Share

5 | Just A Kiss

Author: ByMiu
last update Last Updated: 2020-09-26 10:03:29

Aiden si desainer, datang terpogoh-pogoh melihatku terjatuh dengan posisi yang super memalukan. Diikuti Emily dan beberapa model lainnya. Aku butuh tempat bersembunyi.

"Honey, apa kau terluka?" Suara baritone klas pria terdengar cemas, begitu berbanding terbalik dengan tampilan feminim Aiden. Sebenarnya jatuhnya tidak begitu sakit, malunya yang luar biasa sulit walau sekedar mengangkat dagu sendiri. Aku pun hanya menggelengkan kepalaku singkat, tanda aku baik-baik saja.

Aiden hendak membantuku bangun, namun ku rasakan telapak tangan besar terlebih dahulu menyentuh pinggangku. Aku menoleh, ternyata Alex. Bukankah tadi dia pergi? Tak hanya membantuku bangun, Alex langsung gesit menggendongku. Apa-apaan dia?

"Biar saya lihat dulu keadaan Lily. Anda semua bisa memulai latihannya lagi." Ucap Alex tegas. Tanpa berbicara lagi, dia berbalik meninggalkan kerumunan dengan diriku yang ada di dekapannya.

"Turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri." Spontan aku menggerakkan tubuhku. Aku takut pipiku akan memerah lantaran perlakuannya yang terkesan gila ini. Pun jantungku seperti bersiap meledak. Situasi apa ini?

Alex tak menggubris, dia justru membawaku untuk duduk di kursi ujung hall room. Dengan beerjongkok dan lutut kirinya menyentuh lantai, dia melepaskan high heelsku.

"Aaa!" Aku berteriak ketika dia mulai memijit tumit kakiku.

Hal itu membuat dia tersenyum jahil dengan garis matanya yang terangkat ke atas. Harus ku akui, lesung kedua pipinya yang terbentuk jelas menjadikan senyumannya sangat manis. Baiklah, mungkin dia bisa dibilang lumayan tampan. Tetapi kategori tampan menurutku bukanlah pria bertattoo ataupun yang memiliki rambut gondrong. Aku lebih menyukai pria yang rapih, sopan, berwibawa dan jelas-jelas semua yang kusebutkan tidak melekat pada Alex.

"Pegang pundakku." Dia memajukan tubuhnya dengan tangannya yang masih berada pada tumitku.

Aku memutarkan kedua bola mataku. "Never in million years."

"Jika kau tidak mau latihan ini terhenti karenamu, ikuti saja ucapanku." Ucapnya mulai geram.

"Jangan mencuri kesempatan. Aku tidak mau menyentuhmu." Menarik kakiku darinya, aku bangkit dari kursi dan seketika meringis, tidak tahu rasanya akan semenyakitkan ini.

"Kakimu terkilir, nona pemarah. Duduklah dan biarkan aku memijat kakimu lagi."

Menghela nafas, akhirnya aku menurut. Aku meremas kencang pundak Alex saat dia kembali memijat tumitku. Demi Tuhan, ini 10 kali lebih kejam dari pada pijatan sebelumnya. Ku tangkap beberapa pasang mata dari arah stage memperhatikanku dengan tatapan iba, termasuk Emily.

"Kau jahat sekali, bodoh!" Umpatku.

"Anggaplah kau benar. Maka aku dumb dan kau dumber. Karena kau mempercayakan kaki indahmu untuk dipijat oleh orang bodoh." Alex berucap tanpa melihatku, jari-jarinya memijat dengan teliti atau dia hanya pura-pura teliti, entahlah.

"Bagaimana? Apa sudah lebih baik?" Tanya Alex diikuti alisnya tebalnya yang bertautan sempurna. Mata hijaunya tengah menunggu jawaban yang akan ku berikan. Meskipun sepasang matanya bukan berwarna biru laut seperti milik Julian, akan tetapi rasanya aku tetap bisa tenggelam dalam keindahannya.

Kurasa aku terlalu stres memikirkan runway besok, hingga otakku bergeser dan mengatakan hal yang tidak wajar. "Umm ya. Terima kasih." Aku tiba-tiba saja menjadi gugup sekaligus kacau. Hati dan kakiku berdenyut seirama.

"Kau tidak perlu melanjutkan latihan. Kau bahkan berkali-kali lebih hebat dari mereka semua."

Alex memujiku?

Sekarang dia ikut terduduk dengan menjinjing high heels-ku. Aku melirik pria ini sekilas, sebelum mataku berakhir di stage. "Pisau jika tidak diasah akan tumpul, begitupun dengan kemampuan seseorang." Untuk beberapa alasan yang tidak ku ketahui, aku sebenarnya tidak menyukai pembicaraan seperti ini. Terlebih percakapan itu terjadi antara aku dan Alex.

"Ku pikir kau hanyalah gadis bodoh. Rupanya kau pintar."

Aku mendengus. "Tidak perlu memuji jika kau hanya bertujuan mengejekku. Aku memang pintar, tapi aku tidak sombong dengan kepintaran yang ku miliki."

"Bukankah kalimatmu barusan justru menyimpulkan bahwa dirimu itu sombong?"

Woah, Alex adalah pribadi baru yang belum aku temui seumur hidupku, sangat arogan. Hebatnya aku tidak sakit hati. Sepertinya aku mulai terbiasa dengan seluruh ucapan sarkasnya.

"Lily my honey, bagaimana keadaanmu? Apa kau masih bisa mengikuti runway besok?" Aiden menghampiriku dan mengusapkan tangannya pada pundakku. Gelisah.

"Tentu saja, Aiden. Ini bukanlah masalah besar." Dia nampak begitu khawatir jika kejadian tadi membuatku membatalkan bergabung di peragaan busananya.

Pria bertubuh gempal ini bernafas lega. "Syukurlah. Kau adalah model yang paling ku inginkan untuk mengenakan rancangan terbaruku. Kau bisa pulang sekarang, Lily. Beristirahatlah." Ucap Aiden panjang lebar.

"Aku baik-baik saja, sungguh. Aku bisa kembali mengikuti latihan. Kau lihat ya, Aiden." Aku tersenyum kikuk seraya mencoba berdiri. Lantai hall room ini bagaikan bara api saat telapak kaki telanjangku berusaha menahan beban tubuhku.

Hasilnya nihil.

Sial, ini sakit sekali.

Lagi-lagi Alex menangkap tubuhku, karena aku ternyata tidak bisa membuktikan ucapanku pada Aiden. Tangan kekar Alex kini sudah kembali melingkar pada pinggangku, seakan tak membiarkan aku untuk jauh darinya.

"See? Kau harus pulang, honey. Kalau kau terlalu memaksakan, takutnya kau justru tidak bisa mengikuti acara besok." Aiden kini menggenggam tanganku. Bagaimanapun aku tetap ingin latihan. Tidak ingin dianggap bahwa Aiden pilih kasih dengan membiarkan aku pulang mendahului mereka.

Sesuatu mengejutankan terjadi, Alex menggendongku lagi tanpa basi-basi. "Benar apa yang dikatakan pria ini. Kau harus pulang." Alex memberi penekanan saat menyebutkan kata pria. Aku tak habis pikir, di mana sopan santunnya pada Aiden?

"Ya benar. Bodyguard tampanmu saja setuju dengan perkataanku." Aiden memberikan senyum terbaiknya khusus untuk Alex, membuat deretan gigi putih pria gemulai ini bersinar. Aku mendesah dalam hati, tak habis pikir, banyak sekali orang yang termakan pesona Alex Willis.

*****

Matthew kemarin ijin padaku tidak bisa mendampingiku latihan, dan kini dia menggunakan alasan yang sama seperti kemarin. Dia bilang ada masalah dengan pencernaan yang mengharuskannya tidak bisa jauh dari toilet. Sejujurnya aku butuh Matthew bukan untuk mencatat atau mengatur jadwalku saja, setidaknya jika ada dia aku tidak harus berduaan dengan Alex. Apa yang harus ku lakukan agar suasana tidak menjadi canggung?

Ting!

Pintu lift apartmentku terbuka di lantai basement. Pun aku langsung mencari di mana sosok pria jangkung itu berada. Mataku menangkap Alex tengah bersandar di kap mobil selagi berbicara melalui ponselnya. Raut wajahnya tegang, seolah pembicaraan yang dimilikinya begitu serius.

"Berikan aku waktu. Tidak mungkin aku melakukannya sekarang, itu terlalu cepat."

Alex sedang berbicara dengan siapa sih? Jengkel, aku pun menghentakkan flat shoesku, hal itu membuatnya menyadari keberadaanku dan segera menutup ponselnya. "Kau sudah siap?" Tanya Alex.

"Seperti yang kau lihat. Setelah kau mengantarkanku, tolong bawa mobilku ke bengkel karena sudah masuk bulan untuk diservice." Ucapku selagi dia membukakan pintu disamping kemudi.

Aku memundurkan langkah. Alex seperti bisa membaca situasi, pun dia kembali melakukan hal yang sama.

"Aku ini bodyguardmu, bukan supir. Jadi duduklah di sampingku." Dia membukakan pintu lagi dan aku mendengus sebelum menurutinya. Padahal dia kan pengganti August, yang mana August merupakan supir terdahuluku. Jadi, intinya Alex sedang mengisi posisi itu.

Sepanjang perjalanan tidak ada pembicaraan diantara kami, hanya suara penyiar wanita yang berceloteh dari radio. Tak lama terdengar sebuah lagu diputarkan. Aku mematikan radio tersebut yang disambut lirikan sinis Alex.

"Kau tidak suka mendengarkan lagu?"

"Aku butuh kesunyian agar tetap bisa fokus."

"Fokus sampai terjatuh seperti kemarin maksudmu?" Sarkas Alex. Serius, dia ini senang mengajakku berdebat. "Dengarkan saja. Musik itu bagus agar kau bisa lebih tenang." Pun dia menyalakan radio lagi, bahkan kini memperbesar volumenya. Sehingga aku memutuskan berhenti peduli. "Lain kali aku akan bernyanyi untukmu. Suaraku tidak kalah dengan penyanyi terkenal Harry Styles."

Dia pasti bercanda.

Aku pun membuka lipatan cermin yang berada di bagian depanku. Kantung mataku nampak lantaran semalam aku bermimpi buruk lagi dan berakhir bergadang.

"Pukul berapa acaramu selesai?" Tanya Alex.

"Jam 1 mungkin."

"Aku akan menunggumu di sana. Sekedar memastikan bahwa tidak ada yang mengganggumu." Dia mengarahkan stir ke kiri, mobil pun keluar dari jalan tol.

"Tidak, kau service saja mobilku. Lagi pula di sana ramai. Sekalipun ada orang yang bertindak macam-macam, aku bisa berteriak."

"Jangan membantah, Lily." Mulutku menganga tak percaya, aku baru saja diperintah oleh bodyguarku sendiri. "Ini kemauan Julian, bukan aku. Jadi ku harap kau tidak berpikiran yang berlebihan."

Mau aku mengiyakan ataupun menolak mentah-mentah, nyatanya dia tidak mungkin goyah dengan kalimatnya. Dapat ku rasakan, ujung mata Alex melirikku. Mungkin dia merasa sedikit tidak nyaman atas kalimatnya yang terdengar lebih seperti gertakan. Aku kini tengah memainkan game sepanjang masa dari ponselku, tetris.

"Lily?" Gumam Alex. Oh dia benar-benar merasa bersalah.

"Hmm."

"Aku tidak suka berbicara tapi lawan bicaraku tak menatapku."

"Jangan bicara padaku kalau begitu. Selesai."

"Kau pernah bercinta di dalam mobil?"

"Apa? Dasar! Kau benar-benar mesum!" Teriakku histeris.

"Giliran aku bertanya seperti itu kau langsung cepat melihatku." Satu garis bibirnya tertarik ke atas, membuat seringaian menjijikan yang demi 7 tingakatan langit aku membenci hal tersebut.

Aku memberikan jari tengahku dan ku letakkan tepat di depan wajahnya. Alex menepis karena aku mengganggu penglihatannya yang tengah mengemudi.

"Apa kau mau bercinta denganku di sini? Memang sempit dan tidak nyaman, tapi disitulah letak kenikmatannya." Dia mengoceh dengan santainya, seakan tidak sadar bahwa sikapnya mulai kurang ajar.

Aku langsung memukul pundaknya, tidak begitu keras kurasa, mengingat kami masih berada di tengah jalan. Bisa-bisa kami malah tak sampai tepat waktu untuk runway. Alex hanya tertawa mendapatkan respon yang terhitung kejam dariku. Rambutnya dia acak-acak sekilas, membuat harumnya yang beraroma peppermint menyerbak ke indra penciumanku.

"Apa kakimu masih sakit? Kau ingin ku pijat lagi?"

"Aku sudah tidak apa dan terima kasih untuk obatnya." Well, pijatan Alex pada tumitku kemarin memang membuatku ingin memangkas habis rambutnya yang sepertinya bagian yang paling Alex sukai, namun aku mengurungkan niatan tersebut mengingat dia berbaik hati memberikan krim pereda nyeri.

"Itu bukan apa-apa. Ayo kita turun." Alex membukakan sabuk pengamanku, membuatku tersadar bahwa kami sudah tiba di lokasi. Ini baru pukul 9. Setengah jam akan cukup bagiku untuk bersiap-siap.

Setelah berpikir lama, aku menyerahkan kepada Alex satu lembar tiket masuk. Tadinya itu milik Julian, tapi tidak lagi sejak dirinya menolak dengan kata maaf yang tak ada habisnya. Julian bukanlah tipe pria yang mau membolos kerja hanya untuk menyaksikan runway-ku. Tidak pernah ada orang terdekat yang melihatku saat tampil. Tidak siapapun dan tidak dalam kurun waktu 2 tahun kemarin. Padahal semua orang selalu membutuhkan dukungan setidaknya penyemangat, termasuk aku.

"Berhubung kau memaksa ingin menunggu. Kau bisa memiliki tiket ini."

Secara mengejutkan Alex membawa wajahku bersembunyi di dadanya. Dia memelukku!

"Lepaskan, Alex! Apa-apaan kau?!" Aku berusaha melepaskan diri, namun yang ada dia semakin erat dan enggan menuruti permintaanku.

"Aku lebih ingin memilikimu. Bisakah?"

Ku yakin jantungku berdegup kencang atas pengakuan mengejutkannya. Jujur aku dapat merasakan ritme miliknya selaras denganku. Lama-kelamaan dada bidang Alex memberikan rasa nyaman. Sapuan jemarinya pada rambut kecoklatanku kian melemahkan sistem sarafku. Entah untuk alasan apa, acara hari ini terasa berat. Alex seolah tahu isi pikiranku dan memberikan ketenangan melalui sebuah pelukan hangat.

"Fokuslah dan jangan biarkan dirimu terjatuh lagi. You are my favorite person."

Dan... tunggu!

Apa yang baru saja terjadi?

Kenapa Alex mencium puncak kepalaku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love Affair (Bahasa Indonesia)   Info Cerita Baru

    Hallo. Aku mau ucapin terima kasih banyak buat antusias pembaca Love Affair.Anyway, kalian bisa baca karyaku yang lain di Good Novel diantaranya; Untuk Asa, Intimate Partner, dan Long Way Home. Atau boleh juga mampir ke aplikasi Dreameku. Salah satu buku yg mau aku rekomendasikan adalah: IN LAW (rate 18+).Sinopsis:Pernikahan indahku selama dua tahun akan menjadi sempurna apabila tidak ada Harry. Harry adalah pria paling brengsek yang pernah aku temui. Hingga suatu hari ia menyentuh batas kehidupan rumah tanggaku bersama Harvey, yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri.Yuk, kalau penasaran bisa langsung cus ke Dreame (username: bymiu). Silahkan dibaca karena kebetulan masih FREE alias no koin.Sekian dulu infonya.-bymiu

  • Love Affair (Bahasa Indonesia)   Bonus Chapter

    BONUS CHAPTER-Enam bulan kemudian-Persiapan pernikahan ternyata begitu melelahkan. Perihal baju, dekor, catering, dan hal-hal sepele seperti warna untuk souvenir saja, Lily dan Alex bisa sampai bertengkar. Tentu, karena Lily ingin semua tema pernikahan mereka bernuansa pink. Pun sama halnya ketika H-1 hari pernikahan, Lily mendadak ingin Alex mengecat rambutnya menjadi pink muda."Lily, pernikahan satu kali seumur hidup. Dan kau memintaku melakukan hal... itu?" Tanya Alex sambil menjatuhkan bokongnya di kursi. Wajahnya nampak pucat, tidak percaya atas kemauan calon istrinya."Apa permintaanku berlebihan?"Alex terdiam, lalu mengacak-ngacak rambut hitamnya gusar. "B-bukan itu, sayang. Tapi aku baru saja memikirkan, di foto pernikahan kita nanti rambutku ternyata berwarna pink. Aku tidak sanggup membayangkannya.""Kenapa dibayangkan? Kau hanya perlu melakukannya, bahkan itu tidak begitu sulit." Santai Lily, mulai terlihat k

  • Love Affair (Bahasa Indonesia)   38 | The One and Only

    "Mom?"Suara Trixie sukses menyadarkan kami. Posisiku yang berada dalam pelukan Alex bisa membuat Trixie bertanya hal yang macam-macam. Aku tak sanggup meladeni cara berpikirnya. Bagaimana ia bertanya tentang ini itu dan tentang siapa ayahnya. Dan aku semakin mengutuk atas apa yang Trixie lihat saat ini.Aku mendorong Alex. Aku harus membedakan apa yang perlu ku hadapi dengan apa yang menjadi masa lalu. Alex adalah masa laluku. Masa laluku yang buru lebih tepatnya."Alex? Mengapa kau ada di sini?"Mendengar Trixie memanggil nama Alex secara langsung terasa sangat salah. Aku segera menarik tangan Trixie guna membawanya masuk ke dalam. Beruntung ia menurut. Tanpa menoleh lagi, ku tinggalkan Alex bersama Julian yang sedari tadi diam

  • Love Affair (Bahasa Indonesia)   37 | Miss You

    Alex's POVHal pertama yang ku lakukan setelah bebas adalah mencari tahu di mana keberadaan Lily. 6 tahun berlalu tanpa melihatnya merupakan tahun-tahun tersulit. Julian sempat mengunjungi lapasku tepat ketika aku di penjara 8 bulan. Ia bercerita bahwa Lily telah melahirkan seorang bayi perempuan bernama Trixie. Masih jelas diingatanku, di hari itu aku bungkam sebelum akhirnya menangis haru. Tuhan sudah memberikan dua sosok hebat yang menjadi kebahagiaan terbesarku.Aku kerahkan semua usaha guna menemukan Lily dan Trixie. Bahkan rumah yang sempat kami tinggali dahulu juga ku datangi. Aku tahu, aku terlalu bodoh lantaran mengira Lily masih bertahan di sana. Rumah tersebut tak lebih hanya meninggalkan kenangan pahit baginya. Kematian Thomas, tertangkapnya diriku, dan kebersamaan kami yang dinilainya sebagai kepalsuan. Jujur sedari awal aku bertemu dengan Lily, aku sudah menyukainya. Aku sudah tahu bahwa aku tidak akan mampu memenuhi misi gila Thomas. Ben

  • Love Affair (Bahasa Indonesia)   36 | They Finally Meet

    Sorak-sorai pesta kemenangan masih berlangsung meriah di podium sirkuit. Para wartawan sibuk mengambil gambar, menyiarkannya ke televisi di seluruh dunia. Aku sedikit beruntung karena Ezra tidak menang. Pun aku mundur satu langkah, melambaikan tangan pada Sofie yang berada di bawah podium."Kau terlambat bukan?" Pekik Sofie lantang, lantaran suasana di sini benar-benar berisik. Aku mengangguk. Ini sudah pukul dua, dan aku terlambat satu jam dari yang seharusnya. Oh, aku bisa membayangkan bagaimana cemberutnya Trixie."Lain kali ku traktir makan siang." Ujarku pada Sofie sebagai bentuk terima kasih.Di atas heels 12 cmku, aku berlari menuju ruang ganti. Pakaianku yang nyaris basah seluruhnya oleh bir, menjadikan banyak mata pria mengekoriku. Aku menyilangkan tanganku di bagian

  • Love Affair (Bahasa Indonesia)   35 | I Still Remember

    "Mom, di mana Millyku?!"Aku menggeram kesal, nyaris menjerit karena ulah Trixie. Ia terus menghentak-hentakan kakinya di anak tangga. Aku yakin, ia akan berbuat demikian hingga aku meladeni rengekannya, atau lebih parah lagi sampai gendang telingaku akhirnya pecah. Oh aku tidak tahu! Tak ingin semua bertambah runyam, aku memutuskan berhenti mengaduk kari di wajan, lalu menghampirinya."Siapa Milly?""Boneka unicornku!"Menekan kepalaku, aku mengembuskan nafas sekaligus. Mengapa nama unicorn itu rumit sekali? "Kapan terakhir kali kau memainkannya?""Kemarin.""Di mana?"Ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status