Home / All / Penggoda Dalam Rumah / Penangkal Tipu Daya

Share

Penangkal Tipu Daya

Author: Ammi Poe YP
last update Last Updated: 2020-11-10 23:06:23

Kata demi kata telah kurangkai sedemikian rupa agar tak menjadi salah paham antara aku dengan Arini. Tapi sepertinya masih belum cukup memberi sinyal alarm kepada kepekaan wanita yang hatinya bak peri itu.

Gemas aku dibuatnya. Aku di sini bertarung melawan jala jerat yang ditebar oleh ibu mertua, sedangkan Arini tak jua memahami apa yang sedang menjadi kegelisahanku.

"Dek, Mas nggak nyaman dengan penampilan ibu yang terlalu seronok seperti itu," protesku kemarin sore saat melihat ibu mertua yang hanya mengenakan siluet dan celana jeans pendek.

Arini mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang sedang menyirami tanaman pot di depan rumah. Dapat kudengar desah napas meski perlahan, sepertinya ia sedang menghalau perasaan yang mulai mengganggu pikiran.

Kulihat ada raut resah yang menggelayut di riak wajahnya. Mungkinkah dia mulai mengerti dengan apa yang ada dalam hatiku? 

'Tuhan, bantu Arini membuka mata bahwa ada yang salah dengan ibunya,' doaku dalam hati.

"Dek, coba tegur ibu untuk berpakaian lebih sopan. Nggak enak juga kalau dilihat tetangga." Aku mencoba memanfaatkan situasi, mengomporinya dengan atas nama tetangga.

"Iya, Mas. Nanti aku coba bicara dengan Ibu." Dengan nada lemah Arini menyahut.

Ya, hanya itu yang ia ucapkan. Setelahnya aku tak tahu apa yang ia bicarakan dengan ibunya. Yang aku tahu hanyalah mengenai apa yang kulihat beberapa hari ini, ada sedikit perubahan sikap dari mertuaku terhadap Arini.

"Arini! Mana uang untuk beli pakaian Ibu?" pinta ibu mertua sambil mengulurkan tangan ke arah Arini yang sedang sarapan.

Aku menghentikan suapan, tertegun melihat Arini yang dengan ringan mengambil beberapa lembar uang untuk ibunya, menyerahkan tanpa banyak suara.

Hubungan macam apa itu? Tak pernah kulihat mereka mesra layaknya ibu dan anak. Arini sendiri merasa canggung saat berhadapan dengan ibunya, sedangkan Bu Hera jarang mengajak Arini mengobrol.

"Uang segini paling dapat dua baju." Ada nada mencibir dari ucapan wanita itu.

"Bu, itu bisa dapat empat gamis. Sementara itu dulu cukup, nanti kalau Arini ada uang lagi ibu bisa beli lebih." Dengan lembut Arini mencoba bersabar meski ada hembus napas gusar yang ia coba tahan.

"Terus aku siapa yang antar ke mall?" tanya wanita itu seraya mengarahkan pandangan ke arahku, tentu saja membuat aku yang hendak menelan makanan tiba-tiba tersedak.

"Ibu nggak usah ke mall, beli gamisnya cukup ke toko muslimah dekat rumah. Tinggal jalan sebentar keluar gang, nanti pas belokan ke kanan ada toko pakaian yang cukup besar." Jawaban Arini membuatku lega, segera kuraih gelas berisi air putih dan menenggaknya tuntas.

"Kamu ini, beliin baju Ibu kok yang murahan. Ibu sudah biasa beli pakaian yang nyaman. Kayak stelan ini aja harganya hampir satu juta, lho." Sembari memamerkan baju yang ia kenakan, wanita itu kembali mencibir istriku.

Geram rasanya, ingin kumaki jika tak ingat ia adalah ibu dari wanita yang kunikahi. Selera makanku menguar, hanya menyisakan rasa ingin segera pergi dari hadapan wanita pengeret itu.

"Dek, Mas berangkat dulu, ya." Tanpa menunggu jawaban Arini, aku melangkah pergi meninggalkan mereka.

***

"Danu, dicariin emak kamu, tuh!" seru Martin yang baru saja kembali dari luar.

Aku mendongak, mengeryitkan dahi heran kenapa ibu tiba-tiba datang dari jauh dan tidak memberi kabar. Baru saja hendak berdiri, mata ini membulat lebar melihat penampakan yang sungguh membuat setiap bola mata tercengang.

Ibu mertua genit itu tengah menjadi pusat perhatian para pria yang berada di kantor ini. Ya Tuhan ... sungguh cobaan apalagi ini?

"Gila, bro! Nggak nyangka kamu punya emak bahenol begitu," komentar Martin sembari meninju pelan lenganku.

Lemas seluruh persendian, kujatuhkan kembali tubuh ini ke kursi dan mencoba tetap bersembunyi dalam kubik. Menenggelamkan muka ke dalam rengkuhan tangan, berharap wanita itu tak dapat menemukanku di sini.

"Danu," sebuah panggilan lembut itu sudah berada tepat di belakang telingaku yang membuat aku tersentak kaget dan bangkit membalik tubuh.

"Ibu? Ibu ngapain di sini?" Aku pura-pura kaget untuk menutupi kegugupanku.

"Ibu tadi ke mall, terus mampir nganterin makanan buat kamu. Nih, dimakan biar nggak laper." Tangannya menyodorkan kardus dalam bungkusan tas plastik berwarna putih.

"Ini, terima!" paksa wanita itu seraya  meraih tanganku dan meletakkan bungkusan itu di telapak tangan yang tak mampu menolak pemberiannya.

"I-iya, Bu. Terimakasih."

"Teman-teman kamu matanya pada normal, ya?" ucapnya setengah berbisik sembari memandang para pria yang sedari tadi tak lepas memandang tubuh ibu mertuaku.

"Kenapa?" Dahiku melipat, mencoba memahami maksud ucapan wanita aneh ini.

"Mata mereka normal bisa melihat wanita menarik seperti aku. Beda dengan kamu, Danu. Mata kamu itu perlu dibawa ke dokter, siapa tahu ada masalah." Aku menangkap ada nada meledek dalam ucapannya.

"Oh, mungkin saya butuh kacamata, Bu. Makhlum, tiap hari kerja di depan laptop."

"Huff ... kamu ini, sengaja berkelit." Kulihat ia mencebik, bibir seksi itu justru makin terlihat menggoda.

"Ibu sebaiknya pulang. Tidak baik ke sini saat saya masih kerja."

"Ibu pulang bareng kamu, ya?"

"Saya masih lama, Bu. Masih tiga jam lagi."

"Tak apa, Ibu mau nunggu sekalian cuci mata lihat berondong-berondong itu." Kegenitannya benar-benar tak bisa dielakkan lagi, kerlingan nakal ia tebar sedari tadi ke pria-pria muda itu.

Sungguh aku kehilangan muka. Apalagi dia mengaku sebagai ibuku, semakin membuat harga diri ini jatuh ke jurang terdalam. Entahlah, setelah ini aku masih bisa mengangkat kepala tegak atau tidak di hadapan teman-teman di kantor.

Kubiarkan wanita bertubuh molek itu melenggang ke ruang lobi. Otakku berputar keras agar bisa menghindar darinya. Ketukan pulpen ke meja menyiratkan bahwa otak ini berpikir lebih keras dari sebelumnya.

Arini! Ya, hanya Arini yang bisa menyelamatkan aku lagi. Segera kuambil gawai yang tergeletak di sebelah laptop. 

[Dek, Ibu mampir ke kantorku. Dia ke sini pakai baju seksi. Mas nggak berani menegur, Dek. Takut Ibu tersinggung.] Dengan cepat ibu jari menekan tombol kirim.

Aku tersenyum simpul. Sudah pasti Arini akan ke sini dan membawa ibunya pulang. Sedikit demi sedikit kegelisahanku berkurang, kembali melarutkan diri dengan pekerjaan akan membuatku bisa melupakan kejadian yang baru saja terjadi.

Detik penunjuk waktu terus bergerak, namun Arini belum juga muncul untuk membawa wanita yang menitiskannya. Berkali-kali kuhela napas berharap dapat menetralisir kegelisahan yang kembali melanda.

Kucoba menghubungi Arini kembali. Tidak aktif. Pesan yang kukirim juga belum bertanda biru. Itu artinya belum dibaca.

"Arini, kemana kamu?" gumamku penuh resah sembari sesekali menilik ke halaman kantor yang dapat kulihat dari lantai tiga tempat aku bekerja.

Lima menit lagi jam kerjaku selesai. Tak bisa kubayangkan sepanjang perjalanan akan dipeluk erat oleh wanita kesepian itu. Bisa jadi nanti malam aku tak sanggup tidur lelap karena terus membayangkan rabaan tangannya.

Kukibas tangan, segera kupukul kepalaku berusaha menepis khayalan yang sempat melintas. Berkali-kali mencoba istighfar, menata hati yang mulai runyam oleh rayuan setan yang terus berbisik.

Dua puluh menit sudah jam kerja selesai, kubiarkan waktu berlalu dengan bersembunyi di toilet. Gawai yang kuharap ada panggilan dari Arini tak menyala sedikitpun.

Keadaan kantor mulai sepi membuat bulu kuduk merinding. Rumor ada penampakan yang sering muncul membuatku makin bergidik. Mau tak mau kaki ini kuayun keluar dari toilet menuju pintu lobi.

Wanita itu masih duduk tenang di sana. Dengan asyiknya berpose dan mengunggah hasil jepretan ke media sosial. Sungguh jauh berbeda dengan Arini yang tak suka selfie.

"Sudah selesai, Danu?" Dengan senyum bahagia ia menghampiriku.

Kali ini mungkin aku akan menyerah, tak bisa lagi menghindarinya. "Iya, Bu." Dengan nada lemah aku menjawab sembari tetap berjalan agak cepat menghindari tangannya yang hendak menggamitku.

"Aku tunggu di parkiran, ya, Bu. Karena harus cek bensin dulu." Sekenanya aku beralasan, tak peduli lagi dia yang berteriak memanggilku.

Dengan langkah seribu kaki ini kuayun dengan cepat. Berharap tak ada yang mendapatiku dengan wanita itu. Baru saja keluar pintu kantor, netraku seketika berbinar cerah. Malaikatku tengah berdiri menungguku.

Seolah mendapat secercah cahaya dalam gelap, aku menghambur ke istriku. "Beruntung kamu ke sini, Dek. Mas sudah khawatir nungguin kamu," ucapku sembari mengecup dahi Arini.

"Maaf, Mas. Paketan internet aku habis, posisi aku pas di lapangan. Jadi, nggak bisa bales chat kamu. Ibu mana?"

"Di belakang."

"Lho, kok ditinggal?"

Duh! Kenapa aku lupa. Pasti akan jadi tanda tanya buat Arini kenapa aku tega meninggalkan ibunya.

"Ehm ... itu, Dek. Tadi Mas buru-buru mau cek bensin dulu, terus mau pinjam helm juga." Semoga alasanku bisa ia terima.

"Ya, sudah nggak apa-apa."

"Arini?" Terdengar suara dari belakangku, suara penuh keterkejutan.

Sudah kupastikan wanita kesepian itu akan tercengang melihat putrinya sudah ada di depan mata. Ingin aku tertawa melihat wajahnya yang pias, namun sebisa mungkin aku tahan.

"Ayo, Bu. Pulang bareng aku," ajak Arini seraya menyerahkan helm kepada ibunya yang masih berwajah masam penuh kecewa.

"Mas, aku duluan dengan Ibu, ya."

"Iya, Dek. Hati-hati, nggak usah ngebut." Senyumku mengembang melepas semua sesak yang menghimpit dada.

Tatapan kesal itu masih dapat kulihat dengan jelas, diperkuat dengan isyarat kepalan tangan yang ia acungkan ke arahku. Sungguh wanita yang pantang menyerah, hahaha ....

Tawaku pecah. Untuk kesekian kalinya aku masih mampu bertahan, tapi tak tahu hingga kapan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penggoda Dalam Rumah   Kekuatan Cinta

    Kegalauan yang melanda akhirnya berganti rasa lega yang tak terkira. Pasalnya, bidadari cantikku tak pernah berpaling sedikit pun ke pria lain. Aku tahu, Arini pasti tak akan bisa meninggalkan lelaki tampan dan setia sepertiku.Sepanjang perjalanan senyumku terus saja merekah, membayangkan nanti malam akan kureguk kembali manisnya cinta bersama wanita halalku. Menyesal pernah mengabaikan rayuan nakal yang seharusnya mendapat respon dariku.Seandainya waktu dapat kuputar kembali, tak akan kubiarkan belahan jiwaku menahan hasrat seorang diri. Ah ... sepertinya benar kata orang, aku ini memang bodoh.Tapi tak apa, tak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua. Apalagi Arini selalu memaklumi setiap hal tentangku, termasuk ketidakpekaan yang selama ini dianggap sebagai kebodohanku.Tentu saja harus maklum, aku begini juga karena ibunya yang dulu memukul kepalaku hingga koma. Coba kalau dulu tidak digetok pakai vas, sudah pasti kejeniusanku akan bertahan hingga kini.Lamunanku buyar kala p

  • Penggoda Dalam Rumah   Sandiwara yang Sempurna

    Dari spion mobil dapat kulihat sosok wanita dengan rambut dikuncir ekor kuda sedang berjalan menuju mobilku. Dia menenteng map kuning berisi berkas file yang memang sengaja kutinggal.Senyumku makin merekah ketika wanita itu menyembulkan kepala untuk mengetuk kaca mobil. Segera aku persilahkan ia masuk ke mobil dan siap mendengarkan semua pengaduannya."Ini berkasnya, Tuan.""Iya, terimakasih. Sini masuk."Sri hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. Raut wajahnya tampak seperti orang yang sedang kebingungan. "Baik, Tuan."Untuk kesekian kali kuhela napas kembali, mencoba mentralisir gejolak emosi yang meletup-letup. Aku persiapkan hati dan mental untuk mendengar sebuah kebenaran yang akan diungkap oleh Sri."Kita hanya punya waktu sebentar, jangan sampai Arini curiga karena kamu kelamaan di sini.""Iya, Tuan.""Jadi, cepet kamu cerita." Rasanya tak sabar lagi untuk mendengar penuturan Sri, rasa penasaran semakin memuncak."Begini, Tuan. Mbak Arini selama ini ...." Sri menggantung uc

  • Penggoda Dalam Rumah   Pengakuan Sri

    Gawaiku kembali bergetar untuk kesekian kalinya. Akhirnya dengan malas kulirik juga layar yang berpendar itu. Sebuah nama terpampang, Bobby."Ya, ada apa?" jawabku malas."Dan, besok kamu berangkat lagi ke Bandung, ya? Aku harus ke Pekanbaru sore ini.""Kenapa harus aku?" tanyaku dengan sewot, karena aku tahu pasti ini akal-akalan dia lagi."Kamu itu partner kerja aku, ya sudah pasti kamu yang bisa handle kerjaanku."Sejenak aku berpikir. Sepertinya ini kesempatan aku untuk menangkap basah Bobby ketika menemui Arini. "Oke, besok pagi aku berangkat ke sana." Sengaja aku menjawab dengan mantap agar ia tak curiga dengan rencanaku."Thanks, Dan."Tanpa menjawab lagi, kumatikan panggilan. Bagiku sudah cukup basa-basi dan sandiwara yang dimainkan oleh Bobby. Sekarang saatnya Adarga Handanu menunjukkan taring.Malam ini aku mulai mempersiapkan beberapa lembar baju yang aku masukkan ke dalam koper kecil. Tidak lupa laptop dan beberapa dokumen yang akan dibutuhkan aku sertakan pula."Lho, Mas

  • Penggoda Dalam Rumah   Gagal Lagi

    Detak jarum jam terdengar mengisi sunyi malam yang kurasa tanpa ujung. Arini telah terlelap di sampingku. Begitu lekat kupandangi wajah lelahnya.Kembali anganku mengembara tak menentu. Hingga detik ini otak belum juga menemukan titik temu meski sudah banyak masukan dari para Danu lovers.Aku bangkit dari posisi tidurku, kemudian turun menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Aku rasa dua rakaat di tengah malam akan memberiku rasa tentram sehingga akal bisa berpikir jernih.Dengan menghadap kiblat, aku berserah diri dan memohon jalan keluar pada Illahi Rabbi. Ketenangan mulai menjalari relung jiwa, perlahan kekhawatiran sedikit demi sedikit terkikis.Setelah selasai bermunajat, kurebahkan kembali raga yang telah lelah. Kupejamkan netra meski masih sulit untuk tidur. Beberapa kali kuatur pernapasan agar himpitan di dada tak begitu menyesakkan.Baiklah, aku harus berpikir untuk mencari solusi tanpa membuat hubunganku dengan Arini renggang atau bahkan rusak.Bisa saja aku tunjukkan

  • Penggoda Dalam Rumah   Curhatan Adarga Handanu

    Hari demi hari kegalauanku semakin memuncak. Perasaan was-was kian tak menentu menguasai setiap sendi rasa takut.Argh!Semakin lama situasi ini semakin membuat batinku tertekan. Setiap langkah yang hendak kugunakan terbentur pada rasa tidak yakin dengan hasil yang nantinya akan kudapat.Demi menjaga keutuhan rumah tangga, kuputuskan siang ini untuk pergi menemui teman lamaku, yaitu Martin. Berharap setelah mengobrol dengannya akan kudapati solusi dari semua permasalahan ini."Tumben ingat aku, Dan?" sapa Martin kala tulang duduk menyentuh kursi di cafe bernuansa klasik ini."Masih untung aku ingat kamu, Tin." sungutku tak berselera menanggapi kicauannya."Ada masalah apalagi?""Bobby.""Bobby? Mantan ayah mertua tiri kamu yang pemuja nenek semlohai itu?"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan panjang yang terlontar dari mulut Martin. "Pesen kopi dulu, gih!" usulku pada Martin."Pakai sianida, nggak?" canda Martin sembari mengedipkan mata membuat tingkah konyol."Boleh,

  • Penggoda Dalam Rumah   Foto Kedua

    Hari ini adalah hari terakhir aku melakukan pemantauan proyek di kawasan perumahan elite. Sudah genap satu minggu aku bersama Rusli menyelesaikan pekerjaan.Kututup laptop dan bergegas menata pakaian. Setelah semua siap, aku berpamitan pada Rusli. Lelaki yang menjadi orang kepercayaan Bobby itu melepasku hingga depan pagar.Senyumku mengembang, rasa rindu terhadap anak dan istri begitu menggebu. Meski setiap malam bisa melihat mereka melalui video call, namun kerinduan akan hangatnya kebersamaan tetap bergelayut di hati.Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mesin beroda empat yang kukemudikan memasuki halaman rumah. Arini menyambutku di teras rumah dengan senyum manis menyembul di bibir tipisnya.Arini segera menyambutku dengan cium tangan takzim, kemudian ia bergelayut manja di lenganku. Kudaratkan kecupan hangat di dahi wanita yang teramat kurindukan pelukannya."Putra dan putri sehat, Dek?""Sehat, Mas.""Alhamdulillah ... Mas kangen, emmuach ...." sekali lagi k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status