Home / Romansa / Angkasa Merah di Kota Kertas / 2. 2021, AKADEMI GRINOVER #2

Share

2. 2021, AKADEMI GRINOVER #2

last update Last Updated: 2020-12-23 19:47:40

Bu Hiroko memiliki kelas yang harus dia masuki di periode setelah istirahat makan siang. Jadi, kelas konseling dimulai seusai jam sekolah. Aku duduk di sofa ketika mendapati guru pra-kalkulus melewati tempatku duduk.

“Senang melihatmu mendapat bimbingan, Redrich.”

“Bisakah Bapak Tua sopan pada murid bimbinganku?” sergah Bu Hiroko.

“Apa?” Dia menyalak Bu Hiroko.

“Ada berbagai alternatif sapaan yang bisa dikatakan pada murid baru, yang secara kebetulan mendapat masalah karena kakak kelasnya yang kurang ajar. Jadi, bisakah seorang guru memerhatikan cara bicara pada muridnya?”

“Itu membuktikan dia tidak pantas bersekolah—”

“Itu dia. Bisakah kita tidak membedakan murid Akademi Grinover?”

Mereka saling membalas, dan dalam kurun tiga menit, aku merasa canggung dengan bulu kuduk aktif karena menjadi topik perdebatan dua dewan guru. Dan Bu Hiroko menang karena lawan bicaranya pergi, membanting keras pintu sampai Bu Hiroko berteriak, “Pelan-pelan kalau menutup pintu, Dasar Pemabuk Tua Bangka!”

Tidak terdengar balasan sampai aku berkomentar, “Bu Hiroko bisa dipecat kalau bicara seperti itu.”

“Terima kasih peringatannya, tapi kalau mereka berniat melakukannya aku pasti sudah dipecat sejak lama.” Dia meneguk air, lalu duduk di sofa depanku. “Hari pertama. Apa yang terjadi sampai kau membuat gusi Regan Reeves berdarah?”

“Dia mencekikku."

“Berbahaya juga. Berapa orang yang melihat itu?” 

“Eh,” aku segera meningat-ingat, “aku sedang membaca, lalu dia muncul bersama dua temannya sambil membawa senjata, lalu dia mencekikku, mengumpat keluargaku sambil membahas masa lalu, dan aku memukul pipinya.”

“Berapa orang yang melihatnya?” ulang Bu Hiroko.

Gagal. Aku berpikir bisa membuatnya bersimpati. Aku yakin Regan Reeves sudah bercerita macam-macam. Namun, aku tak ingat berapa orang di sekitar lapangan sepak bola. “Banyak yang lalu-lalang, jadi ... aduh, berapa, ya?”

Bu Hiroko menghela napas. “Oke. Keberatan dengan membersihkan toilet?”

“Bukan skors?”

“Aku berusaha menjauhkanmu dari skors dan kau meminta skors?”

“Maksudku, aku suka membersihkan toilet.”

Bu Hiroko menulis di lembaran, yang kuketahui sebagai lembaran hukuman guru konseling. “Sebulan penuh. Ini setimpal dengan skors.”

Aku menyesal sudah mengatakannya.

“Kau mengerti situasinya, kan?” tanyanya, sembari memberikan lembaran.

“Kalau aku menjadi petugas kebersihan baru di Akademi Grinover?” Aku mengambil pena, menandatangani lembaran. “Kurasa hukuman mencuci piring selama jam makan siang jauh lebih bermoral dari ini.”

“Maksudku,” sela Bu Hiroko, “Lockwood, dan lain-lain.”

Aku langsung mengangkat kepala. “Kenapa dengan Lockwood?”

Bu Hiroko mendesis. Dia memintaku melihat barisan foto yang terpampang di atas bilik konseling. Jadi, aku menoleh dan mendapati barisan bingkai yang indah. Campuran emas dan perak. Ada potret beberapa murid Akademi Grinover di sana.

“Murid bermasalah? Oke. Aku tahu bakal ada di—”

Minat bicaraku langsung hilang.

Bukan karena melihat seseorang yang begitu kurang ajar, tetapi karena aku seharusnya tahu apa yang dimaksud Bu Hiroko. Aku menatap salah satu foto yang berada pada posisi paling jelas seolah Bu Hiroko mengatur agar selalu menghadapnya. Foto gadis cantik berambut cokelat dengan senyum miring yang khas. Tulisan di bawah foto itu bertuliskan: KETUA OSIS.

“Aku tidak punya fotonya yang seperti ini,” kataku. “Kurasa aku mau minta kopiannya. Bisa aku dapat satu?”

“Bukan itu yang ingin kukatakan,” desisnya. 

“Aku tahu. Alasanku masuk ke sekolah ini, bukan?”

Aku meneguk air di ujung meja, menunggu Bu Hiroko menjawab, tetapi kusadari air mukanya sudah mewakili jawabannya. Aku sempat mengedarkan pandangan, bersikap awas kalau seseorang menguping pembicaraan kami, dan kusadari Bu Hiroko tidak akan membicarakan ini kalau ada orang lain di ruang konseling.

“Ada dua hal,” kataku. “Pertama, karena ini sekolah lama kakakku. Dia mantan Ketua OSIS, jadi aku berpikir kalau mungkin ada beberapa dewan guru yang masih mendukung gerakannya. Seperti Bu Hiroko. Kedua, dan yang paling penting, adalah karena Rena Lockwood juga masuk sekolah ini.”

Bu Hiroko kelihatan sudah menduga itu. “Dari mana—”

“Aku selalu menyelidikinya. Rena Lockwood. Tapi sulit menemukan informasi tentangnya. Jadi, aku berpikir kalau dengan masuk sekolah yang sama bisa membuatku bicara langsung dengannya.”

“Untuk?”

“Memastikan gerakanku selanjutnya.”

“Dan apa tepatnya gerakanmu selanjutnya?”

Aku mengangkat bahu. “Tidak bisa kukatakan.”

Bu Hiroko kelihatan kecewa karena memukul pelan mejanya. “Jadi, itu alasanmu mendesak Sir Bram menerimamu di sini? Kupikir kau tergugah dengan pendidikan—tapi apa yang kau tawarkan padanya sebagai ganti menerimamu?”

“Lockwood bisa mengawasiku selama di sekolah.” 

Tentu saja Bu Hiroko terkejut. “Kau menjual dirimu ke Lockwood?”

“Sebagai pembuktian kalau aku bukan pembunuh berantai. Aku benar-benar bukan pembunuh berantai. Bu Hiroko tahu itu, bukan?—Tidak. Biarkan aku mengatakan semuanya. Selama empat tahun ini aku tidak pernah terlibat bunuh-membunuh yang dilakukan Kawasan Normal. Dan aku tahu betul kematian kakak membuat Bu Hiroko sangat terpukul—tapi apa Bu Hiroko lupa denganku?” Tanpa sadar aku sudah berdiri, menuntut Bu Hiroko. “Aku juga terpukul—bahkan aku yang seharusnya paling terpukul. Tapi kenapa Bu Hiroko tidak membawaku pergi? Kenapa Bu Hiroko membiarkan bocah dua belas tahun terombang-ambing di area paling mengerikan di Sandover? Bu Hiroko tidak peduli denganku? Bu Hiroko tahu semuanya, kan? Tentang Lockwood dan apa pun itu. Tapi kenapa selama ini Bu Hiroko diam saja?”

Sungguh, semua ucapan itu keluar dengan nada lebih tinggi dari yang kubayangkan. Begitu aku menyadarinya, aku sudah menatap mata Bu Hiroko yang mulai bergetar—seolah rangkaian pertanyaan itu membangkitkan ingatannya tentang empat tahun lalu.

“Maaf,” kataku, kembali duduk.

“Kau harus tahu kalau aku peduli denganmu,” sergah Bu Hiroko.

“Oke.”

Aku tidak punya kata-kata lain yang bisa mewakili perasaanku. Dan kalau berusaha meluapkannya, aku pasti kembali menyalahkan Bu Hiroko. Mungkin Bu Hiroko bukan keluargaku, tetapi dia merawat kakakku—dan tentunya aku—ketika kakakku bersekolah di Akademi Grinover. Tentu saja aku marah ketika dia tidak lagi mempedulikanku begitu kakakku terbunuh.

“Jadi, biar kupastikan lagi,” katanya. “Kau mengincar Rena Lockwood?”

“Bukan hanya aku.” Dan setelah beberapa saat, kusadari aku mengucapkan hal yang tidak seharusnya kukatakan. “Maksudku, iya.”

Namun, terlambat. “Bukan hanya aku?”

“Baiklah. Kawasan Normal. Pemberontak.”

“Mereka ada di sini?”

“Tidak. Tapi mereka juga mengincarnya. Maksudku, mereka itu kumpulan pembunuh. Dan salah satunya teman baikku—tapi aku bukan salah satunya. Hanya teman baik karena ... siapa lagi yang bisa menjadi temanku selain pembunuh? Jadi, tentu saja Rena Lockwood selalu diincar. Aku justru memastikan dia baik-baik saja.”

Bu Hiroko semakin tidak mengerti. “Baik-baik saja? Apa maksudmu?”

Suasana hatiku sudah memburuk. Jadi, aku menghela napas, mengatakannya dalam satu kalimat penuh tanpa jeda. “Genosida. Mereka berniat membunuh Rena Lockwood dalam waktu dekat.”

Bu Hiroko terdiam, seperti berada dalam ambang tidak percaya dan trans.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   93. EPILOG

    18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   92. ABU PEMBAKARAN #3

    Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   91. ABU PEMBAKARAN #2

    Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   90. ABU PEMBAKARAN #1

    13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   89. SALAM TERAKHIR #3

    12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw

  • Angkasa Merah di Kota Kertas   88. SALAM TERAKHIR #2

    “Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status