cordon bleu yang mungkin mulai mendingin. Kemudian, ia menghela pelan. Hening mengitari meja, lalu mendaratkan tubuhnya di tempat duduk Dewa. Dengan cueknya, Hening memasukkan potongan daging ayam yang berisikan keju dan smoked beef itu ke mulutnya. Tanpa menghiraukan Dewa, yang saat ini sedang menatapnya dengan kesal.

Akhirnya Dewa pun duduk. Karena tidak ada lagi yang hendak dilakukan, ia pun juga menyuapkan makanan dengan segera. Mereka terdiam, dan tidak ada percakapan lagi setelahnya.

“Gue mau balik!” Setelah menghabiskan makanannya, Hening segera berdiri dan ingin segera pergi meninggalkan ruangan tersebut.

“Gue antar.”

“Gak perlu!” tolak Hening ketus. “Gue ke sini diantar Joni, jadi balik dia juga yang antar!” 

Langkah Hening terhenti, saat melihat seorang wanita cantik, tinggi, dengan kulit putih terawat berjalan masuk dengan angkuhnya. Wanita itu yang mengenakan pakaian seksi itu, menghampiri Dewa dan memberi tatapan tidak ramah kepada Hening. 

Kemudian, Hening berdecih. Merasa jijik saat melihat wanita tersebut menunduk dan memberi kecupan lembut pada pipi Dewa.

Dewa berdiri tergesa, agar wanita itu tidak melakukan hal yang lain lagi di depan Hening. “Ngapain lo ke sini?” 

Wanita itu duduk di kursi yang ditempati Dewa. Menyilangkan kaki dengan anggun dan mengekspos paha putih yang mulus dan jenjang. “Kebetulan gue ada di sini. Tadi kata siska, lo ada di sini juga. Jadinya gue mampir. Nggak papa, kan?”. Pandangannya kemudian beralih kepada Hening, meremehkan. “Cewek baru lo, Beb?”

Hening bersedekap, menatap tidak suka pada wanita tersebut.

“Gue udah mau pergi,” kata Dewa mengabaikan pertanyaan wanita itu. “Lo masih mau di sini?” 

Wanita itu tersenyum miring. Berdiri, lalu melangkah menghampiri Hening dan mengulurkan tangannya. “Kenalin, gue Anira Deandra, mantan istri Dewa. Panggil aja gue Dea,” ujarnya memperkenalkan diri dengan jemawa. “Oh iya, meskipun mantan, kami sesekali masih tidur bareng loh.” 

“Hening,” ucapnya menjabat uluran tangan Dea dengan cepat. Namun, wajahnya seketika berubah datar saat beralih menatap Dewa. Pria itu, ternyata termasuk dalam jajaran pria berengsek yang tidak bisa dipercaya.

Dewa yang malas menanggapi perkataan Dea itu, segera menggamit tangan Hening menautkan jemari mereka. “Sudah kenalannya, kan? Gue mau antar calon istri gue pulang dulu.”

“Calon istri?” Dea tertawa mengejek. Menelisik Hening dari ujung rambut sampai kaki. “Lulusan dari mana lo? Keluarga lo, maksud gue, bokap lo kerjanya apa? Pejabat apa pengusaha? Kayaknya gue nggak pernah lihat lo keliaran di kalangan kami deh!” 

Rahang Hening mengeras, dan kedua tangannya mengepal erat, di mana salah satunya meremas tangan Dewa. Hening merasa diremehkan, direndahkan dengan semua perkataan Dea. Ia memang bukan siapa-siapa, bahkan tidak memiliki hal yang bisa di banggakan. Mirisnya lagi, ia hanyalah seorang anak dari ketua preman.

Dewa sadar betul apa yang dirasakan Hening saat ini. “Jaga omongan lo De, atau uang bulanan lo gue stop.” Walaupun sudah bercerai dengan Dea, pria itu tetap memberikan uang bulanan sebagai tunjangan hidup untuk mantan istrinya.

Dea berdecak kesal. Kalau sudah begini, itu artinya Dea harus mundur. Meskipun ia juga bisa menghasilkan uang dari pekerjaannya sebagai model, tetapi, mana mungkin Dea mau menyia-nyiakan pemberian Dewa. 

“Lo bener calon istri Dewa?” Dea melemparkan pertanyaan lagi. “Kok gue nggak percaya sih?” Tatapannya beralih ke Dewa, bersedekap. Membuat bagian dadanya semakin menonjol keluar. “Gue tau selera lo, nggak gini Wa.”

Hening reflek menunduk dan memandang dadanya sendiri. Spontan, pikirannya membandingkan miliknya dengan milik Dea.

Astagaaa … besarnya dua kali punya gue! Hening membatin dan tidak habis pikir.

Berat nggak sih bawa yang sebesar itu ke mana-mana? lanjutnya masih membatin heran, dan sedikit takjub. Namun, Hening segera menggeleng dan mengenyahkan pikiran absurdnya yang semakin menjadi-jadi di kepalanya.

Dewa menatap bingung ke arah gadis itu. Tangan Hening sudah melonggar dan wajahnya pun tidak lagi mengeras seperti tadi. Tiba-tiba saja, terbersit satu pikiran nakal di kepala Dewa untuk menjawab pertanyaan Dea.

Untuk itu, secara tiba-tiba Dewa menarik tubuh Hening lalu kembali menyatukan bibir mereka di depan mantan istrinya. Dengan durasi yang lebih lama, Dewa lebih bisa mengeksplor semua yang diinginkannya. 

Sekali lagi, Hening menahan napas dengan tubuh membeku. Tangannya hanya mampu meremas erat, pinggiran kemeja yang dikenakan Dewa. Membiarkan hal tersebut terjadi, agar Dea sadar diri dan tidak bersikap pongah.

Melihat hal tersebut di depan mata, Dea jelas langsung memilih pergi. Tanpa kata, dan tanpa menoleh lagi pada sejoli yang tidak memedulikannya sama sekali. 

“Ck, napas Ning, napas! Lo kayak—" Dewa menggeleng pelan setelah menarik diri. Ia menyentuh lembut bibir Hening yang terlihat sedikit tebal, dan masih basah itu. 

“Napas!” Hening mengerjap. Memiringkan kepalanya dan berusaha mengenyahkan sensasi yang baru saja dirasakannya.

Dewa ikut mengerjap melihat wajah polos Hening. Kemudian, terlintas sesuatu di benaknya. “Sebentar,” katanya dengan membenarkan posisi kepala Hening yang masih  miring. “Lo belum pernah …”

Hening melipat bibir dan menggeleng cepat karena mengerti maksud Dewa. Ia hanya diam, dan tidak melempar satu patah kata pun.

Dewa tiba-tiba tertawa renyah. Semua rasa kesalnya hilang seketika, saat mengetahui bahwa dialah orang pertama yang menyentuh bibir Hening. Lantas, ia kembali menautkan jemari mereka dan membawa Hening keluar dari ruangan tersebut. “Lo balik sama gue.”

Mereka berjalan bersisian seraya bergandengan tangan dalam diam. Kali ini, Hening hanya diam menurut dengan Dewa. Ada suatu perasaan yang tidak dimengerti Hening saat ini, dan ia masih berusaha mencernanya.

Sialan! Otak gue buntu! Emang dasarnya udah buntu juga, ditambah tadi! Astagaaa … gue pengen lagi! Ooh bego lo Hening! BEGO! Hening tak berhenti mengumpat dalam hati karena ulah Dewa barusan. 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ike Rahma
namana pada sama...
goodnovel comment avatar
Yunianingsih Surya
aaah ini novel baru yaa mbak, kok aq baru tau yaa.... Pdhal smw novel mbak kanietha aq ikutin loh.....
goodnovel comment avatar
h-d
sampe part ini kok aku ngarepnya hening sama dewa yak? biar dewa juga tobat jadi preman elite... mewujudkan impian hening untuk hidup normal like the others..........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status