Share

Hal memalukan

"Bel akan berbunyi dalam waktu lima menit lagi! Bapak harap peserta baru berkumpul dilapangan sesuai kelompoknya masing masing."

Hampir saja telat. Untung lari Rania lumayan kencang. Ia mengambil nafas sembari menyeka peluh di dahinya sesekali menatap kesal arah belakang.

"Hufft, Liat aja! nanti Rania bakal buat kak Rino jadi makanan kucing!" gumamnya.

"masuk!"

Rania setengah berlari menuju lapangan tempat peserta MOS berlangsung. Matanya melirik ke kanan dan Ke kiri hingga ia mendapati sahabatnya tengah mengangkat kedua tangannya memanggil Rania.

"Sini," ucap Desfa dengan bahasa bibirnya.

"Oke!"

Ketua osis beserta anggotanya berdiri dengan tangguh di depan. Ada yang berkacak pinggang memarahi siswa yang tak bisa diam, ada yang saling menggoda demi memenuhi kencan mereka, dan berbagai macam tipe yang dapat merrka temukan.

"Kali ini kakak beri kalian satu jam untuk membuat puisi bertema bebas. Setiap kelompok harus menyediakan satu korban untuk membacakan puisi di depan kita semua. Disini ada berapa kelompok ya?" Ketua osis itu tampak menghitung jumlah kelompok. Untung saja ada anggota-nya yang langsung menjawab sehingga tak perlu menghabiskan waktu.

"ada tiga belas kelompok, Dit!"

Mereka langsung memulai pekerjaan mereka. Rania berada di kelompok dua yang berisi lima belas orang. Semuanya adalah laki-laki kecuali Rania dan Desfa.

"sudah tiga puluh menit, gak ada yang siap?" Desfa lagi lagi mengeluh entah yang keberapa kalinya. Teman temannya itu hanya diam menatapi kertas dan pena mereka.

"Aku baru setengah!"

"Aku masih satu bait"

"Aku sudah selesai"

Desfa tak habis pikir kalau kegiatan puisi mereka buruk sekali. Lagian siapa yang mampu  menulis puisi di tengah teriknya mentari dan diantara kebisingan yang terjadi?

"Coba kalian bacakan satu satu" pinta Desfa.

Mereka semua terdiam termasuk Rania, alhasil Desfa menarik kertas mereka dan mengoreksinya.

"Cinta itu buta

Tapi mataku bersinar ketika menatap dirimu

Cinta itu tuli

Tetapi aku terpana mendengar suara merdumu

Sekarang Cinta itu apa ketika bersamamu?

Kupikir kau cinta sejati

Bagai malaikat maut yang sulit ditebak kapan mau menjemput"

Puisi Gara akhirnya menjadi kandidat pertama puisi yang akan dibacakan. Sekarang giliran puisi Yanto yang dikoreksi Desfa.

"Hidup itu sulit

Hidup itu rumit

Akhirnya sama saja

Kenapa kita harus sekolah

Gue capek pengen nikah

Kalau mati gue belum siap"

Desfa berusaha menahan tawa setelah membaca puisi Yanto. Karena penasaran, Rania merebut kertas itu dan membacanya bergantian dengan yang lainnya. Seketika tawa mereka semua pecah, tak menyangka humor mereka serendah ini hingga menertawakan hal sepele. Mungkin karena mereka terlalu lelah.

"Waktu sudah habis! Kumpulkan kertas dan pilih wakil kalian!"

Desfa langsung menunjuk Rania agar mewakili mereka membacakan puisi karya Gara.

"Nggak!! Kamu aja, Des." Rania menolak ajuan Desfa tetapi tetap saja Desfa kekeh dengan pendiriannya.

"Cepet! Nih bawa kertasnya"

Hihihi

Terdengar tawa berbisik dari teman-temannya hingga Rania menghentakan kakinya. Untung saja nomor urut mereka dua, sehingga tak harus menjadi yang pertama.

Mereka menunggu peserta urut pertama membacakan puisi hingga selesai. Bait nya panjang sekali dan irama-nya lambat. Mengayun-ayun hingga yang mendengarkan menyempatkan waktunya itu untuk menguap.

"nomor urut dua"

Rania bergetar hebat ketika nomor urutnya disebut. Ia mengepalkan tangan kesal dan menatap Desfa penuh amarah.

"awas aja!" peringat Rania pada Desfa.

"Hidup itu sulit...." Rania berhenti sejenak menatap sekitar. Semua orang masih terdiam. Hingga fokusnya pecah ketika ia menangkap manik mata Gama. Itu membuatnya gugup.

"H–hidup itu ru–rumit..." Rania tak kuasa menahan gugupnya sehingga ia menenangkan dirinya dengan melihat sepatunya.

"akhirnya sama saja..." Rania berhenti lagi dan membelalakan matanya. Ia begitu malu ketika ia melihat kata selanjutnya. Ternyata ia membaca puisi buatan Yanto yang aneh dan memalukan.

"KENAPA BERHENTI!" teriak ketua osis mengetahui adik tingkatnya memakan waktu lama sekedar jeda puisi.

"Kenapa kita harus sekolah..." Rania menarik nafas gugup menatap teman temannya satu persatu berharap dapat memprediksikan respon mereka nanti.

"G–gue ca--pek pengen...n-nikah" 

Hahaha...

Hahaha...

Hahaha...

Tawa mereka meledak seketika membiarkan perempuan itu menunduk bergetar malu.

Ketika Rania mengangkat kepalanya, lagi-lagi ia menangkap manik mata Gama. Cowok yang ia suka ikut menertawainya. Kandas sudah harapannya untuk mendekati Gama. Rania yakin sekali kalau Gama akan jijik dengan Rania.

"BERHENTI TERTAWA!"

"Kamu! Kembali ketempatmu. Terimakasih karena puisi aneh itu cukup menghibur!"

Entah kenapa ucapan ketua osis semakin membuatnya malu. Besok-besok ia tak akan mau ini terjadi lagi.

______________________________

"Ran!"

"Ran!"

Beberapa kali Desfa memanggil sahabatnya itu tetap saja tidak menyahut. Padahal, Desfa sudah minta maaf dan ini sudah waktunya pulang. Rania belum juga memaafkannya.

"Maafin aku dong!" Desfa merangkul Rania, tapi Rania mengelak.

"Maaf, bunda Gama!" Rania melirik Desfa dan mengacuhkan Desfa lagi.

"Maaf ya Nyonya Gamalio yang cantik, pintar dan bijak!"

Rania memberhentikan jalannya dan melirik Desfa sekali lagi. Rania  tersenyum seketika karena rayuan sahabatnya itu.

"Jangan gitulah, Des! Aku jadinya nggak bisa diamin kamu!" .

Desfa tertawa dan memukul bahu Rania tak menyangka hanya dengan kata kata itu Rania kembali berbicara padanya,

"RANIA! KAMU SESUKA ITU SAMA GAMMMM..."

Rania menutup mulutnya Desfa agar ia tak melanjutkan kata kata itu. Namun, terlambat ternyata Gama mendengar itu semua. Gama ternyata berjalan dibelakang mereka dan sekarang menatap mereka.

"mampus! Aku udah ngaku ngaku istrinya Gama!" Batinnya.

Rania yang tak sanggup menahan malu akhirnya menutup wajahnya dengan buku. Sialnya, Desfa menarik buku di wajah Rania dan menyapa Gama.

"Hai Gama!" sapa Desfa.

Ingin Rania marah ataupum lari saat itu, hanya saja ini sudah menyangkut harga dirinya. Ia pun ikut menyapa Gama dan menampilkan senyum pepsodent andalannya.

Rania segera berjalan meninggalkan Desfa dan Gama. Ia berjalan agak cepat guna menjauhi mereka. Ia tidak menghiraukan panggilan Desfa yang setengah tertawa itu. Ia menghentakan kakinya dan duduk di kursi tunggu menunggu supir menjemput.

Dengan terengah-engah, Desfa berlari menuju kursi tunggu itu. Ia memegang pundak Rania sebagai tumpuannya dalam mengambil nafas.

"Sorry..."

Rania membuang muka memilih menatap jalanan yang disinari teriknya matahari. Kali ini ia harus benar-benar memberikan Desfa pelajaran. Ia begitu malu mengingat itu.

"YA AMPUN! ADA KEDAI ES KRIM BARU BUKA!" histeris Desfa sembari menunjuk kedai yang berlokasi tepat didepan sekolah mereka.

"Mana mana" Rania mengikuti arah telunjuk Desfa. Ia teringat kalau ia butuh sesuatu yang dingin di siang yang terik.

"Yuk, kita langsung kesana!" ajak Desfa.

Rania tanpa sadar mengikuti Desfa dan melupakan rencananya untuk mendiamkan Desfa.

"Berapa harganya, pak?"

"Dua ribu aja dek" 

Rania dan Desfa mengeluarkan uang saku mereka dan memberikannya kepada penjual itu.

Supir Rania sudah datang, waktunya pulang. Desfa seperti biasa akan dijemput bibinya. Bila bibinya tak sempat, maka ia akan pulang bersama Rania. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
MaharKu
Ceritanya bagus, aku suka sama alurnya, meskipun ... hehe, maaf, banyak sekali tipo hihi, tapi tetap semangat, ya!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status