Keesokan harinya, aku terlambat, itu wajar.
Teman-teman kelasku mulai melontarkan isu kecelakaan di Area 3 Distrik Lockwood, kuakui itu wajar. Beberapa orang mulai mengucapkan bela sungkawa, lagi-lagi itu wajar. Tidak ada yang membicarakan bahwa itu Rena Lockwood, yah, itu wajar. Jasadnya terbakar. Aku cukup memerhatikan kelas pra-kalkulus, sepertinya itu wajar. Namun, ketika aku menoleh ke bangku belakang, mendapati bangku itu kosong, aku tahu itu janggal. Dia tidak lagi di sana.
Maka di periode keenam, kejanggalan itu mencapai puncak.
Seluruh murid dikumpulkan di aula. Hampir tiga ratus orang berkumpul di satu tempat dengan suara gaduh yang tumpang tindih. Aku duduk di kursi belakang, melihat podium di bagian panggung. Itu membuat beberapa orang bergumam penuh kecurigaan sampai Kepala Sekolah kami yang berjanggut putih naik ke podium. Sejujurnya kami jarang mendapati Kepala Sekolah di area sekolah. Dia terlalu sering kunjungan dinas sampai tidak di
Aku membawa kasur lipat, bantal, selimut, peralatan mandi, seperti handuk yang jauh lebih lembut dari milikku, sabun, sampo, kondisioner dan berbagai jenis kebutuhan primer yang setidaknya dibutuhkan perempuan seusiaku ke meja konter. Kurang lebih Kakek menganga tidak percaya. “Ini untuk gadis, Nak.”“Aku tahu. Berapa harga semua ini?”“Kau menghabiskan uang peninggalan orang tuamu.”“Katakan saja berapa, Kek.”Kakek mengambil katalog harga, memeriksa satu per satu barang. “Aku tidak percaya saat Laura bilang kau membawa gadis ke Rumah Pohon. Jadi, itu benar? Kau punya pacar baru?”“Bisa dibilang begitu.” Aku sibuk menghitung uang di dompet.“Ini hadiah untuknya? Kau tinggal bersama dengannya?”“Aku takkan memberi hadiah dari Kawasan Normal.”Kakek mengerutkan kening. “Kenapa?”“Sebenarnya aku menculik cewek
Aku menghabiskan sepanjang malam di toko kelontong, menemani Louist yang membaca buku KUPAS HABIS HATI PEREMPUAN dan aku mengomentari sikap tak terduga itu sepanjang berada di sana. “Kau mau bermain cewek?”“Kurasa kau harus pulang sekarang,” katanya.“Kau mengusirku?”“Kau harus memastikan jasadnya sekarang.”“Itu hal mengerikan ketujuh yang kudengar hari ini.”Namun, aku sepakat dengan itu. Maksudku, aku harus segera pulang karena hanya ingin mendinginkan kepala di sini. Jadi, begitu menyelesaikan urusan ini-itu—bercanda dengan Kakek dan Louist—aku kembali ke Rumah Pohon.Maka kudapati Rumah Pohon gelap, seperti aku meninggalkannya di hari-hari normal. Aku menyalakan lampu, dan menyadari kasur lipat dan barang-barang yang kubeli lenyap tidak berbekas. Terakhir kali aku meninggalkannya, semua itu berserakan, tetapi kini, barang-barang itu menghilang.Aku me
Itu pertama kali aku terbangun bukan karena mimpi buruk atau alarm, tetapi karena wangi masakan. Aku tidur di ruang tengah—berbagi ruangan dengan dapur, berlapiskan kasur lipat dan selimut beraroma kapur barus. Belum sempat membuka mata, seseorang sudah berteriak di telingaku.“BANGUUN, TUAN MAJIKANN!”Aku membuka mata, tetapi rasanya lengket. Jadi, aku mengembalikan fokus dan berusaha melihat jam. Sayangnya, Rena menutup seluruh jarak pandang karena dia benar-benar, secara teknis, di depan mataku. “Ah, kau bangun!” serunya.“Pemandangan indah di pagi yang cerah,” sambutku.“Aku yakin kau melihatku sepanjang malam karena kau benar-benar tidak bisa bangun kecuali dengan ini.” Dia tersenyum di depan mataku. “Selamat pagi, Charlie. Mimpi indah semalam?”“Lebih indah saat membuka mata.”“Ya, ya, aku suka pujianmu.” Dia beranjak. “Cuci mukamu. Kau seri
Suasana Akademi Grinover masih diselimut duka. Jadi, tidak ada hal berarti yang terjadi selain sorot kebencian padaku yang semakin menguat. Aku dan Bu Hiroko sepakat tidak akan saling bicara selama beberapa waktu ke depan. Barangkali tidak ada yang mengira kami terlibat dalam kecelakaan, tetapi ketika kami bertemu, kami pasti tidak akan bisa menahan keinginan membicarakan kasus. Dan, ya, tentu saja itu pertama kalinya aku menjalani hari tanpa berkelahi.Aku sempat berselisih jalan dengan Regan Reeves. Raut wajahnya pucat, sorot matanya mati, jadi aku tahu dia hanya tidak menyadari keberadaanku. Tidak ada kejadian berarti yang membuatnya harus mencekikku karena aku tahu dia masih terbayang akan kematian Rena. Mengingat sebagian besar waktuku di sekolah juga selalu mengikuti Rena, kegiatanku jadi tidak terlalu berarti.Barangkali kejadian yang bisa kunikmati hanya periode fisika dari Sir Bram. Dia salah satu dewan guru yang tidak terlihat memberikan sorot kebencian, jadi
Sore itu, aku duduk di pinggir lapangan utama Akademi Grinover, tepat di bawah pohon ek. Ada pertandingan sepak bola antara Akademi Grinover dengan sekolah lain. Sebenarnya aku tidak terbiasa melihat sepak bola, tetapi angin sore itu terasa hangat. Jadi, aku tidak ingin kehilangan momen bersama angin.“... Kejar! Rebut bolanya!”Mereka cukup tangguh. Maksudku, tim musuh. Badannya relatif kekar, dan, anehnya, lincah. Sungguh tidak adil. Sebenarnya aku netral, aku tidak mau menjadi pendukung Akademi Grinover, apalagi musuhnya, tetapi saat kulihat Regan Reeves di lapangan, aku langsung memihak oposisi. Jadi, wahai musuh, berjuanglah. Kalau perlu, sikat habis saja bajingan berotot itu sampai babak belur.Pertandingan mulai sangat seru ketika pemain lawan berhasil lolos. Umpan jauh dilambungkan, dan pemain depan itu melesat cepat menjemput bola. Pemain belakang Akademi Grinover kacau. Salah satu dari mereka berlari mengejar bola. R
Aku kembali ke Rumah Pohon sebelum gelap.Dan tidak ada siapa pun. Kosong, seperti tidak ditinggali seseorang.Jadi, aku mengetuk dinding kayu. “Aku tahu kita butuh kode khusus agar kau tahu kalau yang masuk itu aku. Tapi pertama, kau bisa melihat ke luar dengan kamera pengawas. Nyalakan layar, kau bisa melihat apa pun. Kedua, Rumah Pohon punya kode akses. Kau harus tahu kode akses untuk masuk atau sengatan listrik bisa membunuhmu.”Terdengar seruan dari ruang kerja. “Kenapa. Kau. Tidak. Mengatakan. Itu. Dari. Kemarin?” Suaranya terdengar semakin dekat, dan dia muncul dari balik pintu ruang kerja. “Idiot!”“Sambutan yang baik.”“Aku bosan!”“Kecilkan suaramu.” Aku melempar tas—hampir ke ruang kerja, tetapi aku sadar kalau itu sudah jadi kamar Rena, jadi aku membuangnya ke sudut ruang tengah, membuatnya menabrak keras dinding kayu.Rena menatapku. &ldqu
Akhir pekan, aku mengisi jam kerja yang kujanjikan pada Kakek.Lebih tepatnya, tengah malam, aku ke toko kelontong dan mendapati Louist berdiri di luar toko menatap bintang. Tidak biasanya tengah malam begini dia ada di toko kelontong, tetapi kupikirkan kalau aku juga begitu.“Mau menangis?” sapaku. “Lebih baik di pundak Laura.”Dia menoleh, mendapatiku. Dalam detik itu juga, dia menyipitkan matanya. “Orang idiot macam apa yang keluar hutan tengah malam?”“Tidak bisa tidur.” Aku berdiri di sampingnya. “Rindu masa lalu?”“Apa urusannya?”“Tumben sekali kau tidak di gudang kontainer bau asam itu. Jadi, mungkin kau mengingat masa lalu karena kita pernah melakukan ini. Melihat langit dan tidak bicara apa pun.”Dia terdiam selama beberapa saat, sampai akhirnya berkata, “Aku benci melankolis sepertimu.” Dia beranjak masuk ke toko, tet
Begitu malam tiba, aku kelupaan satu hal yang harus kulakukan.Rena mengetuk dinding kayu berulang kali, bahkan hampir meninjunya. Aku bersimpuh di depannya, tidak bisa berkata apa-apa.“Tidak bisakah kau memberitahuku kalau ingin pergi?” Nada suaranya seperti ingin meremasku habis-habisan. “Kau pernah membayangkan bagaimana aku tidak menemukanmu di mana-mana sementara tempat ini tidak punya sesuatu yang bisa membuatku terhubung denganmu? Kamera pengawas—”“Maaf.”“Kalau saja aku tidak melihat kamera pengawas,” sergahnya, tidak peduli ucapanku, “orang idiot macam apa yang tengah malam pergi ke hutan?”Itu persis seperti yang dikatakan Louist. “Maaf.”“Dengar, aku yakin kau sudah terbiasa melakukan itu, keluar tengah malam atau semacamnya, tapi tidak bisakah kau memikirkanku? Tidak bisakah kau sedikit berpikir ada yang mencemaskanmu karena dia tidak ingin terj