Share

4 | Shame On Me

Pria bernama Alex Willis melayangkan tatapan padaku dari ujung kepala hingga kaki. Bibirnya menyeringai lebar begitu jatuh di dadaku. Refleks aku menutupi bagian atas tubuhku yang hanya berbalut tanktop putih tipis. Baru dua kali bertemu, dan aku bersumpah sudah sangat membencinya!

"Jaga matamu, pria mesum."

Alex tergelak singkat. Dia sepertinya senang dicap dengan sebutan demikian. Setelah selesai dengan kegiatannya tidak senonohnya Alex pun mengulurkan tangannya. "Senang bertemu denganmu lagi, Lily Cansas."

Ada penekanan saat dia menyebutkan namaku. Serak dan rendah suaranya menjadikan namaku terdengar lebih seksi. Diam-diam aku mencubit paha sendiri, sekedar mengirimkan sensasi dalam diriku supaya tersadar bahwa selama beberapa detik aku sempat gila.

Situasi di mana Julian tengah menerima telpon, Alex manfaatkannya dengan mengedipkan sebelah mata. Aku seketika bergidik ngeri. Genit sekali. Aku tidak berminat jika setiap hari harus menghabiskan waktu bersama orang yang jelas-jelas bermata keranjang.

Tanpa menjabat tangan Alex, aku menarik Julian untuk segera membawanya ke arah dapur. Dengan ponsel yang masih menempel ditelinganya, Julian menaikkan alisnya seolah berkata; ada apa? Aku pun membuang muka. Julian yang sudah paham dengan sikapku langsung berinisiatif menghakhiri pembicaraan melalui ponselnya.

"Tinggalkan saja dokumennya di meja. Saya akan segera ke sana."

"Maksudmu apa? Bodyguard?" Cerocosku kesal. "Aku tidak butuh hal semacam itu. Aku juga tidak mau jika dia yang menggantikan August." Aku sengaja berbicara dengan suara keras. Tujuanku utamaku ialah agar Alex mengetahui bahwa keberadaannya tidak diharapkan. Lagipula posisi August sebelumnya adalah supir, lalu kenapa kekasihnya mengganti dengan seorang bodyguard?

Julian menekan pelipisnya beberapa saat, berupaya mencari kata-kata yang tepat demi meredakan gejolak emosiku. "Teror yang kau dapat setiap hari semakin banyak. Aku takut apabila terjadi hal yang jauh lebih buruk. Ini satu-satunya cara yang bisa ku lakukan untuk melindungimu, sayang."

Aku merasa sedikit bersalah. Dia jelas bermaksud baik, yang mana dia menginginkan keadaanku selalu aman. "Tapi... kenapa dia? Dari sekian banyak relasi, kenapa harus Alex?"

"Alex itu sepupu dari Thomas. Aku tidak mungkin menolak tawarannya ketika dia mengatakan mempunyai sepupu yang sedang mencari pekerjaan. Alex juga berpengalaman dengan predikat sabuk hitamnya. Kau akan aman bersama Alex." Jelas Julian panjang lebar.

"Tunggu, Thomas?" Suaraku melunak saat dia mengucapkan nama Thomas. Thomas Alfonso merupakan teman baik sekaligus rekan kerja Julian. Julian dan Thomas bertemu saat sama-sama mengikuti sesi wawancara. Beberapa kali aku pernah bertemu dengan Thomas, dan dia merupakan orang yang cukup menyenangkan untuk diajak bicara. Membantu teman memang perlu dilakukan selagi kita sanggup. Tapi, oh entahlah. Sebab di sini yang aku bicarakan adalah sosok Alex Willis.

Julian meraih jariku, membungkus dalam kehangatannya. "Tolong dengarkan aku, sayang. Alex tengah melamar pekerjaan di tempatku bekerja. Selagi menunggu panggilan, tidak ada salahnya dia bekerja sementara untukmu."

"Apakah kau sengaja menyuruh Alex menyelamatkanku dari kejaran paparazzi?" Aku membuat kesimpulan sepihak. Bagaimana pun perkara bantuan dari Alex di malam itu cukup mencurigakan.

"Tidak, sayang. Alex bilang dia mengenalimu karena pernah melihat wajahmu di majalah, dan yeah dia sebatas ingin membantu. Bukankah ini suatu kebetulan yang menarik?"

"Ya, menarik. Sampai-sampai dia bisa begitu saja masuk ke apartmenku." Sahutku.

Julian tersenyum kecil mendengar bagaimana aku tidak berhenti mengeluh. "Aku yang memberikan Alex password apartemenmu, karena dia secepatnya akan bekerja padamu. Aku harap kau mengerti. Berkasku sudah menumpuk untuk satu bulan ini. Aku tidak mungkin mengawasimu terus-menerus, sekalipun aku sangat ingin."

Julian meraih daguku, membuatku harus menatap mata birunya yang merupakan hal yang paling ku sukai. Dia menarik kedua ujung bibirku. Mau tak mau segaris senyumanku muncul, lalu aku mendengus sebelum tertawa kecil. Julian memang paling handal dalam urusan mengembalikan moodku.

"Nah, kalau seperti ini kau semakin cantik. Aku berjanji, selepas urusan kantorku tidak lagi hectic, aku akan mencari pengganti August sesuai dengan kriteriamu. Setidaknya berilah Alex masa percobaan selama satu bulan."

Aku termenung, menimbang segala sesuatunya secara matang. "Hanya satu bulan, kan?"

"Ya, berikan Alex kesempatan."

Pun ku berikan anggukan tipis. "Baiklah. Aku setuju."

Kendati aku menyetujui tawaran Julian, dia pun kembali membawaku guna menemui Alex. Ku pastikan aku hanya perlu bertahan sementara waktu. Ya, cukup satu bulan dan tidak lebih.

*****

"Sudah ku katakan, jangan berjalan terlalu dekat denganku." Memperbesar langkah kakiku dari Alex, aku menjaga jarak sebisa mungkin darinya. Ini resmi tugas pertama Alex sebagai bodyguard, yaitu menemaniku rehearsal untuk acara fashion show besok. Seluruh pandangan tertuju ketika aku memasuki hall room. Ku kira begitu, sampai satu dari mereka berdecak kagum pada pria berbalut serba hitam di belakangku. Ya, pusat perhatian mereka merupakan Alex Willis, bukan aku. Bukan.

"Lily!" Aku menoleh, mencari sumber teriakan. Lantas aku mendapati sahabatku, Emily Campbell, setengah berlari menghampiriku. Rambut pirangnya nampak kontras dengan blouse berwana maroon.

"Mengapa kau tidak bilang akan ikut fashion show ini?" Pekikku gemas. Tidak heran jika beberapa hari belakangan dia selalu mengatakan akan memberiku kejutan. Ternyata inilah yang Emily maksudkan. Kami akan bekerja dalam satu proyek yang sama. Pasti menyenangkan.

"It's surprise! Bukan kejutan namanya jika aku memberitahumu terlebih dahulu." Ledeknya. Tawa Emily terhenti diiringi bola matanya membulat pada sosok pria di sampingku, Alex. Padahal sudah aku bilang agar kami tidak terlalu dekat. "Hey, dia siapa? Tampan juga."

"Dia bukan siapa-siap."

"Aku Alex Willis, bodyguard dari Lily Cansas yang pemarah ini." Aku mendengus mendapatinya sudah mengulurkan tangan. Dia gemar sekali mengulurkan tangan kesana kemari. Dan, apa katanya? Aku seorang pemarah? Apa dia ingin dipecat?

"Kau bisa memanggilku Emily Campbell. Aku sahabat dari supermodel bernama Lily Cansas."

Sontak aku menggeleng pada Emily sebelum mereka berdua berjabat tangan.

"Anda cantik sekali, Nona Emily." Kepalaku berputar cepat ke tempat Alex berdiri, memelototinya tajam. Belum dua jam menjadi bodyguardku saja dia sudah berani menggoda sahabatku satu-satunya.

"Lily, kita harus bergegas ke backstage dan menyusul yang lainnya." Emily menarikku untuk menutupi pipinya yang sudah bersemu merah.

"Bye, Alex." Ujar Emily halus. "Lily akan aman bersamaku."

"Ok. Good luck." Balas Alex. Entah good lucknya ditujukan untukku atau Emily. Aku sama sekali tidak peduli! Lagipula siapa yang butuh semangat dari bodguard mesum?

Tidak lama kemudian lighting diredupkan, berubah menjadi warna biru langit. Latar musik upbeat mengiringi arahan dari pengarah gaya dan Aiden, sang desainer. Pun giliranku akhirnya tiba keluar dari arah backstage. Berjalan di catwalk bukanlah hal yang sulit, walaupun ada teknik khusus yang perlu dipelajari dalam waktu lama. Akan tetapi langkahku goyah mengetahui Alex tengah tersenyum miring. Dia duduk disalah satu kursi yang sudah disiapkan untuk acara besok.

Dengan ke dua siku yang menyentuh pahanya, manik matanya tak lepas dariku. Dia bertepuk tangan ketika aku melewati kursi yang di dudukinya. Bersiul-siul juga dilakukan. Ku rasakan pipiku sudah persis kepiting rebus akan tatapannya yang selalu seperti menelanjangiku. Dia mengedipkan sebelah matanya (lagi) sebelum beranjak meninggalkan hall room.

Aku menatap punggungnya dan jatuh ke cara berjalannya yang memesona. Setiap langkah yang dia ambil terasa panas hingga aku terhipnotis dibuatnya. Dan seketika itu konsentrasiku hancur total.

Brukk!

"Astaga Lily, kau baik-baik saja?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status