PEKANBARU - SP (26) tertangkap basah istrinya DR (21) saat sedang indehoi dengan NUR (36) yang tidak lain adalah ibu kandung korban. Pengakuan keduanya, bahwa perselingkuhan ini sudah dilakukan sejak lama.
"Antara SP dan ibu mertuanya sudah berhubungan layaknya suami istri sejak 4 tahun lalu," kata Kanit Reskrim Polsek Lima Puluh, Pekanbaru, Riau, Senin (6/3/2017).
Perbuatan amoral itu selalu dilakukan mereka saat kondisi sepi. Kondisi NUR yang di rumah sendiri, membuat hubungan terlarang keduanya bisa berlangsung lama. Tubuh molek NUR membuat SP keranjingan dan menyukai mertuanya.
~~~
Tangan ini dengan kasar melipat asal dan membanting koran yang baru saja aku baca. Berita yang justru menambah resah gelisah pikiranku.
Bayang wanita dengan kerling nakal itu terus saja menari di pelupuk mata, seolah melambai mengajakku menyelami lautan asmara bersama.
"Sial!" umpatku sembari menyapu dengan kasar wajah lelahku, menghela napas dalam-dalam dan melepasnya sekuat mungkin.
Kutilik penunjuk waktu di pergelangan tangan, pukul 15.45 itu artinya lima belas menit lagi alarm pulang akan mengingatkan hati ini untuk mempersiapkan benteng iman yang lebih kuat jika tak ingin dirobohkan oleh iblis cantik itu.
***
Aku sengaja berlama-lama di mushola dekat rumah, menunggu sekalian magrib tiba. Terpaksa sudah satu minggu ini aku mandi sore di mushola dan menunggu hingga waktunya Arini pulang.
Ah, entahlah ... aku ini pengecut atau apa. Tapi yang pasti aku hanya lelaki normal yang terkadang bisa saja khilaf dalam bertindak. Aku hanya berusaha menghindari ibu mertua yang sekarang tak malu-malu lagi bergelayut manja di bahuku.
Setiap dekat dengan wanita itu, detak jantungku berpacu kencang. Hembusan napasnya yang sengaja ia perdengarkan dekat telingaku penuh desahan manja, desahan yang mampu membangunkan hasrat lelakiku.
[Mas, kamu belum pulang?] Sebuah pesan masuk ke gawai yang sedari tadi tergeletak di atas tas kerja yang aku letakkan di sisi kanan tempat aku duduk.
Arini, dia mungkin sudah pulang lebih awal. Tapi kenapa tidak bilang dari tadi pagi kalau dia tidak ada lembur? Biasanya dia selalu memberitahu, entah siang saat ia istirahat ataupun pagi saat mau berangkat kerja.
Siang tadi dia juga tumben tidak menyapaku. Biasanya saat dia istirahat pasti akan mengingatkanku untuk makan atau salat. Atau mungkin hari ini dia terlalu sibuk sehingga tak sempat?
[Mas Danu, cepet pulang donk. Udah nunggu, nih.] Kembali pesan masuk, tapi tak biasanya Arini mengirim pesan seperti ini.
Atau memang dia sudah pulang lebih awal dan lama menungguku di rumah? Ah, segera saja aku pulang. Mungkin hari ini dia ingin bermanja denganku.
[Iya, Sayang. Ini Mas langsung pulang, tunggu sebentar, ya.] jawabku dengan emotikon cium berjajar.
Aku tersenyum, kembali teringat masa saat pacaran dengan Arini. Setelah empat bulan aku berusaha meluluhkan hatinya, alhasil dia menerima cintaku dan setiap hari kurajut kisah indah bersamanya.
Kulajukan motor segera menuju rumah bercat ungu muda dengan perpaduan kuning dan ungu tua, rumah cantik bergaya klasik hasil desain dari Arini. Rumah yang berhasil ia beli dengan jerih payahnya selama ia bekerja di sebuah bank.
Meski ia cicil dan sekarang belum lunas, namun rumah itu mampu memberiku kenyamanan. Aku tak perlu repot untuk memikirkan tempat tinggal untuknya.
Banyak hal yang sebenarnya aku suka dari Arini. Dia sangat perhatian, dia melayaniku tanpa mengeluh meski aku tak mampu memberinya materi yang cukup. Dia juga bukan istri cerewet yang suka ngomel-ngomel, Ariniku lebih suka diam jika marah atau merasa tak suka dengan sikapku.
Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah ungu itu. Aneh, pintu pagar masih tertutup dan motor Arini tak ada di sana.
Pandanganku sejenak mengedar, tak kutemukan tanda-tanda Arini sudah ada di dalam. Rak sepatu dekat pintu tak menunjukkan keberadaan sepatu yang Arini pakai tadi pagi.
'Apa mungkin Arini membawa masuk sepatunya? Ah, mungkin saja. Besok kan hari Sabtu, mungkin dia ingin mencucinya.'
Masih saja pikiranku sibuk menduga meski kini langkah ini telah tiba di depan pintu. Perlahan kudorong gagang pintu, seperti maling yang hendak mengetahui kondisi rumah korban.
Dengan bergegas aku menuju kamar, berharap Arini ada di sana. Zonk! Tak kutemukan wanitaku. "Arini, kamu di mana, sih?" gumamku dengan mengibas-kibaskan tangan. Entah kenapa tetiba udara menjadi panas.
Sedikit berjingkrak aku menuju ruang tengah untuk mencari keberadaan Arini. Sepi. Tak kutemukan ia di sana, bahkan dapur dan kamar mandi juga tak ada.
"Cari siapa, Danu?" Tiba-tiba suara itu mengejutkanku, membuatku segera membalik badan dan kembali gugup menyerang.
"Kamu ini kenapa, sih? Aku perhatikan sudah seminggu ini pulang telat terus. Apa sengaja membiarkan ibu sendirian?" Perlahan wanita itu mendekat dan jemarinya mulai bermain-main di dadaku.
"Sa-saya ada lembur, Bu. Jadi, pulangnya telat terus." Tak terasa keringat dingin keluar membasahi muka.
"Kamu ini lucu, dengan ibu mertua sendiri saja sampai keringetan begini."
"Udara panas, Bu. Habis pulang kerja pula. Oh ya, Arini di mana, Bu?" Kembali aku mengibaskan tangan dan berusaha menghindar dari wanita yang harusnya aku hormati layaknya seorang ibu.
"Arini belum pulang," jawabnya enteng sembari duduk di kursi meja makan, memamerkan bagian kaki atasnya yang tanpa cela.
"Lho, tadi dia chat saya, Bu." Aku memandang lekat ke wanita bernama Bu Hera itu, kernyit keheranan melipat di atas dahi.
"Gawai Arini ketinggalan, tadi Ibu yang chat. Kalau nggak begitu kamu nggak akan cepat pulang." Masih dengan santai ia menjawab.
Seandainya ada cermin, mungkin saat ini dapat kulihat jelas bagaimana memerahnya wajah ini. Aku merasa dijebak, dan entahlah ... kali ini aku sanggup atau tidak untuk menolaknya.
"Danu, aku tahu kalau kamu sering mencuri pandang menikmati kemolekan tubuh ini. Apa kamu hanya puas dengan memandang saja?" Kini ia berdiri, berjalan mengitariku dengan memamerkan lekuk tubuhnya.
"Ma-maaf, Bu. Saya tidak bermaksud kurang ajar."
"Tenang saja, Danu. Aku tahu, kok, apa yang kamu rasakan. Kalau kamu mau, sekali saja coba bermain mandi kucing denganku." Dengan desahan menggoda ia kembali merayuku.
"Mandi kucing?" Tanyaku heran.
"He-em." Angguknya dengan kerlingan mata indah.
"Tapi Arini tidak memelihara kucing, Bu. Dia tidak suka dengan kucing, katanya nggak baik buat dia karena bakalan susah punya anak."
"Kamu jangan bercanda, Danu. Aku tahu kamu sering nonton film-film blue. Jadi, pasti tahu yang aku maksud."
Ya Tuhan ... semakin berani ia merayuku. Baiklah, aku Adarga Handanu siap menghadapi wanita kesepian yang entah berapa lama merindukan belaian lelaki.
"Kita ke kamar, yuk, Bu." Ajakku setelah mengatur napas dan menetralisir kacaunya seluruh saraf yang membuatku tegang.
"Wow ... akhirnya kamu mengerti yang aku mau, Danu." Senyum itu menyiratkan penuh kemenangan dan puas karena berhasil menjeratku.
Aku tersenyum tatkala ia menggamit lenganku dan melangkah menuju peraduannya. Setiba di kamar yang dipenuhi dengan koleksi gambar-gambar menantang itu, harum minyak wangi menguar menusuk indra penciuman.
Sepertinya ia telah menyiapkan semua rencana ini untuk menjebakku agar jatuh ke dalam pelukannya. Ia mulai beraksi, naik ke ranjang sembari menyibak kain yang menutup kaki.
"Sebentar, Bu. Saya kunci pintu dulu."
"Ah, kamu tahu saja agar kita aman." Tawa kecilnya berderai.
Aku bergegas melangkah ke pintu, mengambil anak kunci yang menggantung. Sejenak terdiam, mencoba menatap kembali wanita bertubuh seksi itu. Dengan senyum menyembul, kumantapkan hati keluar dari kamar dan menguncinya.
Tak berselang lama kudengar iblis yang berwujud ibu mertua itu menggedor-gedor pintu dan berteriak histeris. Dan aku segera lari kembali ke mushola, menunggu Arini kembali menyelamatkan hatiku.
Dewi malam telah menyambut, bulan separuh menggantung cantik di langit gelap menggantikan tugas sang bagaskara. Kulirik penunjuk waktu di pergelangan tangan yang menampilkan angka digital 19.55, itu artinya Arini sebentar lagi akan pulang.Sengaja aku menunggu di warung kopi tepat di tikungan jalan dekat rumah. Sembari menikmati kopi hitam dan gorengan, pikiranku melayang kembali ke kejadian sore tadi.Bagaimana jika Arini tahu aku mengunci ibunya di kamar? Apa alasanku akan ia terima? Apakah Arini akan percaya dengan perkataanku? Bagaimana jika wanita iblis itu memutarbalikkan fakta? Apakah Arini akan lebih percaya pada ibunya?Terlampau banyak pertanyaan berputar dalam otakku, membuat kepala ini terasa pening. Sudah lama aku ingin mengusulkan agar Arini mengontrakkan rumah untuk ibunya, atau mencarikan suami agar wanita itu tidak kesepian.Namun, semua ide itu hanya sebatas ide yang terpendam dalam pikiran t
Kata demi kata telah kurangkai sedemikian rupa agar tak menjadi salah paham antara aku dengan Arini. Tapi sepertinya masih belum cukup memberi sinyal alarm kepada kepekaan wanita yang hatinya bak peri itu.Gemas aku dibuatnya. Aku di sini bertarung melawan jala jerat yang ditebar oleh ibu mertua, sedangkan Arini tak jua memahami apa yang sedang menjadi kegelisahanku."Dek, Mas nggak nyaman dengan penampilan ibu yang terlalu seronok seperti itu," protesku kemarin sore saat melihat ibu mertua yang hanya mengenakan siluet dan celana jeans pendek.Arini mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang sedang menyirami tanaman pot di depan rumah. Dapat kudengar desah napas meski perlahan, sepertinya ia sedang menghalau perasaan yang mulai mengganggu pikiran.Kulihat ada raut resah yang menggelayut di riak wajahnya. Mungkinkah dia mulai mengerti dengan apa yang ada dalam hatiku?'Tuhan, bantu Arini memb
Kejadian di kantor membuatku semakin ingin mencari cara agar Arini segera bisa melihat kelakuan ibunya. Aku tidak ingin rumah tanggaku hancur hanya karena nafsu ibu mertua yang kegenitan.Malam ini sudah aku rancang semua percakapan, berharap tak ada salah paham yang membuat Arini berpikir aku tidak menyukai keberadaan ibunya di rumah ini.Terkadang aku merasa tak leluasa dalam berpendapat, mengingat kembali rumah yang kutempati adalah hasil jerih payah Arini. Meski Arini tak pernah mengungkit ataupun menyinggung, tetap saja aku punya rasa tak enak jika harus banyak komplain.Malam ini, setelah makan malam aku langsung pamit masuk ke kamar lebih awal dengan alasan tidak enak badan. Berharap Arini segera menyusulku ke kamar. Benar saja, dia masuk dengan membawa wedang jahe hangat dan minyak kayu putih di tangan.Ah, dia memang istri yang super. Menerima penghasilan yang kuberikan tanpa mencibir, melayaniku tanp
Pov AriniNamaku Arini, Arini Prabandari itu lengkapnya. Terlahir dalam keluarga broken home. Sejak kecil dalam asuhan paman dan bibi. Cerita tentang orang tuaku hanya kudengar dari mereka saja.Jujur, kekecewaan itu ada ketika mengetahui bagaimana kehidupan ayah dan ibu. Terlalu tragis bagiku, tapi tidak untuk ibu.Kata paman, ayahku pengusaha baja kuningan yang tergolong sukses. Banyak barang bernilai seni hasil produksinya yang tembus ke pasaran internasional.Ayah menikahi ibu yang berstatus janda bukan semata-mata karena ibu cantik, tapi lebih pada rasa iba. Ibu saat itu sedang kebingungan di sebuah terminal sambil menggendong anak kecil.Sungguh ironis memang, ayah yang datang sebagai dewa penolong justru harus berakhir tragis. Pernikahan mereka hanya bertahan tiga tahun dan dalam masa itu ayah kehilangan semua jerih payah yang ia bangun bertahun-tahun.Ya, ayahku adalah
"Mas, Sabtu besok aku ada tugas keluar kota. Ada pelatihan yang bahas produk perbankan baru," ucap Arini saat ia menyisir rambut di depan cermin.Kuhentikan jemariku dari aktivitas berseluncur di dunia maya. Kudekati wanita tangguhku dan mendekap erat tubuhnya dari belakang. Seketika indra penciumanku langsung dimanjakan oleh harum rambut seusai keramas."Dek, bisa nggak kalau tugasnya dilempar ke yang lain?" Aku berharap Arini tak meninggalkan rumah, karena itu artinya memberi celah pada wanita jelmaan itu untuk membuatku semakin gila."Nggak bisa, Mas. Pimpinan langsung menunjukku karena aku yang nantinya berkompeten untuk mempublikasikan produk tabungan itu." Dengan lembut ia menjawab seraya telapak tangan kanannya mengelus pipiku.Aku membalikkan badannya, menatap netra dengan manik kelam itu. Ingin kuselami dan kutemukan apa yang sebenarnya mengendap dalam pikiran wanita yang begitu tenang dan teduh ini.
Semenjak kepergian Arini keluar kota, kuputuskan untuk numpang di kost-kostan Martin, teman sekantor. Hanya dengannya kuceritakan semua dan disambut dengan gelak tawa.Mungkin baginya kisah menantu dikejar-kejar mertua itu sama seperti kisah Abu Nawas, penuh tantangan yang butuh akal ekstra untuk mengalahkan semua permainan atau teka-teki.Tak kupungkiri, ada kekhawatiran yang merayapi ruang pikir. Bagaimana jika Arini melihat video perlakuanku ke ibunya. Yang kutakutkan adalah Arini hilang hormat padaku yang berujung ia akan mendiamkan aku berhari-hari atau lebih parahnya mengusirku karena tidak terima ibunya aku bentak-bentak.Ah! Kenapa wanita iblis itu hadir dalam hidupku. Kupikir manusia seperti itu hanya ada dalam film-film saja, tapi ternyata memang ada dan hadir dalam kehidupanku sebagai penguji.Pikiranku buntu saat ini. Otak tak mampu bekerja mencari jalan keluar. Ingin rasanya membalas, tapi takut justru
Pov Ibu mertuaAku terpegun dalam diam, di bangku kosong sudut taman kota ini aku melayangkan kembali masa-masa yang tak ingin kuingat lagi. Masa di mana kebodohan itu bermula, masa penuh kepalsuan yang membawaku ke kehidupan yang justru lebih buruk dari sebelumnya.Dengan nanar kutatap alam kota ini kembali, menghirup udara dalam-dalam dan berharap akan ada asa yang menghampiri.Entah sudah berapa lama aku tak menginjakkan kaki di tanah kelahiran suamiku, tepatnya mantan suamiku. Semenjak perpisahan kala itu, aku benar-benar menjauh dari kehidupannya.Aku tinggalkan suami dan anakku yang saat itu masih berusia dua tahun. Sebuah kebodohan yang tak harus kusesali, karena bagaimana pun khilaf yang kulakukan penyebabnya adalah ketidakbecusan Mas Rahman dalam hal pemuasan urusan ranjang.Ya, Mas Rahman saat itu terkena penyakit diabetes sehingga mengganggu kejantanannya. Aku wanita muda yang masih norma
POV Ibu MertuaSaat kesendirian melanda dengan penuh warna kesedihan dan luka, keinginanku untuk tinggal di rumah Darwin justru ditolak oleh keluarganya. Sungguh mereka tak punya rasa empati sedikit pun untukku.Aku tak peduli apa kata Darwin. Setelah telepon kututup segera kupesan ojek online untuk mengantar ke sana. Aku pikir, mereka tak akan menolakku jika kaki ini sudah ada di depan pintu rumah.Sepanjang perjalanan kunikmati kembali semilir angin kota ini, kota yang pernah memberiku kehidupan penuh kebahagiaan secara materi. Saat dengan Mas Rahman aku tak pernah kekurangan, apa yang aku mau selalu dituruti.Ya, Mas Rahman teramat mencintaiku. Itu sebabnya ia selalu berusaha menjadikan aku ratu dalam kehidupannya, bahkan istana mewah ia bangun khusus untukku.Kuseka netra yang basah karena cairan bening tetiba muncul dan luruh begitu saja. Di sudut hati ternyata aku masih menyimpan rindu untuk M