Tanpa berbicara, entah siapa dia mendorongku masuk ke dalam mobil. Baiklah, adanya dia memang menolongku agar wajah kacauku tidak muncul dalam berbagai majalah maupun internet pada esok pagi, tapi aku mulai takut saat dia mengemudikan mobil layaknya pembalap liar. Bunyi klaksonnya bisa membuat siapapun tuli.
"Kau bisa membuka jaketku sekarang." Suara berat khas pria terdengar.
Pikiranku menerawang kemana-mana. Bagaimana kalau dia berniat menculikku, lalu meminta tebusan pada ibuku yang jauh berada di Hungaria? Bagaimana kalau dia satu dari sekian orang yang memberikanku teror? Bagaimana--?
"Tidak ada untungnya bagiku untuk menculik wanita dewasa. Tetapi untuk bercinta denganmu patut ku pertimbangkan." Nafasku tertahan. Benar kata Emily Campbell –sahabatku, hari kamis memang bukanlah hari keberuntunganku. Lihat saja aku baru saja diselamatkan oleh pria mesum.
Dengan ragu-ragu aku menyingkirkan jaket miliknya dari wajahku. Mataku seketika disuguhkan dengan sosok pria berkemeja coklat dibalik kemudi. Dia menggulung lengan kemejanya hingga mencapai siku. Kemudian hal yang terlintas dalam benakku selanjutnya ialah; tidakkah dia kedinginan? Faktanya dia membiarkan 3 kancing teratas bajunya terbuka dengan kondisi London yang hampir mencapai suhu 2 derajat celicius. Ah ya, tadi dia melepaskan jaketnya untukku.
"Rasanya aku tidak mendengar ucapan terima kasih." Sarkasnya sembari matanya tetap lurus memandang jalanan. Ku intip dirinya diam-diam (lagi). Walaupun dengan rambut acak-acakan dan setumpuk tattoo yang menempel pada lengan kirinya, tetapi itu tidak mengurangi pesona pria tersebut. Astaga, apa yang baru saja ku pikirkan?
"Kenapa kau menolongku? Kau pasti mempunyai maksud tersembunyi, kan? Akui itu!" Tuduhku berkoar-koar.
Tawa hambarnya tiba-tiba saja meledak sebelum ida memberikan tatapan selayaknya menelanjangiku. "Ya, aku penjahat. Oleh karena itu aku akan langsung membawamu ke motel untuk ku setubuhi, lalu ku bunuh. Apa itu yang kau inginkan?"
Bulu kudukku meremang, diikuti keberanianku yang terjun bebas mencapai titik terendah. "Turunkan aku. Kau bisa mengambil ponsel dan dompetku. Jadi... tolong turunkan aku."
"Tidak mau."
"Brengsek."
Mobil tiba-tiba di rem secara mendadak, membuatku nyaris terpental ke dashboard. Pria mesum itu dengan lancangnya menyentuh pinggangku. Sontak aku berusaha mendorong, namun yang ku terima justru rengkuhannya yang semakin erat. Garis wajahnya tergambar keras, seakan menjelaskan bahwa amarah mendominasi. Mungkinkah sebutan kasarku menyakitinya? Tidak. Seharusnya akulah yang kesal selepas diperlakukan seperti tadi.
Campuran mint dan asap rokoknya berhembus menyapaku. Hijau matanya terpancar menghakimi. Aku belum pernah terjebak oleh sepasang mata manapun, termasuk Julian sekalipun.
"Penilaianku keliru. Ternyata kau sangatlah menggairahkan." Di saat itu aku mendorong salivaku secara paksa melalui kerongkongan. "Terlebih tatapanmu mencerminkan betapa tidak berdayanya dirimu di hadapanku. That's turn me on so bad."
"Kau bajingan gila!" Pekikku selepas mendapatkan kesadaranku.
Dengan ubun-ubunku yang nyaris pecah, aku hendak membuka pintu mobil secepat kilat. Aku harus lari dari kegilaan ini! Namun kegesitanku tak sebanding dengannya, sebab dia terlebih dahulu menarik pergelangan tanganku. Detik selanjutnya pinggangku direngkuhnya, tetapi kali ini sentuhannya terasa lebih manusiawi. Gurat amarahnya hilang, tergantikan oleh senyum tipis.
Ketik dia semakin mengikis jarak, aku mulai berpikir dia berniat memanfaatkan kesempatan untuk menciumku. Pun aku hendak menamparnya sebelum pria ini melakukan sesuatu yang tak terduga, "Akan merepotkan jika kau mati di mobilku." Dia menarik seatbeltku dalam satu gerakan, menjadikanku segera membuang muka. "Jangan berpikiran mesum, Nona. Bajingan gila ini hanya akan memakaikanmu sabuk pengaman."
Sudah satu jam kami berputar-putar di daerah yang sama. Setelah rasa maluku berkurang, aku pun buka suara. "Turunkan aku di sini. Kekasihku akan datang menjemput."
"Kau memiliki kekasih?"
"Ya."
"Siapa namanya? Apa dia lebih tampan dariku?" Aku mendelik risih ke arahnya. "Ah ya, sudah ku duga jika aku lebih tampan. Kaku sekali. Katakan saja kalau kekasihmu jelek."
"Hey! Julian yang paling tampan."
Dia menganggukan kepala tidak jelas. "Nama yang buruk. Omong-omong kau tidak penasaran dengan nama pria yang sudah menyelamatkanmu?"
"Tidak."
Duh, kenapa kami malah jadi berbincang?
Pria tersebut terkekeh seolah ada yang lucu. Dia mengidap bipolar, ya? "Kalau begitu sebutkan tempat tinggalmu. Aku akan mengantarkanmu."
"Cukup turunkan aku di sini. Apartemenku sangat jauh." Ya, aku memang berbohong. Bagaimanapun juga aku tidak mau ada orang asing yang mengetahui tempat tinggalku, terlebih orang aneh seperti dirinya.
"Okay. Kau yang meminta. Kalau begitu kita akan mengelilingi London sampai besok pagi."
Oh, astaga!
"Apartemen Ontario!" Di akhir aku menyerah, menjerit dengan seluruh kekesalan. "Kau puas?!"
"Kita bahkan belum sempat bersenang-senang. Bagaimana bisa kau menganggap bahwa aku sudah puas?"
Dasar, orang gila!
Aku memandangi resah jam yang melingkar dipergelangan tangan kiriku. Entah mengapa, bagiku detiknya terasa berjalan sangat cepat."Emily, aku harus pergi sekarang. Aku tidak ingin terlambat." Sudah berkali-kali aku berbicara dengan kalimat yang sama, tetapi Emily Campbell masih menyeretku keluar masuk satu persatu outlet mall."Sebentar lagi, masih ada yang ingin ku beli." Emily berjalan mendahuluiku dengan menggenggam seluruh belanjaannya, sementara aku hanya mengekor pada sahabatku ini.Emily bisa dibilang sama dengan gadis kebanyakan, matanya akan menggelap jika sudah melihat barang baru terpampang. Berbanding terbalik denganku. Aku hanya berbelanja jika aku benar-benar membutuhkan suatu barang."Lily, bisa aku meminjam uangmu? Kartu kreditku sudah limit." Pinta Emily diikuti cengiran kudanya."Tentu saja." Aku merogoh dompetku, lalu memberikan kartuku padanya."Aku akan segera menggantinya.""Tidak usah kau pikirkan. Setelah ini aku benar-benar harus pergi." Emily pun mengangguk de
Pria bernama Alex Willis melayangkan tatapan padaku dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya menyeringai lebar begitu jatuh di dadaku. Refleks aku menutupi bagian atas tubuhku yang hanya berbalut tanktop putih tipis. Baru dua kali bertemu, dan aku bersumpah sudah sangat membencinya!"Jaga matamu, pria mesum."Alex tergelak singkat. Dia sepertinya senang dicap dengan sebutan demikian. Setelah selesai dengan kegiatannya tidak senonohnya Alex pun mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu lagi, Lily Cansas."Ada penekanan saat dia menyebutkan namaku. Serak dan rendah suaranya menjadikan namaku terdengar lebih seksi. Diam-diam aku mencubit paha sendiri, sekedar mengirimkan sensasi dalam diriku supaya tersadar bahwa selama beberapa detik aku sempat gila.Situasi di mana Julian tengah menerima telpon, Alex manfaatkannya dengan mengedipkan sebelah mata. Aku seketika bergidik ngeri. Genit sekali. Aku tidak berminat jika setiap hari harus menghabiskan waktu bersama orang yang jelas-jelas be
Aiden si desainer, datang terpogoh-pogoh melihatku terjatuh dengan posisi yang super memalukan. Diikuti Emily dan beberapa model lainnya. Aku butuh tempat bersembunyi."Honey, apa kau terluka?" Suara baritone klas pria terdengar cemas, begitu berbanding terbalik dengan tampilan feminim Aiden. Sebenarnya jatuhnya tidak begitu sakit, malunya yang luar biasa sulit walau sekedar mengangkat dagu sendiri. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku singkat, tanda aku baik-baik saja.Aiden hendak membantuku bangun, namun ku rasakan telapak tangan besar terlebih dahulu menyentuh pinggangku. Aku menoleh, ternyata Alex. Bukankah tadi dia pergi? Tak hanya membantuku bangun, Alex langsung gesit menggendongku. Apa-apaan dia?"Biar saya lihat dulu keadaan Lily. Anda semua bisa memulai latihannya lagi." Ucap Alex tegas. Tanpa berbicara lagi, dia berbalik meninggalkan kerumunan dengan diriku yang ada di dekapannya."Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Spontan aku menggerakkan tubuhku. Aku takut pipiku
Kata-kata yang dilontarkan Alex Willis terus berulang. Ciuman singkatnya juga masih membekas. Pria itu tanpa berkata apapun meninggalkanku yang berhasil mematung selama beberapa menit di area parkir. Mungkin Alex berubah pikiran, lebih setuju untuk pergi ke bengkel mobil, ketimbang menyaksikan runwayku."Lily, ini pakaianmu. Segeralah bersiap." Suara Aiden menyadarkanku. Aku menerima dress dengan warna dominan putih dan aksesoris kecil pada bagian depan, pakaian semi formal untuk menghadiri pesta.Dalam dua menit aku sudah siap, diikuti dengan makeup artist yang memoles tipis sekitaran wajah dan leherku. Berdiri tepat di belakang Emily Campbell, kami saling memberikan semangat lalu tertawa untuk menghilangkan rasa gugup. Biasanya aku tidak setegang ini. Semoga saja semua berjalan lancar.Menghela nafas, aku mengangkat daguku lurus dan tatapan mataku seketika berubah menjadi tajam, namun tetap hangat –itulah yang selalu berbagai majalah kerap katakan disetiap ulasan mereka. Aku berjalan
Bukankah itu suara Julian?Aku meronta dari tubuh Alex yang sedang sibuk menjamah leherku. Dia seperti tidak ambil pusing dengan fakta bahwa kami tengah tertangkap basah. Bahkan nafasku kian tertahan sewaktu Alex memberikan gigitan kecil dan hisapan di sana.Dia menandaiku."Alex... hentikan." Suaraku terputus, antara ingin mengerang dan menyudahi aksi gila kami. Tangan Alex dengan berani menggerayangi bagian bawah tubuhku. Jemarinya berlarian di bagian dalam pahaku, membentuk pola berantakan. Begitu dia akan bertindak lebih jauh, mataku terbuka lebar dan langsung mendorong dadanya."Relax, baby. Kita bercinta sekalipun kekasihmu tidak akan tahu."Alex menyengir tanpa rasa bersalah. Sementara dengan nafasku yang masih terengah, dia turun dari mobil untuk menyapa Julian. Alex jelas sedang mengulur waktu agar aku merapihkan kekacauan akibat ulahnya. Dengan gugup aku menyisir rambutku asal menggunakan jari, begitupun pakaian bawahku ku rapihkan cepat-cepat. Setelah membuka pintu mobil, ak
Aku tidak henti memaki Alex dalam hati, merutuki setiap perkataan dan perlakuan pria tersebut padaku. Apa yang sebenarnya ada di dalam pikirannya?! Dia sudah menciumku dua kali! Dia juga mengatakan ingin menikahiku! Kami bahkan baru saling mengenal beberapa hari. Namun bukan berarti jalan pikiranku akan berubah seandainya aku dan Alex sudah mengenal selama satu bulan, satu tahun, bahkan satu tahun sekalipun.Kenapa Alex kian mempoposisikanku dalam keadaan yang sulit?Menjatuhkan tubuhku di ranjang, aku membenambakan wajah pada tumpukan bantal empuk. Tanpa beranjak, aku meraih ponselku yang berada di atas nakas dan mencari nomor Julian."Hallo say- oh, shit! Hentikan."Dahiku seketika mengerut mendengar suara Julian. "Julian, apa yang terjadi denganmu? Apa ada masalah?""Tidak ada apa-apa, Lily. Tadi ada office boy yang menumpahkan kopi ke celanaku.""Aku kira ada a-" Ucapanku terhenti ketika mendengar jelas gelak tawa seorang wanita. Pikiranku mulai bercabang, memikirkan berbagai kemun
Rabu siang ini berjalan lancar. Tidak ada kejanggalan bahwa penjahat tempo hari akan kembali menjalankan aksinya. Seselesainya sesi pemotretan untuk sebuah majalah remaja, Alex langsung mengantarkanku pulang. Di pelataran basement, tanpa turun dari mobil, dia bilang akan bergegas pergi ke sebuah perusahaan. Ya, pria ini baru saja mendapatkan panggilan kerja, namun bukan perusahaan tempat Julian bekerja. Aku menarik kesimpulan dia melamar ke beberapa tempat."Wish you luck! Dan dengan begitu kau akan segera berhenti menjadi bodyguard payahku."Aku terkekeh, walau sebenarnya aku tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanku. Memang, akan bagus jika Alex mendapatkan pekerjaan yang benar-benar diinginkannya, namun jika ia diterima, itu berarti cepat atau lambat ia tidak akan berada di sisiku lagi."I know, you don't mean it." Tanpa ku duga Alex merangku. Sadar bahwa dia mulai bertingkah sekenanya, aku menarik tubuhku menjauh. Tenaga pria ini ku akui sangat besar, saat dengan mudahnya dia kembal
Bel sudah berbunyi lebih dari tiga kali. Tetapi aku dan Julian tetap tidak terpengaruh, apalagi perhatian dia tidak terlepas sedikitpun dari secarik kertas yang berada di genggamannya. Dengan keberanianku aku berjinjit untuk merebut kertas tersebut. Namun dia mengangkat tangannya lebih tinggi ke udara. Julian menatapku dengan tanda tanya, mengapa aku harus bertingkah sampai sebegitunya?Mata birunya menghakimiku, mengetahui bahwa ada sesuatu yang ku sembunyikan darinya. Aku pasrah walaupun belum siap jika hubunganku dan Alex terbongkar. Di sini aku sebenarnya tidak mengerti secret relation macam apa yang ku lakoni bersama Alex, penyebab dan kapannya pun aku sendiri tidak tahu menahu. Yang jelas, aku sudah bermain terlampau jauh, hingga tiba-tiba tanpa sadar aku sudah berada diujung jurang.Ku ibaratkan jika Julian membaca isi kertas itu, aku akan lepas dari ranting pohon yang mana merupakan penyangga hidupku. Hal gilanya adalah, aku tidak takut apabila harus jatuh dan terluka. Egois ji