Share

Lamaran

Adriel sudah menetapkan keputusan sementaranya untuk menikahi Sandra. Tidak ada pilihan, kakek dan neneknya sudah kepalang senang saat Sandra diperkenalkan pada mereka. Sebenarnya, Adriel heran, entah apa yang membuat kedua orang tua itu menyukainya.

Adriel teringat pada ponsel gadis itu yang telah habis diperiksanya beberapa malam yang lalu. Entah mengapa juga, rasa penasarannya mencuat hingga dia tak sadar pagi sudah menjelang. Dia masih sibuk mengotak-atik ponsel si gadis.

Hari itu, dia, Dewanda dan Melati pergi ke tempat kediaman orang tua Sandra untuk menyampaikan lamaran. Awalnya, Adriel tidak ingin melakukan prosesi itu. Namun, karena dikira pernikahan mereka adalah sungguhan, Dewanda memaksa untuk melaksanakannya sebagai penghormatan kepada calon besan.

Sebelumnya, Adriel telah menghubungi Sandra untuk juga pulang ke kampungnya.

"Kami akan berangkat besok," beritahu Adriel lewat telepon.

"Aku gak bisa. Aku gak bisa libur mendadak, harus izin tiga hari sebelumnya," tolak Sandra.

"Aku gak mau tahu, pokoknya kamu harus datang. Bilang sakit atau apalah." Adriel tetap memaksa.

"Kalau ketahuan bagaimana? Aku bisa kena pecat."

"Aku akan mempekerjakanmu di perusahaanku."

"Ogah. Aku lebih baik makan uang dari orang lain. Nanti ada embel-embelnya."

"Embel-embel apa?" tanya Adriel kesal.

"Aku gak mau kamu menguasai hidupku," ujar Sandra dengan tegas.

"Terserah, pokoknya kamu harus datang. Ingat ponsel dan video itu masih ada di tanganku. Kamu gak mau, kan dilihat oleh kedua orang tuamu?"

"Kamu jangan macam-macam, ya," geram Sandra.

"Kalau begitu, besok kamu harus datang. Titik." Adriel langsung mematikan ponselnya, tidak mau mendengarkan alasan dari gadis itu lagi.

Saat Adriel sudah berangkat meninggalkan kota menuju kampung yang tidak jauh lagi dari perbatasan, Sandra masih hilir mudik di dalam kamar kosnya. Bagai buah simalakama. Jika dia tidak masuk kerja, sudah pasti dia akan dimarahi atasan, apalagi perusahaannya sedang banyak mengalami masalah. Namun, jika dia tidak mengikuti kata Adriel, nama baiknya jadi taruhan. Sandra tidak bisa membayangkan, fotonya bersama Adriel di dalam mobil malam itu, terpampang di media sosial.

Akhirnya, Sandra memutuskan untuk mengikuti keinginan Adriel. Sandra segera memesan travel. Sementara itu, dia mengemasi barang-barang yang akan dibawanya untuk pulang ke tempat orang tuanya.

***

Adriel dan kedua kakek, neneknya sudah melewati batas kota. Mereka disambut oleh pemandangan hijau nan asri, yang hampir tidak dapat mereka temukan di perkotaan. Di kiri kanan adalah pepohonan yang rapat, tidak ada gedung tinggi ataupun pabrik yang menyumbang polusi. Kendaraan yang mereka temui juga tidak seramai di dalam kota. Hanya ada beberapa mobil pribadi, travel dan mobil pengangkut hasil pertanian dari perkampungan itu.

"Kita akan masuk ke dalam perkampungannya," ujar sopir yang menemani perjalalanan mereka.

Rasa penasaran Adriel semakin tinggi tentang kampung Sandra, mengingat foto-foto yang dilihatnya dari handphone gadis itu. Adriel meluruskan duduknya, siap melihat apa yang ada di dalamnya.

Bangunan pertama yang mereka lihat adalah sebuah rumah yang sepertinya sudah tidak terawat lagi. Setengah pagar yang mengelilingi bagian depannya sudah roboh. Rumput-rumput juga sudah tumbuh leluasa di pekarangannya.

Di depan, masih berdiri plang yang tulisannya sudah tidak terlihat jelas. Adriel teringat pada salah satu foto Sandra. Gadis itu sedang berfoto di tempat yang sama dengan papan nama yang masih terbaca. Panti Asuhan Belaian Kasih. Dewanda dan Melati juga tampak sedang memperhatikan bangunan tua itu.

Mobil mereka terus melaju, memasuki perkampungan. Mereka disambut oleh sawah-sawah yang mulai menguning. Tampak orang-orangan sawah tersebar di luasnya persawahan, bergoyang-goyang mengusir burung yang hendak menghampiri.

Perkampungan itu sangat asri, banyak sawah dan perkebunan yang menyumbangkan oksigen bagi udara. Berbeda sekali dengan suasana kota yang penuh dengan polusi. Mereka sengaja membuka kaca mobil untuk bisa menikmati segarnya.

Akhirnya mereka sampai di depan rumah Sandra. Ayah dan Ibunya keluar saat melihat ada mobil yang berhenti. Semua mereka yang berada dalam mobil keluar, kecuali sopir. Damar langsung berjalan menghampiri mereka.

"Selamat siang, Pak," sapa Adriel dengan membungkukkan badan sedikit.

"Selamat siang, Nak Adriel. Pasti perjalanannya sangat melelahkan." Damar menyapa dengan ramah, sambil tersenyum pada dua orang tua yang ikut bersama Adriel.

Adriel hanya membalas dengan senyuman dingin. "Ini papa Sandra, Kek," ujarnya pada Dewanda.

Dewanda langsung segera bertegur sapa pada Damar, kemudian diikuti oleh Melati. Di depan pintu, Maria telah menunggu dengan senyum yang merekah. Jelas sekali tampak kebahagiaan dari wajahnya, akhirnya putri sulungnya itu dilamar orang.

Sebenarnya, bukannya tidak ada laki-laki yang menginginkannya. Sandra pernah dilamar oleh beberapa orang laki-laki, salah satunya adalah sahabatnya sejak kecil. Namun, Sandra tidak dapat menerimanya dengan alasa tidak ada cinta. Alangkah bahagianya Maria ketika mengetahui Sandra memiliki kekasih dan siap untuk melamar. Semua yang diucapkan oleh keluarga besarnya, terpatahkan.

"Mari masuk," ucap Maria setelah menyapa dan memperkenalkan diri dengan antusias pada tamu sepesialnya itu.

Mata Adriel tertarik untuk menyapu foto-foto di dinding. Dia kembali tertegun pada foto yang berlatar belakang panti asuhan itu. Damar dan Maria sempat heran melihat ketiga tamunya tengah menatap foto yang sama.

"Itu panti asuhan yang di depan. Sandra dan adiknya sering bermain di sana ketika panti asuhan itu masih aktif. Sekali hari mereka berfoto bersama dengan anak-anak di sana, kami mengabadikannya di sini sebagai kenang-kenangan." Serentak ketiganya terkejut dan segera menoleh pada Damar.

"Sandra ...?" Adriel mengalihkan pembicaraan, kebetulan juga Sandra belum muncul dihadapan mereka.

"Seharusnya, dia sudah sampai." Maria melihat ke luar, berharap putrinya segera datang.

"Dia jadi datang, kan?" Adriel hampir tidak bisa mengontrol dirinya, kekesalannya diketahui oleh Maria.

"Jadi, Nak. Sebelum berangkat tadi, dia menghubungi kami." Maria kembali melihat jam dinding dan ke luar secara bergantian. Mulai timbul kekhawatirannya.

Maaf, ya Nak," ucap Maria dengan sungkan.

"Gak apa. Kita langsung saja, Kek." Adriel menoleh pada kakeknya.

"Baik, kami langsung saja, meski Sandra belum datang. Mereka nanti bisa ketemu di kota. Maklum, lagi kasmaran, sulit menahan rindu sebentar saja." Dewanda melirik Adriel dengan senyum menggoda. Damar dan Maria ikut tersenyum, demikian juga dengan Melati.

"Kami ke sini untuk menyampaikan lamaran cucu kami Adriel kepada putri Bapak dan Ibu, Sandra. Seperti yang kami ketahui, mereka sudah menjalin hubungan spesial dan berencana untuk meneruskannya ke jenjang serius. Kami harap, Bapak dan Ibu dapat menerima lamaran ini hingga kita bisa merencanakan pernikahannya."

Belum sempat Damar menjawab, sopir mereka telah berdiri di depan pintu dengan sebuah parcel besar yang berisi hantaran untuk lamaran. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa buah hingga sopir itu harus bolak-balik untuk membawanya. Maria dapat melihat barang-barang di dalam bungkusan transparannya, bukan barang-barang murahan, justru sesuatu yang tidak mungkin mereka belikan untuk Sandra.

"Sungguh sebuah kehormatan bagi kami, menerima kedatangan Bapak dan Ibu beserta Nak Adriel, apalagi membawa lamaran bersama hantaran yang menurut kami terlalu belebihan ini. Sementara kami hanya dapat menyambut dengan cara sederhana ini. Kami tentunya sangat senang mendengar kabar ini, sebelumnya Sandra memang sudah cerita." Damar tidak dapat menyembunyikan kebahagiaan di wajahnya.

"Jadi bagaimana lamarannya?" tanya Dewanda memastikan.

"Tentu kami terima dengan senang hati." Senyum yang terukir di wajah Damar dan Maria merekah.

"Baiklah, kami pun senang mendengarnya. Tinggal kita menentukan tanggal dan tempat pernikahannya." Dewanda dan Melati ikut tersenyum bahagia.

"Minggu depan dan tempatnya di kota. Saya sudah sepakat dengan Sandra." Semua terkejut mendengar keputusan yang sudah dibuat Adriel.

"Tapi, kami belum ada persiapan," ujar Maria.

"Tidak perlu, biar saya yang siapkan semuanya. Sandra akan mengundang semua keluarga besarnya di kota. Dua hari sebelum pesta, Bapak dan Ibu akan dijemput oleh orang suruhan saya." Adriel menjelaskannya seperti bukan sedang melamar tapi memberi informasi pada rekan bisnisnya.

"Baiklah," jawab Maria sungkan. Tidak ada yang bisa dikatakannya lagi. Dia saling berpandangan dengan suaminya.

"Kalau begitu, kami pamit dulu," pinta Adriel langsung.

"Apa tidak menunggu Sandra dulu?" tanya Damar merasa tidak enak karena Sandra belum juga datang.

"Tidak perlu, kami bisa bertemu di kota besok." Adriel kesal karena merasa Sandra tidak mematuhinya.

"Maklum saja, Bu, Pak yang lagi kasamaran. Apalagi mau dekat waktu pernikahan, ada saja ujian." Melati berusaha mencairkan suasana agar calon besannya itu tidak merasa bersalah. Semua ikut tertawa kecil kecuali Adriel yang masih menyimpan kedongkolan.

Tiba-tiba Sandra datang berjalan kaki, tidak dengan travel yang seharusnya mengantar sampai ke depan rumah. Wajahnya menyimpan kecemasan. Sampai di rumah dia menatap kedua orang tuanya. Semua ikut terkejut melihat ekspresinya

"Ibu Ani masuk rumah sakit?" beri tahu Sandra tanpa menyapa tamu yang datang.

"Ibu Ani kenapa?" tanya Damar tidak kalah kaget dan cemasnya.

"Tadi aku mampir dulu melihat keadaannya, ternyata dia sudah tidak sadarkan diri di ruang tamu. Aku langsung minta tolong warga untuk membawanya ke puskemas. Sekarang sedang dilarikan ke rumah sakit." Sandra belum sempurna mengatur napasnya.

"Apa Ibu Ani di panti asuhan itu?" tanya Dewanda tiba-tiba, membuat semua menatap kaget padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status