Aku tahu bayangan itu tidak bisa pergi karena pada senin malam, aku kembali mengalami mimpi buruk yang luar biasa mengerikan. Kakak berdiri menungguku, lagi-lagi dengan kepala penuh darah. Aku tidak ingat apa yang terjadi, tetapi tepat sebelum terbangun, aku merasakan sesak yang luar biasa sampai napasku tertahan.
Maka begitu aku terbangun, benakku segera kacau sejadi-jadinya. Napasku kacau dan seluruh tubuhku sudah diselimuti keringat. Jantungku berdebar-debar sampai gemetar menguasai seluruh benakku. Lagi-lagi dan lagi. Aku selalu tidak bisa mengakhiri mimpi tanpa air mata. Rasanya aneh, sesak, dan menjengkelkan dalam satu waktu. Mengapa Kakakku selalu kembali?
Aku ingat suara terakhirnya. Kota Kertas. Dan satu-satunya yang kutahu tentang itu hanya permainan VR yang dikembangkan Erwin Hood. Permainan simulasi kehidupan yang tokoh utamanya merupakan anak petani, hidup di desa terpencil sampai akhirnya merantau ke kota yang ternyata penuh pelik. Gabungan misteri dengan bumbu kehidupan menyentuh. Tidak ada Lockwood, tidak ada kematian, hanya tekanan hidup. Mustahil ada petunjuk di dalam sana.
Aku tidak mengerti mengapa kakak selalu menghantuiku.
Barangkali itu ganjaran karena aku membuat Bu Hiroko mengingat insiden kematiannya, tetapi mengapa aku tidak berhak membela diriku sendiri? Aku yang paling sengsara di sini. Dan aku yang paling tahu kalau bersekolah bisa membuatku berharap lebih tentang kehidupan normal yang selalu kuidamkan.
Aku ingin hidup normal, tetapi mengapa dendam ini tidak bisa hilang?
Akademi Grinover itu mengerikan.Selain harus menghadapi realita bahwa seisi sekolah membenciku karena riwayat keluargaku pemberontak, aku harus bertahan dengan surat ancaman yang kuterima setiap harinya. Satu-satunya hal baik yang kudapatkan hanya fakta bahwa aku mendapat empat kali kelas yang sama dengan Rena Lockwood—yang pada dasarnya juga merupakan hal mengerikan karena dia tidak pernah membuat semua menjadi lebih baik. Aku memang ingin bicara dengannya, tetapi dia selalu mengambil tempat duduk di belakangku, ketika semua orang memberi jarak dua bangku—yang secara teknis, membuat semua orang mengawasi gerak-gerik kami.Jadi, meskipun dia duduk di sana, kami tidak pernah memiliki waktu untuk bicara. Aku tidak tahu apa motifnya, tetapi dia kelihatan ikut frustrasi.Namun, pada akhirnya momentum itu datang ketika aku mendapat hukuman dari Pak Green, guru matematikaku, karena kedapatan melihat helikopter ketika dia mengoceh panjang lebar tenta
Istirahat makan siangku berakhir bagaikan neraka. Ketika aku tengah sibuk memegang sikat toilet, membersihkan ujung urinoar, seseorang—atau dua orang masuk dan segera menutup pintu. Aku menoleh, melihat Regan Reeves berdiri di dekatku. Belum sempat aku bereaksi, kepalan tangannya melesak kuat ke pipiku.Maka aku terbanting, menabrak dinding toilet, dan—hampir—membentur urinoar. Aku segera bangkit, tetapi Regan Reeves langsung mencengkeram kausku.“Kau berani mendekati Rena Lockwood?”“Apa urusanmu?” geramku.“Kau takkan berhenti berurusan denganku selama masih di sekolah ini.” Dia balas menggeram di mataku. Pipiku sakit, rasanya ingin terbatuk dengan sensasi membekas di pelupuk mata. Namun, aku perlu menahan tangannya yang mencekik. “Seharusnya kau tunduk, Bajingan Kecil. Kau pembunuh.”“Aku. Bukan. Pembunuh.”“Kau pasti berniat membunuh Rena.”D
Meskipun tinggal di Kawasan Normal, bisa dibilang tempat tinggalku cukup jauh dari pusat Kawasan Normal. Di hari Jumat sepulang sekolah, aku mengunjungi toko kelontong favoritku di Kawasan Normal. Bukan toko mewah yang dikelilingi kaca, melainkan ruangan bak gudang penyimpanan yang memiliki pintu kasa. Satu-satunya toko di Kawasan Normal yang pada dasarnya tidak menjual apa pun.Maksudku, Kawasan Normal tidak menerapkan sistem jual beli. Sebagian besar penduduknya adalah pencuri, perampok, preman, dan sebagian besar lainnya orang-orang yang kehilangan harapan hidup. Jadi, jual beli di Kawasan Normal lebih cenderung ke arah pasar gelap—yang sama sekali tidak ingin kuketahui lokasi dan wujudnya. Mempertimbangkan itu, bisa dibilang toko kelontong bukan sembarang toko. Ini tempat anak-anak yang terlahir di Kawasan Normal memiliki harapan untuk tetap menyambung hidup.Itulah alasan mengapa aku dan Louist bisa selamat di Kawasan Normal.Pemiliknya seorang Kakek
Louist mengajakku ke lantai tertinggi di gedung yang berseberangan dengan kediaman Lee Hudson—salah satu Lockwood di parlemen. Hujan deras membuat lantai ini menjadi gelap, suram, dan bau. Louist bilang, ini lantai tempat pegawai kebersihan beristirahat, tetapi karena tidak lagi dibutuhkan, lantai ini terbengkalai.“Gedung Langit,” kata Louist. Kami berdiri di depan jendela lantai sepuluh, menatap kediaman Lee Hudson. Megah dan mewah. Wilayah paling ujung di Area 2 Distrik Lockwood yang dipisahkan sungai beraliran deras. Dari yang terlihat DI mataku, aku seperti bukan melihat rumah, tetapi kompleks kastel dengan dua bangunan utama dan pekarangan indah yang penuh berbagai jenis tanaman. Gaya arsitektur Asia yang mengedepankan kesan kerajaan.Aku sedang sibuk memikirkan seberapa luas kediaman Lee Hudson, ketika Louist menyergah, “Bisakah kau mengawasi kamera pengawas?”Aku melihat lantai. Ada banyak kabel berjuntai ke sana kemari, sat
Hari Selasa.Aku kembali mendapat kelas bersama Rena Lockwood—kelas Matematika di periode ketiga dan Bahasa Jepang di periode kelima. Sebenarnya aku tidak ingin kelihatan terlalu peduli dengan kejadian beberapa hari lalu, tetapi ketika wajahnya terlintas di mataku, mau tak mau ingatan itu kembali ke kepalaku.Pertama kami bertemu pandang adalah saat dia berdiri di samping tempat dudukku. “Selamat pagi," sapanya. "Aneh sekali melihatmu tidak mendapat hukuman.”“Itu sapaan terbaik yang kudengar hari ini,” balasku.“Hanya bercanda,” dia tersenyum, lalu duduk di kursi belakang. “Jangan muram begitu. Aku tahu kau tidak berbuat onar minggu ini. Jadi, bisakah kau sedikit tersenyum?”Dia terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami apa-apa. Dia terus berbicara remeh—tertawa dan bertingkah seperti biasanya. Dia juga tidak mengucapkan hal mencurigakan. Kami hanya saling bicara dan bercan
Aku berhenti merenung setelah melihat kilasan cepat yang mematikan.Kejadian itu berlangsung di persimpangan Area 3 Distrik Lockwood. Tak ada kendaraan di sekitar. Lampu lalu lintas juga menunjukkan warna hijau. Jadi, kami melaju dengan kecepatan yang sama mengikuti mobil Lockwood.Dan tiba-tiba mobil hitam muncul tanpa diundang. Jenis mobil sedan umum yang biasa digunakan untuk wisata keluarga. Hanya saja, dengan jenis kaca hitam legam—paling ilegal untuk digunakan pada kendaraan. Mobil itu datang dari sisi kanan, menerjang tepat ke bagian tengah mobil Lockwood.Maka di depan mataku, kedua mobil bertabrakan dengan kecepatan tinggi. Suara benturan terkesan fiktif, dan aku melihat kedua mobil saling tolak-menolak karena tumbukan lenting sempurna. Aku tahu Bu Hiroko juga terkejut karena kami sama sekali tidak mengeluarkan suara—bahkan sekedar helaan napas.Harapan hidupku mengatakan aku harus membantu Bu Hiroko menginjak rem. Namun, Bu Hir
Aku akan mengungkap satu rahasia besar: Rumah Pohon dulunya tempat persembunyian ayahku dan Erwin Hood. Kakak bilang, Erwin Hood memberi akses khusus agar Rumah Pohon hanya bisa dimasuki orang-orang tertentu. Maka jelas, kakakku salah satunya. Dulu aku tidak memusingkan itu. Namun, setelah kakakku pergi dan aku tidak bisa kembali ke rumah, aku mulai memikirkan bagaimana cara mengaksesnya—dan ternyata sudah sejak lama Erwin Hood memberi kode akses padaku. Dia pernah memberiku hadiah kartu dengan susunan angka layaknya kata sandi. Butuh bertahun-tahun bagiku untuk sadar bahwa itu kode akses.Maka dua tahun setelah kakakku tewas, aku mulai tinggal di Rumah Pohon.Louist tidak berniat tinggal satu atap denganku, dan aku juga tidak berniat. Dia hanya mengambil barang-barang penting seperti ranjang atau semacamnya.Maka bagian normal yang tersisa dari Rumah Pohon hanyalah tiga ruangan kecil: ruang tengah sekaligus dapur, ruang kerja, serta kamar mandi. Rua
Keesokan harinya, aku terlambat, itu wajar.Teman-teman kelasku mulai melontarkan isu kecelakaan di Area 3 Distrik Lockwood, kuakui itu wajar. Beberapa orang mulai mengucapkan bela sungkawa, lagi-lagi itu wajar. Tidak ada yang membicarakan bahwa itu Rena Lockwood, yah, itu wajar. Jasadnya terbakar. Aku cukup memerhatikan kelas pra-kalkulus, sepertinya itu wajar. Namun, ketika aku menoleh ke bangku belakang, mendapati bangku itu kosong, aku tahu itu janggal. Dia tidak lagi di sana.Maka di periode keenam, kejanggalan itu mencapai puncak.Seluruh murid dikumpulkan di aula. Hampir tiga ratus orang berkumpul di satu tempat dengan suara gaduh yang tumpang tindih. Aku duduk di kursi belakang, melihat podium di bagian panggung. Itu membuat beberapa orang bergumam penuh kecurigaan sampai Kepala Sekolah kami yang berjanggut putih naik ke podium. Sejujurnya kami jarang mendapati Kepala Sekolah di area sekolah. Dia terlalu sering kunjungan dinas sampai tidak di