Akademi Grinover itu mengerikan.
Selain harus menghadapi realita bahwa seisi sekolah membenciku karena riwayat keluargaku pemberontak, aku harus bertahan dengan surat ancaman yang kuterima setiap harinya. Satu-satunya hal baik yang kudapatkan hanya fakta bahwa aku mendapat empat kali kelas yang sama dengan Rena Lockwood—yang pada dasarnya juga merupakan hal mengerikan karena dia tidak pernah membuat semua menjadi lebih baik. Aku memang ingin bicara dengannya, tetapi dia selalu mengambil tempat duduk di belakangku, ketika semua orang memberi jarak dua bangku—yang secara teknis, membuat semua orang mengawasi gerak-gerik kami.
Jadi, meskipun dia duduk di sana, kami tidak pernah memiliki waktu untuk bicara. Aku tidak tahu apa motifnya, tetapi dia kelihatan ikut frustrasi.
Namun, pada akhirnya momentum itu datang ketika aku mendapat hukuman dari Pak Green, guru matematikaku, karena kedapatan melihat helikopter ketika dia mengoceh panjang lebar tentang persamaan diferensial. Begitu kelas berakhir, dia memintaku tetap tinggal hanya untuk memberitahuku bahwa aku kedapatan tugas merangkum Ensiklopedia Matematika Akademi Grinover.
“Selesaikan dalam dua hari,” katanya. “Tidak menerima keberatan.”
Aku tetap keberatan. “Bukannya ini keterlaluan?”
“Aku bukan tipe guru yang membedakan hukuman untuk muridku, Redrich. Kau harus belajar menghormati setiap guru di Akademi Grinover karena barangkali ketika kau berprasangka buruk, kau meninggalkan kesempatan untuk menjadi lebih baik. Hadiri setiap kelas, dan pastikan kau di dalamnya. Ini hukumanmu.”
Entah bagaimana ada bagian dari diriku yang senang menerima kata-kata itu—barangkali karena dia tidak takut denganku. “Baik, Sir.”
Maka ketika menunggu periode kelima, aku mengerjakannya. Aku tak habis pikir bagaimana hukuman ini setimpal dengan materi yang hanya dijelaskan selama lima puluh menit, tetapi aku melewati banyak halaman—yang kusadari mencapai halaman enam puluh saat mataku berkunang-kunang. Aku tergoda membantingnya. Kepalaku pusing. Sepertinya aku di ambang batas realitas saat terdengar suara:
“Mau kubantu?”
“Oh, tentu saja.” Aku mengangkat kepala, dan langsung tersentak. Saat itu juga aku mengerjapkan mata, tetapi sosok itu tidak berubah.
Rena Lockwood tertawa kecil. “Aku bukan hantu.”
“Oh,” aku berusaha mencari kata-kata, “hai. Kau di sini.”
“Aku selalu di sini karena tempat dudukku di belakangmu.”
“Kalau begitu kau seharusnya di belakangku.”
“Tapi aku berniat membantumu.” Dia melihat Ensiklopedia.
Aku menatapnya. Atau barangkali aku mencoba menatapnya. Dia memiliki aura intimidasi yang kuat sampai mataku sulit bertahan menatapnya tanpa merona. Aku tak pernah terlalu memerhatikannya karena kami tidak pernah bertautan mata sedekat ini, tetapi kusadari itu waktu yang tepat untuk menghentikan ruang dan waktu.
Dia cantik, tetapi dalam artian tertentu, dia manis. Dia kelihatan bak ilustrasi musim dingin yang sejuk dan membeku. Bola matanya hampir seperti kelabu yang berspektrum. Dan dalam momen kedekatan ini, aku menyadari sesuatu di balik senyum manisnya: matanya tidak pernah berbohong. Barangkali dia bagaikan sosok bidadari yang tidak bisa digapai karena status sosial atau barangkali perpaduan ekstrem antara rambut bergelombang dengan bola matanya membuat siapa pun merona dalam hitungan detik, tetapi caranya memandangku tidak lagi menghipnotis seakan dinding yang memisahkan dirinya telah memudar. Pada saat itulah, dia berubah menjadi sosok normal yang lemah, dan entah bagaimana, aku mengerti bahwa inilah Rena Lockwood.
“Aku tidak mau memicu masalah,” kataku.
“Hmm?” Dia mengulas senyum kecil. “Kau menyebutku masalah?”
“Maksudku, kau pasti tahu apa yang terjadi belakangan ini.”
“Kalau begitu kita tegaskan saja,” ucapnya. “Kau pembunuh berantai?”
Satu pertanyaan itu membuat kami saling memandang. Dan bukan hanya aku yang terkejut, tetapi semua yang mendengarnya. Semua orang menatap kami. Barangkali aku bisa menjawab apa pun. Terlepas dari siapa pembunuh berantai, aku mengenal sosok di balik itu, jadi, ya atau tidak—semua jawaban itu sama saja.
“Kau harus tahu perbedaan polos dengan nekat,” kataku.
“Aku bertanya ini bukan karena polos.”
“Karena kau berniat menjebakku?”
“Karena aku percaya kau bukan pembunuh berantai. Berhenti berpikiran buruk.”
Aku terdiam sejenak, lalu mulai menatap mata kelabunya. Aku cukup yakin dengan kemampuanku melihat kejujuran seseorang. Dan tampaknya aku sedikit iri karena kepercayaan yang ditunjukkan Rena Lockwood seperti tidak takut apa pun—termasuk aku, yang seharusnya dihindarinya.
“Kau tahu semua orang menjauhiku dan dewan guru juga—”
“Biar kuwakilkan jawabanmu,” potongnya. “Charlie Redrich bukan pembunuh berantai, dan aku orang pertama yang percaya itu.”
Aku menggeleng, hampir mendesis. “Kau bisa mendapat banyak masalah.”
“Siapa yang peduli?” Dia menyuruhku bergeser tempat duduk, dan entah bagaimana aku menurut. Jadi, dia duduk di sebelahku, mengambil selembar kertas, lalu menunjuk satu halaman. “Aku ambil yang ini, jadi kau ambil sebelahnya karena kita melakukannya bersama. Berapa halaman yang harus kau rangkum?”
Aku membalikkan halaman sampai akhir. “Kurasa sampai habis.”
“Bagus. Kita akan lembur sampai periode kelima dimulai.”
Aku tidak ingin terlalu peduli apakah badai akan datang untuk menonjokku karena sudah duduk bersama Rena Lockwood, tetapi kupikirkan itu memang akan terjadi, jadi aku mencoba meraih ketenangan. Aku melihatnya sungguhan menulis, dan, ya, saat itu juga aku melanjutkan tulisanku.
“Kenapa kau sering sekali berkelahi?” tanyanya.
“Sebenarnya itu pertanyaanku juga. Apa kau juga ingin menonjokku?”
“Aku temanmu.”
“Kedengarannya hebat. Aku Charlie Redrich. Kita belum kenalan.”
“Aku Rena.” Kami berjabat tangan, dan dia sedikit tertawa pada itu, meski tidak lama. “Aku sering mendengar tentangmu. Tapi tampaknya kau ini kutu buku.”
“Anak yang dirundung kebanyakan memang kutu buku.”
“Hm-mm,” gumamnya. “Buku apa yang sering kau baca?”
Aku merasa kalau pembicaraan ini terlalu basa-basi, tetapi kupikirkan bahwa secara teknis kami baru saja berkenalan. Jadi, aku mengikuti arus. “Akhir-akhir ini biografi Leonardo Da Vinci menarik perhatianku. Tidak terlalu menarik.”
“Kurasa itu cukup oke.”
Kami terdiam beberapa saat sampai aku mulai agak heran karena kupikir dia tipe yang suka tentang drama.
“Idiot,” katanya. “Aku suka filsafat. Aku mengalami banyak hal yang membuatku merenungi itu. Selama ini aku selalu ingin tahu. Jadi—eh, kau tidak masalah kalau aku bicara banyak?”
Aku terdiam. Aku berpikir kalau mungkin dia tidak butuh jawaban, tetapi dia mulai menatapku. “Kau mendengarku?” tanyanya.
“Oh, tentu. Lanjutkan saja. Buku ini mengacaukan pemahamanku tentang pythagoras. Tapi boleh aku bertanya sesuatu?”
“Tentang pythagoras? Aku bukan ahli—”
“Bukan. Kau tidak masalah bicara denganku?”
Dan dalam satu jeda singkat itu, dia tampak berbeda dengan biasanya. Dia ... terlihat sedikit lebih nyata. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tetapi dalam momen itu, matanya mengarah ke mataku, tetapi tidak seperti menatapku.
Seperti menatapku dengan cara paling jauh.
Selang sedetik, dia tersenyum pilu. “Dinding dibuat bukan untuk melarang seseorang keluar. Tapi untuk melihat siapa yang peduli menghancurkan itu.”
Aku terdiam sejenak. “Kata-katamu bijak juga.”
Dan dia tertawa dengan cara yang manis. “Aku tidak sebijak Socrates, tapi itu yang kumaksud. Semua orang dikelilingi dinding, dan kurasa kau juga. Tapi aku tidak pernah membuat dinding. Dinding itu sudah ada jauh sebelum aku lahir. Dan, entahlah, aku tak merasa itu bisa hancur. Barangkali hanya aku sendiri yang cukup peduli menghancurkannya. Apa kau juga berpikir seperti itu?”
Aku menunggunya bicara lagi, dan jelas, dia menunggu balasanku. Jadi, aku bertanya, “Kenapa kau berpikir dindingmu harus hancur?”
“Menurutmu?”
Entah bagaimana aku memikirkannya. Namun, karena aku tidak terlalu tahu tentangnya, aku berhenti bicara.
Jadi, kami saling terdiam, dan aku tidak punya pilihan selain menatapnya. Dia tidak bicara apa pun seolah ingin memberitahuku melalui matanya.
“Intinya,” ujarnya, pada akhirnya, “aku ingin berteman normal denganmu. Tapi aku tahu kita hanya bisa seperti ini. Bicara filsuf, hal-hal remeh, atau aku yang membantu hukumanmu. Aku tahu dindingku sama dengan garis waktuku. Jadi, aku, kalau tiba waktunya itu hancur—” Dia menghentikan suaranya sendiri. “Maksudku, aku berpikir kalau tidak pernah terlahir seperti ini, kita pasti bisa bicara normal.”
Sekali pun aku tidak pernah memikirkan itu.
Aku tahu dia terganggu dengan masa lalu keluarga kami. Membayangkan ayahku dan kakeknya pernah berniat saling bunuh, kurasa aneh kalau kami bicara sangat normal seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Aku membencinya, dan dia juga membenciku. Masa depan itu yang seharusnya terwujud dalam kami sekarang.
Namun, aku mengingat senyum Mona Lisa yang murni dan sederhana. Lalu aku mengingat senyum Rena Lockwood di hari pertama kami bertemu. Senyum yang terlihat serupa, hanya saja dengan unsur yang terkesan menahan sesak. Maka mau tak mau aku membayangkannya. Barangkali Rena Lockwood juga mengalami beberapa hal yang tidak kumengerti. Lockwood itu arogan. Mereka bukan tipe yang memberi kasih sayang. Mereka hanya peduli pada orang yang ada di kasta yang sama. Posisi membuat mereka buta pada segala hal.
Jadi, di benakku yang terdalam, aku sepakat dengan Rena Lockwood.
Andai aku tidak terlahir seperti ini, barangkali aku akan lebih bahagia.
18 Desember. Hari Sabtu.Suasananya ramai. Banyak orang lalu-lalang dengan boneka. Aku ingat ada yang menyebut Sandover seperti kota mati, tetapi ketika melihat taman bermain ini, segalanya berbanding terbalik. Padat, penuh, bahkan tidak ada jeda.“Sudah lama aku mau ke sini bersamamu!” seru Rena antusias, menarikku ke menara tinggi itu. “Waktu di Rumah Pohon, aku berpikir apa kita bisa setinggi itu. Ayo coba—HEI! JANGAN KABUR!”Sekarang dia tidak ragu lagi menggamit—mencengkeram jemariku.Aku melihat menara—tidak, itu bukan menara. Itu wahana roket. Meninggi dengan tenang, lalu meluncur cepat seolah ditimpa gravitasi. Aku pernah menatap itu dari kamera pengawas. Itu tempat yang sama sekali tidak ingin kudekati.Melihat raut wajahku, Rena menyeringai jail. “Takut, ya?”“Tidak, kok,” kataku. “Aku cuma takut hantu.”Jadi, akhirnya kami naik—meski aku ben
Tokio Eki Furuzawa dan Helva serempak menyambutku di gerbang.Tentu saja gerbang pemakaman. Saat itu hampir gelap, dan aku sudah cukup kaget dengan gerbang yang—sungguh, berhiaskan bunga-bunga seolah ada ratusan orang dikubur. Kami berjalan dan sepanjang itu jalan penuh karangan bunga.“Mewah, bukan?” tanya Helva.Aku melihat wajahnya, dan—kalau dipikirkan, iringan bunga ini juga yang mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir.“Kau mau menangis?” tanyaku.“Tutup mulutmu. Dan aku tidak menangis.”Tidak sulit menemukan Rena karena kerumunan orang benar-benar terlihat mencolok dari gerbang. Makam Tracy Lockwood memang tidak akan sepi. Dan—bukan main. Batu nisan Tracy Lockwood kelihatan bak pusaka perjuangan. Dilapisi marmer putih mengkilap, sampai bayangan orang-orang terpantul sempurna dalam tekstur marmer—yang secara insidental juga membuat Rena menemukanku.Dia menoleh,
Keesokan harinya, aku dihakimi Tokio Eki Furuzawa dan Helva.Aku punya gagasan menghadiri pemakaman Tracy Lockwood dan Malvia Lockwood, tetapi mereka kompak melarangku habis-habisan.“Pertama, kau lupa baru saja diperiksa polisi kemarin?” tanya Helva. “Kau mungkin hanya dicurigai terlibat dan beruntungnya kau memang tidak terlibat, tapi kau pasti bertemu Malvia Lockwood beberapa hari sebelum ini, kan? Tunggu. Kau tidak perlu menjawabnya. Yang mau kukatakan: sekarang yang harus kau pikirkan bukan hanya kau dan Lockwood. Tapi pers, dan juga masa depanmu!”“Betul,” kata Tokio Eki Furuzawa, mendukung.“Dan, menurutmu apa yang akan muncul di berita utama ketika kau hadir di sana? Oke, aku tahu kalau kau tidak datang juga akan memunculkan berita utama, tapi kau tidak perlu datang karena, jelas, kau akan membuat suasana pemakaman aneh. Bayangkan orang yang ditindas datang ke pemakamannya—itu aneh!”&ld
13 Desember. Kembali bersekolah, aku berjalan layaknya selebritis.Semua orang menyapaku, mengajakku bercanda—yang benar saja, mereka yang dulunya memberi hadiah sampah, kini benar-benar memberi hadiah berharga yang layak dipegang. Sungguh, aku tidak habis pikir. Dan ketika aku berhasil duduk di tempatku—yang kuingat sebagian waktuku habis dengan melakukan hukuman—kini tidak ada lagi surat kematian, melainkan mereka yang bersuara menggoda bak ingin menggapai tubuhku bersama kaum gosip yang menduga aku kencan dengan bidadari bernama Rena Lockwood.“Maaf karena aku menjelekkanmu, Redrich,” kata salah satu gadis. “Saat itu sepertinya mataku buta. Sekarang aku rekanmu.”“Mm... kurasa kau perlu ke dokter bukan minta maaf,” kataku.“Hei. Hei. Kapan kau jadian dengannya—maksudku, dengan....” Dia seperti sulit mengucapkan nama Rena, dan benar. Dia menggeleng. “Astaga. Aku belum sanggup
12 Desember. Minggu pagi.Aku kembali ke rumah untuk menunjukkan ruang kerja kakakku pada Bu Hiroko. Sebenarnya sebelum pesan Tristan Lockwood ditemukan—saat aku masih di lantai bawah bersama bantal beraroma Rena—Helva menemukan rekaman yang dibuat kakakku untuk Bu Hiroko. Disimpan dalam CD, dengan kotak plastik yang bertuliskan: BU HIROKO YANG KUCINTAI.Jadi, aku memberikan itu pada Bu Hiroko, dan dia memintaku agar segera memutarnya. Maka aku memasukkan itu ke salah satu komputer, melihat senyum khas kakakku di dalam layar untuk kedua kalinya.Bu Hiroko menggeleng. “Aku merasa dia di sini, menatap mataku.”“Aku juga merasakan itu,” kataku.Rekaman itu berisi permintaan maaf dan penyesalan kakakku karena tidak bisa memberitahu Bu Hiroko apa yang akan terjadi. Bahkan, kakakku tahu kalau barangkali Bu Hiroko akan menyaksikan detik-detik kematiannya. Itu membuatku bergejolak, dan Bu Hiroko menangis. Aku merasa bahw
“Kau menggapai pesan,” sambut Malvia Lockwood. Dia melempar pistol, mengulas senyum yang tidak pernah kubayangkan. Air matanya mengalir. “Anak Muda, kau mau duduk di sisiku untuk terakhir kali?”Maka aku juga melempar pistol, menatap jasad Olso Bertoin yang penuh darah. Dia berubah. Maksudku, Malvia Lockwood. Setidaknya, itu yang kuyakini. Dia tidak lagi berdandan menor layaknya ibu-ibu di pesta murahan. Hanya alami—meskipun lusuh, debu, kotoran, dan keringat menghiasi sebagian besar wajahnya.“Aku selalu mempelajari tipe pembunuhan yang terjadi pada Lockwood.” Aku duduk cukup dekat darinya sampai aku sendiri tidak percaya. “Yang pertama, terstruktur. Itu metode Louist Hood. Yang kedua, area pembunuhan selalu steril.” Aku mengedarkan pandangan, tersenyum konyol. “Hanya perasaanku, atau situasi memang menyisakan aku dengan Malvia Lockwood?”Dia mendengus. Kupikir mengejek, tetapi dia tersenyum miri